Delapan tahun lalu, pada 2017, dunia musik rock Indonesia diguncang oleh kelahiran JogjaROCKarta Festival (JRF). Ia menjadi festival yang menjanjikan energi dan semangat rock dari Jogja ke seluruh penjuru tanah air.
Pada hari Jumat, 5 Desember 2025, di sebuah nongkrong klasik anak-anak Jogja, Legend Coffee, penyelenggara festival, Rajawali Indonesia, resmi mengumumkan bahwa JRF 2025 akan menjadi edisi terakhir yang digelar.
“Perjalanan JRF sudah cukup. Kami berhenti tidak karena sudah habis ide, tetapi karena tidak ingin melawan waktu,” ujar sang founder, Anas Alimi, dalam konferensi pers, Jumat (5/12/2025).
Tahun ini, dengan tema “The Majesty of Rock, Crowned in Jogja”, JRF ingin menutup bab panjang sejarah musik cadas di Jogja dengan cara paling megah. Tidak hanya lewat suara dan distorsi, tapi juga lewat identitas visual dan panggung monumental.
Line-up terakhir adalah lambang warisan rock lintas generasi
Edisi pamungkas JRF 2025 memastikan line-up lintas generasi dan benua. Di panggung terakhir ini, penonton akan disuguhkan band-band ikonik. Dari legenda thrash metal dunia, raksasa rock Jepang, hingga folk-metal Mongolia, dan band-band rock legendaris dalam negeri.
Beberapa nama besar yang bakal tampil antara lain Anthrax (thrash metal, AS), Ugly Kid Joe (alternative rock, AS), The HU (folk metal, Mongolia), dan Loudness (heavy metal, Jepang).

Tak hanya band internasional, JRF juga memberi ruang bagi generasi lokal, lewat band dari berbagai kota dan era. Mulai dari band legend 1980–1990-an hingga band-band muda yang lahir dan tumbuh bersama gelombang musik cadas di Nusantara.
Band-band ini di antaranya adalah Down For Life, Kaisar, Andromedha, Rebellion Rose, Infernal Lamentations, The Panturas, dan sejumlah nama lainnya.
Menurut Anas, semua ini bukan soal nostalgia semata. Kombinasi lintas genre, generasi, dan negara ini, menunjukkan bahwa semangat rock bukan milik satu waktu saja, tapi warisan yang bisa diteruskan.
“Kami ingin menunjukkan bahwa semangat rock bisa diteruskan oleh generasi ke generasi.”
Tidak mau melawan waktu
Ketika ditanya alasan resmi penghentian festival, Anas menjawab dengan jawaban yang cukup sederhana, sekaligus berat: bukan karena kegagalan, melainkan karena “ingin menyuudahi dengan penghormatan”.
“JRF pertama kali digelar 2017. Sebuah proyek Bandung Bondowoso yang berhasil kita jalankan,” ungkap Anas.
Kala itu, dalam debutnya tahun 2017, JRF memang semula direncanakan digelar di kawasan Candi Prambanan. Namun, dekat hari pelaksanaan, izin dibatalkan oleh beberapa pihak karena khawatir terhadap potensi kerusakan struktur candi akibat getaran konser rock.
Alhasil, masalah lokasi memaksa penyelenggara harus memindahkan seluruh panggung dan infrastruktur berat. Termasuk membongkar panggung yang sudah berdiri dan mendatangkan panggung baru ke Stadion Kridosono dalam waktu 20 jam saja.
“Itu berat, tapi juga menjadi hal yang akan terus diingat karena kami berhasil.”
Namun, bagi Anas, musik dan festival selalu punya waktu. Dan, JRF 2025 adalah titik pamungkas yang dipilih secara sadar.
“Saya meminta maaf sebagai founder karena tidak bisa mewujudkan mimpi besar membawa band-band rock besar dunia seperti Iron Maiden atau Mötley Crüe ke Jogja. Tapi cinta kami pada rock tetap sama, sekadar jalannya yang berbeda,” ucapnya.
Bagian dari perpisahan ini juga diwujudkan lewat kolaborasi visual. Penyelenggara menggandeng seniman visual lokal untuk mendesain identitas pamungkas JRF. Mulai dari poster, merchandise, sampai instalasi panggung. Bagi Anas, ini bukan sekadar konser penutup, tapi selebrasi estetika, budaya, dan musik.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Mataram Is Rock, Persaudaraan Jogja-Solo di Panggung Musik Keras