MOJOK.CO – Freemasonry atau Freemason pernah bercokol di Jogja dan nyata pergerakannya. Gedung bekas tempat berkumpulnya sekte ini bahkan masih gagah berdiri dan berfungsi.
Namun bukan untuk kegiatan mereka, melainkan sebagai gedung tempat anggota DPRD DIY bekerja. Bangunan yang dimaksud di atas ialah Gedung DPRD DIY yang terletak di Jalan Malioboro no. 54, Kelurahan Suryatman, Kecamatan Danurejan.
Dahulu gedung ini bernama Loji Mataram atau dalam bahasa Belanda disebut Loge “Mataram” re Djokjakarta, Nederlands Oost-Indie. Loge atau loji bermakna rumah atau gedung besar. Sedangkan Mataram merujuk pada lokasi loji yakni di wilayah Mataram.
Gedung DPRD DIY dulu populer dengan sebutan Gedung Setan
Loji Mataram berdiri pertama kali pada 1878 oleh Vrijmetselarij, sebuah perkumpulan orang Belanda di Jogja yang juga merupakan cabang Freemasonry di Hindia Belanda.
Acara Freemasonry berlangsung secara rahasia. Hal ini membuat orang bertanya-tanya terkait kegiatan apa yang mereka lakukan. Kemudian munculah istilah “Gedung Setan”. Penamaan ini muncul karena berbagai kegiatan tarekat ini bersifat ekslusif, berkaitan dengan spiritualitas–sempat jadi pusat teosofi (Himpunan Ilmu Kebatinan), dan tidak bersifat fisik.
Kata “setan” merupakan buah pelafalan yang keliru dari masyarakat dalam mengeja nama lain gedung loji ini, Huis van Overdenking atau Omah Pewangsitan. Pewangsitan terdistorsi menjadi “setan”.
Penyebutan Gedung Setan sekaligus mengindikasikan adanya praktik-praktik ritual tertentu oleh tarekat Freemasonry. Masyarakat sekitar pada waktu itu menaruh takut pada gedung ini.
Baca halaman selanjutnya…
Pejabat-pejabat yang menjadi anggota freemasonry Indonesia
Pejabat-pejabat yang menjadi anggota freemasonry Indonesia
Pengikut Freemasonry Indonesia di Jogja berasal dari kalangan atas. Buku Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda 1764 – 1962 karangan Theo Stevens menyebutkan bahwa terdapat empat pria mason asli Hindia Belanda. Keempatnya berasal dari Kesultanan Pakualam.
Melansir laman Kebudayaan Kemendikbud, Pangeran Ario Soeryodilogo tercatat menjadi anggota Loji Mataram pada 1871. Tak lama kemudian ia naik takhta menjadi Paku Alam V. Langkah Paku Alam V bergabung dengan kemasonan diikuti para keturunannya. Mereka adalah Pangeran Adipati Ario Notokusuma (Paku Alam VI), Pangeran Ario Notodirejo (Paku Alam VII) serta Pangeran Ario Kusumo Yudo.
Selain nama-nama di atas, masih banyak lagi tokoh besar yang terindikasi menjadi bagian dari Freemasonry.
Riwayat gedung di masa penjajahan Jepang hingga pascakemerdekaan
Pada masa penjajahan Jepang, gedung ini beralihguna menjadi kantor agraria. Setelah kemerdekaan, tepatnya pada 1948-1950, gedung ini digunakan oleh BPKNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat). Politik luar negeri Republik Indonesia yang “bebas aktif” tercetus di sini pada 2 September 1948 oleh Kabinet/Wapres Drs. Moh. Hatta.
Setelah ibu kota Republik kembali ke Jakarta pada 1949, pihak Kesultanan Yogyakarta menyerahkan gedung ini kepada Pemda DIY. Gedung ini kemudian beralihguna sebagai Gedung DPRD DIY, penyerahannya terjadi pada 1951.
Gedung ini bergaya arsitektur kolonial. Cirinya dapat terlihat pada kemegahan dan luasnya halaman dengan kolom-kolom besar pada bagian muka dan dalam bangunan. Di bagian depan terdapat dua pintu besar.
Kondisi interiornya telah mengalami perubahan, terutama di bagian balairung Ruang Sidang, menyesuaikan dengan fungsinya hari ini sebagai tempat rapat para anggota DPRD DIY.
Tarekat Freemasonry sudah tiada di gedung ini. Banyak pula yang menyebut gerakan kemasonan yang masuk ke Hindia Belanda sejak 1762 ini sudah angkat kaki dari Indonesia pada 1962.
Penulis: Iradat Ungkai
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Grand Inna Malioboro Hotel Termewah di Jogja Era Kolonial, Charlie Chaplin Pernah Singgah di Sini
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News