Festival Sastra Yogyakarta (FSY): Mempopulerkan Kembali Cerita Silat dari yang Dianggap Hanya Hiburan Menjadi Filosofi Hidup

Festival Sastra Yogyakarta (FSY): Mempopulerkan Kembali Cerita Silat dari yang Dianggap Hanya Hiburan Menjadi Filosofi Hidup

Diskusi panel bertajuk “Siyaga: Jalan Sunyi Cerita Silat” dalam Festival Sastra Yogyakarta. Dok. Dinas Kebudayaan Yogyakarta

Para peserta Festival Sastra Yogyakarta (FSY) 2024 mengikuti diskusi panel bertajuk “Siyaga: Jalan Sunyi Cerita Silat”. Diskusi ini mengajak pengunjung untuk menggali lebih dalam mengenai cerita silat di Indonesia, mulai dari transformasi hingga tantangannya di era modern.

***

Tahun ini, Festival Sastra Yogyakarta (FSY) mengangkat tema Siyaga yang mengusung semangat kesadaran interdisipliner dalam sastra. Berbagai diskusi panel dihadirkan untuk mengajak peserta berdiskusi mengenai isu kontemporer melalui perspektif sastra. 

Salah satu interdisipliner yang dibahas adalah cerita silat. Sebuah genre yang memadukan antara sastra dengan seni ilmu beladiri. Di mana, genre tersebut seringkali dianggap hanya sebagai hiburan. Padahal, juga medium yang merekam sejarah, budaya, dan filosofi hidup bangsa Indonesia.

Dengan semangat interdisipliner, FSY 2024 berupaya mendorong masyarakat untuk menggali lebih dalam kekayaan sastra Indonesia, sekaligus menjadikannya relevan di masa kini.

Menghadirkan pembicara ternama

Diskusi panel bertajuk “Siyaga: Jalan Sunyi Cerita Silat” menjadi salah satu rangkaian acara FSY yang berlangsung pada hari pertama, Kamis sore (28/11/2024) di Panggung Pasar Sastra, Taman Budaya Embung Giwangan.

Diskusi tersebut menghadirkan dua narasumber, yakni Akademisi Sastra, Wening Udasmoro dan Novelis, Mahfud Ikhwan. Sementara, Sastrawan Latief S. Nugraha bertindak sebagai moderator. 

Wening merupakan dosen Sastra Prancis di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogja. Riset-risetnya berokus pada kajian sastra, gender, dan analisis wacana kritis. 

Sementara, Mahfud Ikhwan pernah menerima Anugerah Kebudayaan dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta atas kiprahnya di dunia sastra.

Latief S. Nugraha mengatakan cerita silat adalah bagian penting dari sejarah sastra Indonesia. Namun, genre ini sering kali terlupakan dalam diskusi sastra, baik dalam pembicaraan formal maupun informal.

Dia berujar diskusi panel kali ini bisa menjadi ruang untuk menegaskan posisi karya tersebut, di mana genre tersebut merupakan salah satu warisan sastra bernilai tinggi.

Perubahan gender pembaca cerita silat

Akhir-akhir ini, pembaca cerita silat mengalami perubahan demografi. Jika dulu genre tersebut populer di kalangan pria, kini semakin banyak pembaca perempuan yang tertarik. 

Artinya, genre tersebut mampu menembus batas gender. Baik, laki-laki maupun perempuan dapat menikmatinya. Di mana cerita tersebut menunjukkan sisi kepahlawanan dan memiliki daya tarik universal.

Buktinya, dalam diskusi panel kali ini ada sekitar 30 peserta yang hadir. Mereka berasal dari berbagai generasi. 

Peserta juga terlihat antusias dalam acara tersebut. Minatnya di bidang literasi terlihat dari keaktifan mereka bertanya dan berpendapat. Berkat antusias tersebut, diskusi terlihat hidup. Tidak hanya dialog antar narasumber tapi juga audiens.

Menghidupkan kembali cerita silat di tengah masyarakat

Selain membahas perubahan demografi, diksusi panel “Siyaga: Jalan Sunyi Cerita Silat” juga menyoroti tantangan yang harus dihadapi oleh penulis cerita silat kontemporer, terutama dalam menciptakan karya inovatif tanpa meninggalkan nilai tradisi.

Menurut Akademi Sastra, Wening, cerita silat di Indonesia telah mengalami transformasi. Salah satunya karena dipengaruhi oleh kancah pasar global. 

“Meski begitu, genre ini tetap mengutamakan nilai-nilai budaya yang kuat,” ujar Wening, Kamis (28/11/2024).

Masyarakat, kata dia, bisa memahami lebih jauh konteks sosial dan budaya sekitar, agar lebih dekat dekat dengan cerita silat.

Sementara itu, Mahfud Ikhwan berujar perlu ada upaya konkret untuk mempopulerkan kembali cerita silat. Dengan begitu, genre tersebut dapat terus hidup di tengah masyarakat.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Sebutuh Apa Jogja dengan Festival Sastra Yogyakarta? Sebuah Angan-angan Menjadi Ibu Kota Sastra di Indonesia

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version