6 Cara Mencegah Toxic Relationship Dalam Keluarga

toxic relationship mojok.co

Ilustasi toxic relationship. (Mojok.co)

MOJOK.COSetiap keluarga pasti memiliki permasalahan. Namun, apabila cara komunikasi dan menyelesaikan masalah tidak sehat maka dapat menyebabkan disfungsi pada keluarga. Disfungsi ini berhubungan erat dengan “toxic relationship”.

Nurul Kusuma Hidayati, M.Psi., dari Psikolog Center For Publich Health, Fakultas Psikologi UGM, menjelaskan bahwa keluarga disfungsional adalah suatu kondisi dimana konflik, perilaku yang menyimpang pada anggota keluarga terjadi secara terus-menerus dan merugikan anggota lain dari tindakan tersebut.

“Keluarga disfungsional adalah keluarga yang tidak dapat menjalankan peran dan fungsinya, dapat diartikan adanya pertentangan antara individu dalam keluarga yang menyebabkan hubungan antar anggota keluarga tidak harmonis,” kata Nurul pada Jumat, (15/7) dalam Kuliah Online CPMH Fakultas Psikologi.

Menurutnya ada lima masalah besar dalam keluarga yang bisa menyebabkan terjadinya disfungsi. Pertama, salah satu pihak merasa bertanggung jawab atas masalah yang ada di dalam keluarga (atau sebaliknya). Kedua, berusaha keras untuk menghindari konflik dengan anggota keluarga.

Ketiga, memiliki ide yang berbeda tentang cara terbaik untuk menyelesaikan perselisihan. Keempat, beberapa perbedaan tidak pernah terselesaikan. Dan kelima, memiliki perselisihan serius tentang masalah yang tidak penting.

Sementara itu, Wirdatul Anisa, M.Psi., menambahkan untuk menghindari toxic relationship dalam keluarga kita mesti membangun relasi positif antaranggota keluarga. Membangun relasi positif ini diperlukan agar keluarga dapat berfungsi dan bisa mengatasi krisis.

Membangun relasi yang positif menurut Wirda dapat dilakukan dengan membangun ketangguhan pada keluarga dan membangun kekuatan komunitas. Enam hal yang dapat mendeskripsikan ketangguhan keluarga adalah

Pertama, memberikan apresiasi dan kasih sayang. Hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan satu sama lain antar anggota keluarga.

Kedua, komunikasi secara positif yang dapat diupayakan dengan memberikan apresiasi sekecil apapun itu (memberikan pujian dan mengucapkan terimakasih).

Ketiga, komitmen pada keluarga yang terkait dengan kepercayaan, kejujuran, bertanggung jawab dengan peran yang dimiliki.

Keempat, mengupayakan rasa kesejahteraan spiritual dan nilai-nilai bersama dalam keluarga.

Kelima, menikmati waktu bersama anggota keluarga untuk berbagi kesenangan, kesibukan ataupun hal lain.

Keenam, kemampuan mengelola stres dan krisis secara efektif, memiliki keterbukaan terhadap perubahan, dan memiliki resiliensi.

Wirda juga mengatakan bahwa jika sudah ada relasi yang bersifat negatif dalam keluarga, maka dapat memperbaikinya dengan pendekatan strategi resolusi konflik. Pendekatan ini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi pola hubungan atau relasi yang ada di dalam keluarga.

Apakah keluarga bersifat cenderung mempunyai kritik yang tinggi, demanding, tidak terdapat komunikasi, atau sebagainya. Lalu, berkomunikasi dengan mengklarifikasi masalah yang relevan, berbagi pemikiran, dan berbicara tentang solusi.

Sikap yang diperlukan dalam penyelesaian konflik adalah jujur dan terbuka, menghargai dan menghormati, saling memaafkan, membantu satu sama lain, dan sabar terhadap prosesnya. Jika konflik dalam keluarga tidak dapat diselesaikan, kita bisa menjangkau atau mencari bantuan pihak lain.

Sumber: ugm.ac.id
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Dosen Psikologi UGM Sharing Soal ‘Insecure’ dan Cara Mengatasinya

Exit mobile version