MOJOK.CO – Pengakuan aktor Kriss Hatta memacari gadis berusia 14 tahun atau 20 tahun lebih muda darinya menuai polemik. Hal tersebut dianggap sebagai perilaku yang mengarah pada child grooming.
Dalam sebuah wawancara, Kriss mengaku menyukai perempuan yang usianya lebih muda darinya. Perbedaan usia itu, menurutnya, membuat pasangan lebih mudah diatur dan diarahkan.
“Kenapa gue pilih yang muda sekali ya, karena lebih gampang di-direct. Yang muda itu gampang banget di-direct asal kita jangan sakiti hatinya aja gitu, jangan kita cemarin,” ujar Kriss.
Hal yang dilakukan Kriss Hatta ini lantas mengundang kecaman dari berbagai pihak, termasuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Komisioner KPAI, Retno Listyarti mengkritik Kriss karena berencana menikahi gadis tersebut usai lulus sekolah.
Hal itu berpotensi mengglorifikasi perkawinan anak. Mengingat Kriss merupakan sosok yang dianggap sebagai publik figur.
“Mengecam Kriss Hatta sebagai publik figur yang telah memberikan contoh buruk pada masyarakat terutama para remaja. Hal ini berpotensi ditiru oleh masyarakat Indonesia,” ujar Retno dalam keterangan tertulisnya, dilansir dari CNNIndonesia.
Selain persoalan potensi perkawinan usia anak, hal yang dilakukan Kriss juga dinilai sejumlah kalangan sebagai perilaku child grooming. Perilaku ini punya sejumlah dampak buruk dan perlu diwaspadai.
Menurut Psikiater Forensik, Dr. Michael Welner, grooming adalah upaya bertahap untuk menarik korban yang masih berada di usia anak ke dalam suatu hubungan. Ada pula kecenderungan untuk menjaga hubungan itu secara rahasia.
Pelaku grooming, Menurut Welner, akan berupaya memisahkan korban dari teman sebayanya sembari memberikan semacam afeksi yang anak itu butuhkan. Sehingga tak jarang, pelaku grooming yang usianya jauh lebih dewasa akan memberikan banyak perhatian baik secara lisan maupun tindakan.
Sementara itu, Psikolog Klinis Nuzulia Rahma menjelaskan bahwa child grooming bukan merupakan kelainan seksual. Akan tetapi tindakan ini sering dilakukan oleh orang dengan kelainan seksual tertentu seperti pedofilia.
Perilaku grooming sendiri memiliki beberapa tahapan. Setidaknya ada enam tahapan yang dijabarkan oleh Dr Michael Welner sebagai berikut:
Pertama yakni menargetkan korban. Pelaku akan menerka sisi rentan dari anak. Misalnya saja kebutuhan emosi hingga rendahnya kepercayaan diri. Selain itu, anak dengan pengawasan orang tua yang minim cenderung lebih mudah untuk dijadikan target grooming.
Kedua yakni mendapatkan kepercayaan korban. Cara mendapatkannya, menurut Welner, dilakukan dengan mengumpulkan informasi tentang sang anak, mengetahui kebutuhan, dan akhirnya mencari cara untuk memenuhinya.
Setelah mendapatkan kepercayaan, pelaku mulai berusaha memenuhi kebutuhan korbannya. Memberikan perhatian ekstra melalui berbagai hal.
Tahap keempat yakni mulai mengisolasi korban. Pelaku mulai menciptakan situasi di mana mereka sering menghabiskan waktu berdua. Membangun koneksi hingga memberikan perhatian yang mungkin tidak didapatkan anak dari orang tuanya.
Selanjutnya, tahap kelima mengarah ke seksualisasi hubungan. Pelaku mulai mengarahkan korban untuk membahas hal intim. Memanfaatkan rasa penasaran natural anak terhadap hal-hal berbau seksualitas. Kemudian memanipulasinya.
Tahap keenam, pelaku berusaha menjaga kontrol akan hubungan tersebut dengan berbagai cara. Meski pada tahap ini, biasanya anak sudah menemukan ketidaknyamanan. Namun pelaku berusaha terus mengontrolnya.
Untuk mencegahnya, peran orang tua dalam berkomunikasi dengan anak sangat penting. Menanyakan kondisi anak dan terus berupaya menciptakan ruangan yang aman dan nyaman bagi mereka.
Sumber: CNNIndonesia.com, mychildsafetyinstitute.org
Penulis: Hammam Izzudin