Simphony Dieng Culture Festival 2025: Ribuan Lampion Terangi Dinginnya Langit Dieng

Masyarakat menerbangkan lampion di puncak Dieng Culture Festival, Sabtu (23/8/2025). (Dok. Humas Jateng)

Dataran tinggi Dieng, Sabtu malam (23/8/2025), diselimuti hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Namun, rasa dingin itu seakan sirna ketika ribuan lampion perlahan terbang dan menghiasi langit di malam puncak Dieng Culture Festival (DCF) 2025.

Festival budaya yang telah belasan tahun digelar ini kembali menjadi magnet bagi wisatawan. Sejak sore hari, ribuan orang berbondong-bondong menuju kawasan Candi Dieng, Banjarnegara, untuk menyaksikan berbagai rangkaian acara. Tahun ini, panitia mengangkat tema “Back to The Culture”, sebuah ajakan untuk kembali menghayati nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi napas utama DCF.

Dieng Culture Festival simbol pertemuan tradisi dan modernitas

Pembukaan DCF 2025 berlangsung meriah di Lapangan Gatotkaca. Pengunjung memenuhi area sejak siang, membawa jaket tebal, syal, hingga selimut kecil untuk mengantisipasi dingin khas Dieng yang bisa menembus satu digit derajat. Aroma jagung bakar dan wedang jahe yang dijajakan pedagang kaki lima menambah suasana hangat di tengah kerumunan.

Selepas pembukaan, lautan manusia bergerak menuju Lapangan Pandawa di kompleks Candi Arjuna. Di sinilah panggung utama Simphony Dieng berdiri megah, dengan latar pemandangan candi-candi kuno yang diterangi sorotan lampu. Panggung tak hanya menampilkan musik, tetapi juga simbol pertemuan antara tradisi dan modernitas.

Simphony Dieng di Lapangan Pandawa Kawasan Candi Dieng, yang disaksikan puluhan ribu masyarakat jadi puncak penyelenggaraan Dieng Culture Festival 2025 MOJOK.Co
Simphony Dieng di Lapangan Pandawa Kawasan Candi Dieng, yang disaksikan puluhan ribu masyarakat jadi puncak penyelenggaraan Dieng Culture Festival 2025. (Dok Humas Jateng)

Malam itu, sejumlah musisi papan atas tampil silih berganti. Nugie, dengan gaya khasnya, mengajak penonton bernyanyi bersama. Tiara Andini muncul sebagai kejutan yang paling ditunggu, disusul Monita Tahalea yang menebar kehangatan dengan suara merdunya. Sebagai penutup, Prawiratama Orchestra menyajikan harmoni orkestra yang memukau, membuat ribuan penonton bertahan meski udara semakin dingin menjelang tengah malam.

Magnet budaya dan wisata

Bagi banyak pengunjung, DCF bukan sekadar festival musik. Penerbangan lampion massal selalu menjadi momen paling ditunggu. Ribuan masyarkat terlibat menerbangkan lampion. Tampak tangan mengangkat lampion, meniup api kecil di dalamnya, lalu melepaskannya ke langit. Dalam hitungan menit, langit Dieng yang gelap dan dingin berubah penuh cahaya.

“Ini pengalaman pertama saya, rasanya campur aduk. Antara senang, terharu, dan kagum,” ujar Yuni, pengunjung asal Tangerang. Ia mengaku sudah menanti sejak 2017 untuk datang langsung ke DCF. “Apalagi bisa menerbangkan lampion bersama-sama, rasanya luar biasa.”

Pengunjung lain, Nur Kholifa dari Banjarnegara, menyebut kejutan artis menjadi daya tarik tersendiri. “Aku nggak nyangka yang tampil Tiara Andini. Soalnya dari awal panitia nggak kasih bocoran. Jadi nambah penasaran,” katanya sambil tertawa.

Selain konser dan lampion, DCF juga dikenal dengan ragam tradisi, mulai dari ritual cukur rambut gimbal hingga pagelaran kesenian rakyat. Semua itu dikemas sebagai atraksi wisata budaya yang mampu menarik perhatian nasional bahkan internasional.

Menko Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (IPK) Agus Harimurti Yudhoyono didampingi Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi hadir di Dieng Culture Festival (DCF). (Dok. Humas Jateng)

Dieng Culture Festival bukti masyarakat bisa kelola potensinya

Gelaran DCF 2025 tak hanya dihadiri wisatawan, tetapi juga pejabat penting. Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi, Menko Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), serta Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesa terlihat hadir dan menyatu dengan kerumunan.

Menurut Gubernur Ahmad Luthfi, DCF adalah bukti nyata bagaimana masyarakat bisa mengelola potensi budaya menjadi festival berkelas dunia. 

“Ini dikelola oleh Bumdes, oleh para pemuda kita dan dibina oleh Bupati. Provinsi hanya asistensi karena sudah terbiasa. Ini adalah potensi masyarakat yang datangnya dari bawah,” katanya usai menyaksikan Simphony Dieng.

Ia menambahkan, DCF bukan sekadar pesta hiburan, melainkan wadah melestarikan tradisi. “Ada potong rambut gimbal yang jadi ikon, ada kesenian lokal yang terus dipertahankan. Semua ini bagian dari identitas Jawa Tengah, bahkan Indonesia,” lanjutnya. (Adv)

BACA JUGA: Omzet Pameran UMKM Hari Jadi ke-80 Jateng Lampaui Target, Tembus Rp1,4 Miliar atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

 

Exit mobile version