Menelusuri Kampung Mati di Wonogiri: Hanya Ada 7 Rumah, Efek Transmigrasi Zaman Soeharto

Menelusuri Kampung Mati di Wonogiri: Hanya Ada 7 Rumah, Efek Transmigrasi Zaman Soeharto MOJOK.CO

Ilustrasi jalan di sebuah kampung di Wonogiri. (Photo by LUKAS FITRIA ADI SETIAWAN on Unsplash)

MOJOK.COKampung di Wonogiri ini disebut kampung mati karena hanya ada 7 rumah dan berada di tempat terpencil. Sebagian besar penghuninya adalah janda. Sedikitnya penghuni kampung ini tak lepas dari kebijakan transmigrasi di era Orde Baru.

Sebagai akamsi Wonogiri, saya telah banyak mendengar tentang desa-desa dengan tingkat kemiskinan ekstrim di wilayah ini. Di kecamatan tempat saya tinggal, Pracimantoro, misalnya. Per 2023 ini ada lima desa yang masuk kategori miskin ekstrim, yaitu Joho, Sedayu, Trukan, Gambirmanis, dan Wonodadi.

Namun, terkait adanya “kampung mati”, saya belum lama mendengarnya. Soal “Dusun Puhbale” sebagai lokasi kampung mati tersebut, saya juga baru-baru ini mengetahuinya.

Setelah saya telusuri, ternyata secara administratif lokasinya berada di Dusun Semin, Desa Semin, Kecamatan Nguntoronadi. Satu jam perjalanan dari pusat kota Wonogiri. Wilayah ini memang berada di area ketinggian, dengan topografis perbukitan dan jalanan curam dan ekstrim.

Desa Semin sendiri merupakan satu-satunya desa miskin ekstrim di Kecamatan Nguntoronadi. Sementara “Pubbale”, secara teknis masih merupakan bagian dari RT 02 RW 04 Dusun Semin.

Tujuh rumah yang terisolir

Empat tahun lalu, sempat viral di media sosial soal pembukaan donasi bagi Mbah Sanem, warga Dusun Semin yang tinggal sebatang kara, kondisi rumah memprihatinkan, dan tanpa jaringan listrik.

Akses ke kediaman Mbah Sanem juga amat sulit karena berada di perbukitan curam tanpa cor-blok maupun aspal.

Empat tahun berlalu, saya pikir masalah serupa yang menimpa Mbah Sanem telah selesai. Nyatanya tidak.

Setelah menyimak perjalanan vlogger Jejak Richard melalui kanal Youtube-nya, kondisi empat tahun silam sama sekali tak berubah. Vlog tersebut diambil sekitar lima bulan yang lalu.

Mirisnya, apa yang disebut “kampung mati” ini ternyata benar adanya. Di Dusun Semin RT 02 RW 04—atau yang dalam video sebutannya “Puhbale” itu—hanya terdapat tujuh rumah. Untuk mencapai rumah tersebut, harus menempuh jalanan sempit tanpa aspal, terjal, dan tepi jurang.

Maka, jika ingin berkunjung, paling memungkinkan adalah dengan mengendarai sepeda motor. Itu pun masih akan memacu adrenalin ketika memasuki musim hujan, karena jalanan pasti menjadi lebih licin.

Penghuni kampung mati, mayoritas adalah janda

Dari tujuh rumah yang berdiri, masing-masing penghuninya 2-3 orang yang semuanya adalah lansia. Mayoritas dari mereka pun merupakan janda karena sang suami telah meninggal.

Untuk kesehariannya, masyarakat di Puhbale bekerja sebagai petani. Sebagaimana wilayah Wonogiri kebanyakan, mereka mengolah ladang bertipe tadah udan; menanam padi saat musim hujan, dan saat kemarau gantian tanam umbi-umbian serta singkong. Mereka menggantungkan hidupnya dari hasil alam ini.

Meski pemerintah setempat mengklaim telah menyalurkan bantuan untuk renovasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH), tapi kondisi kediaman mereka masih amat memprihatinkan. Meski kebanyakan sudah berdinding bata putih, lantainya sebagian besar masih tanah.

Warganya pun juga tak ada yang memiliki kendaraan bermotor. Sebab—karena mungkin tak bisa membelinya—jalanan di sini tak memungkinkan untuk akses kendaraan. Alhasil, tiap kali ingin berbelanja kebutuhan sehari-hari, para warga harus berjalan kaki menyusuri bukit terlebih dahulu.

Ditinggal karena transmigrasi dan merantau

Beberapa warga menyampaikan, dulunya Puhbale yang kini dikenal sebagai kampung mati di Wonogiri cukup ramai penduduknya. Sayangnya, sejak adanya program transmigrasi pada era Soeharto atau pemerintahan Orde Baru, banyak warganya pindah ke Papua dan tidak kembali.

Sementara para pemudanya memilih merantau ke kota. Sebagian dari mereka kemudian memilih berkeluarga dan menetap di kota lain. Ada yang sekali dalam setahun pulang saat Lebaran, tapi tak sedikit juga yang memilih tak kembali.

Inilah mengapa dusun ini dijuluki kampung mati. Selain karena warganya terisolir dari kehidupan sosial lain, mereka juga terancam tak memiliki penerus untuk generasi berikutnya.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Menelusuri Jejak Masa Kecil Soeharto di Wonogiri

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version