Jenis Cedera yang Sering Dialami Pelari, Jangan Dianggap Sepele

cedera pelari mojok.co

Ilustrasi pelari. (Miguel A. Amutio/Unsplash)

MOJOK.CO – Ada beberapa jenis cedera dengan ragam penyebab yang sering dialami oleh pelari. Dokter menyarankan untuk segera ditangani jangan menunda-nunda.

Dokter spesialis kedokteran olahraga dari Universitas Indonesia, dr. Antonius Andi Kurniawan, Sp.KO menjelaskan jenis cedera di sekitar kaki yang sering dialami pelari. Menurutnya, riset di jurnal Sports Medicine pada 2014 menyebutkan overuse injury atau cedera berlebihan merupakan cedera yang paling sering dialami para pelari. Cedera ini muncul akibat akumulasi mikrotrauma dan ketegangan berulang.

“Kalau bicara sendi dan otot, paling sering adalah overuse injury. Tipe cedera ada dua, trauma dan overuse. Kalau trauma itu seperti keseleo. Kalau overuse karena ada repetitif movement dan akumulasi mikrotrauma ketegangan tulang sehingga menyebabkan cedera pada pelari,” kata Andi yang juga tergabung dalam Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Olahraga (PDSKO) di Jakarta, Rabu (7/9/2022).

Menurut Andi Overuse injury biasanya menimbulkan rasa sakit di bagian depan lutut atau di sekitar tempurung lutut yang disebut dengan cedera runners knee. Nyeri pada bagian lutut ini juga dapat terjadi karena total kilometer jarak lari yang ditempuh per minggu cukup tinggi (higher mileage).

Sejatinya olahraga lari memiliki hukum 10 persen peningkatan weekly mileage atau total kilometer dalam satu minggu tidak boleh melebihi 10 persen dibandingkan minggu sebelumnya. Pelari yang peningkatan total kilometer per minggu lebih dari 10 persen memiliki risiko cedera yang lebih tinggi.

“(Hukum 10 persen) misalnya saya lari (total) empat kali (seminggu). Yang weekday, saya larinya 5 kilometer kali tiga hari, kemudian yang weekend 10 kilometer. Berarti total 25 kilometer. Minggu depan itu saya tidak boleh lebih dari 27,5 km total kilometernya,” terang Andi.

Kembali ke cedera runners knee, Andi menambahkan bahwa cedera jenis ini juga dapat disebabkan oleh otot paha depan yang kaku, otot bokong (glutes) yang lemah, serta permukaan lari yang keras.

Lalu ada pula cedera plantar fasciitis yang tidak hanya dialami pelari tetapi juga orang-orang pada umumnya. Salah satu penyebab cedera ini adalah nyeri di tulang tumit, baik di bagian bawah atau belakang tumit.

Plantar fasciitis juga timbul karena faktor berat badan berlebih (overweight), faktor otot betis yang kaku atau lemah, berhubungan dengan telapak kaki datar (flat foot), dan otot hamstring yang lemah. Jenis cedera yang lain adalah shin splint yang dapat terjadi ketika kaki mendarat pada tumit saat berlari sehingga menimbulkan nyeri di tulang kering bagian depan.

“Biasanya (shin splint) berhubungan dengan heel strike runners, kadar kelemahan dari sendi ankle dan otot tibialis aterior atau otot yang ada di depan. Kemudian biasanya pada saat sering downhill running, ada ketidakseimbangan otot kaki, dan biasanya di permukaan keras,” kata Andi.

Selain itu, ada juga cedera illiotibial band syndrome (ITBS) berupa nyeri di sisi luar dari lutut. Cedera ini biasanya timbul karena lari terlalu cepat atau terlalu jauh, pemanasan yang kurang, berlari turun, otot bokong yang lemah, panjang kaki yang berbeda atau panjang tungkai antara kanan dan kiri berbeda beberapa sentimeter.

Terakhir, cedera achilles tendinitis, yaitu nyeri pada belakang tumit atau otot betis bagian bawah. Cedera ini, kata Andi, biasanya terjadi karena otot betis yang kaku dan atau lemah, serta kenaikan jarak kilometer lari mingguan yang cukup tinggi.

Segera tangani cedera

Menurut riset yang diterbitkan di jurnal PLOS One pada 2015 mencatat rata-rata 19-79 persen pelari atau 8 dari 10 pelari pernah mengalami cedera. Untuk itu, Andi menyarankan agar para pelari yang mengalami cedera tidak menunda-nunda proses penanganan dan pemulihan. Ini agar tidak menjadi cedera berlanjut.

“Ketika kita cari tahu dan kita diberikan penanganan yang tepat, maka kita tidak membuang-buang waktu sehingga akhirnya kita bisa kembali berlari lagi dan bisa kembali berkompetisi,” katanya.

Andi juga menjelaskan bahwa cedera sebelumnya yang tidak tertangani dengan benar merupakan faktor risiko terbesar pada cedera lari. Menurut pengamatannya, pelari bukan atlet, cenderung membiarkan saja cedera yang terjadi.

“Seorang pelari itu sering banget cedera sebelumnya, tapi terus tidak ditangani sehingga akhirnya jadi cedera atau ditahan-tahan karena mau maraton, ikut Berlin Marathon, Chicago Marathon, dan segala macam,” katanya.

“Mereka itu selalu berpikiran, ‘Kalau saya tidak lari sekarang, nanti saya larinya tidak personal best, nih, di Berlin Marahon atau segala macam’. Jadi akhirnya mereka menunda-nunda (penanganan cedera), dan akhirnya menjelang seminggu atau dua minggu tidak tertahankan dan akhirnya sakit. Itu yang sering terjadi,” imbuh Andi.

Ketika mengalami cedera, pelari perlu mengetahui proses penanganan pertamanya, mulai dari melindungi cedera, istirahat selama dua atau tiga hari pertama, kompres cedera dengan es, balut cedera, serta tinggikan posisi kaki yang cedera. Apabila penanganan pertama tak kunjung memberikan pemulihan, Andi menganjurkan agar pelari segera memeriksakan diri ke dokter.

“(Penanganan dari dokter) misalnya krioterapi supaya peradangannya berkurang. Ketika untuk lari sakit, kami kasih latihan sepeda supaya kardionya tetap terjaga tapi risiko cederanya tidak berlebihan. Ada juga latihan kekuatan otot, dikuatkan otot-otot yang lemah supaya dia (pelari) bisa kembali berlari,” terangnya.

Sebelum mempersiapkan latihan menuju kompetisi, Andi juga menyarankan agar pelari memastikan dan bertanya kepada diri sendiri, apakah dirinya benar-benar berada dalam kondisi sehat dan bugar. Menurutnya, kondisi tubuh yang sehat merupakan hal yang paling penting untuk dipastikan terlebih dahulu sehingga di kemudian hari pelari bisa mencetak personal best atau capaian waktu terbaik dalam lari jarak tertentu.

Sumber: Antara
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Sisi Gelap dan Terang Lomba Balap Lari Jalanan

 

Exit mobile version