Belajar dari Korea Selatan, Ini yang Dilakukan Polisi dan Pejabat Setelah Tragedi Itaewon

tragedi itaewon mojok.co

Ilustrasi Minta Maaf (Mojok.co)

MOJOK.COPara pejabat pemerintah Korea Selatan ramai-ramai meminta maaf atas tragedi di Itaewon. Mereka mengaku bertanggungjawab atas kegagalan dalam mencegah dan menanggapi kerumunan yang akhirnya menewaskan lebih dari 150 orang itu.

Melansir Washington Post, Kepala Kepolisian Nasional Yoon Hee Keun, bahkan membungkuk dan menyatakan dirinya bertanggung jawab atas tragedi paling mematikan bagi Korsel sejak 2014 itu.

Ia mengakui bahwa respons polisi dalam menangani tragedi pesta Halloween di Itaewon tidaklah memadai. Menurutnya, petugas polisi yang menerima telepon telah gagal menangani laporan ini secara efektif.

“Saya merasa bertanggung jawab penuh atas bencana ini, mewakili kepala salah satu kantor pemerintah terkait,” kata Yoon, dalam konferensi pers yang disiarkan televisi, Selasa (1/11/2022).

“Polisi akan melakukan yang terbaik untuk mencegah tragedi seperti ini terjadi lagi,” sambungnya.

Sementara secara terpisah, Wali Kota Seoul, Menteri Dalam Negeri, Kepala Kantor Darurat, dan Kepala Kantor Lingkungan Itaewon, semuanya meminta maaf secara terbuka kepada publik.

Wali Kota Seoul, Oh Se-hoon, bahkan meminta maaf sambil menangis dan menghentikan sejenak konferensi persnya. Saat itu, ia tengah berbicara tentang orang tua dari seorang wanita berusia 20 tahun yang dinyatakan meninggal pada hari sebelumnya.

“Ketika saya mencoba menghibur seseorang dengan seorang anak perempuan yang dirawat di Rumah Sakit National Medical Center kemarin, mereka mengatakan bahwa anak perempuan mereka akan selamat dan mereka percaya demikian,” katanya.

“Tapi saya dengar dia meninggal pagi ini. Saya minta maaf karena permintaan maaf saya datang terlambat.”

Guilty Culture

Pada beberapa negara, seperti Korea Selatan, merasa bersalah telah dianggap sebagai budaya. Oleh beberapa sosiolog, istilah ini dikenal dengan gulity culture; yang mana pejabat, tokoh politik, atau korporasi, akan memberikan permintaan maaf secara terbuka atas kegagalan atau kesalahan yang telah mereka buat.

Sebelum para pejabat pemerintahan ramai-ramai meminta maaf atas jatuhnya korban di Tragedi Itaewon, mantan Perdana Menteri Korsel Chung Hong-won, pernah melakukan hal serupa. Pada 2016 lalu, ia meminta maaf bahkan mundur dari jabatannya karena insiden tenggelamnya kapal feri Sewol yang menewaskan 476 penumpang.

Mundur ke tahun 2011, Menteri Ekonomi Choi Joong-kyung mengundurkan diri karena merasa bertanggung jawab atas terjadinya pemadaman listrik yang menimbulkan kemarahan masyarakat.

Menurut laporan Korean Times, kala itu Choi Joong-Kyung menyampaikan pengunduran dirinya setelah terjadi pemadaman listrik selama 30 menit. Akibat pemadaman ini, setidaknya 2,1 juta rumah gelap gulita hingga 1 jam, 2.900 orang terjebak di lift, lampu lalu lintas mati, dan industri harus dihentikan sementara.

Sementara mantan sekretaris senior presiden Korsel, Kim Jin-kook, pernah memutuskan pengunduran diri untuk alasan yang unik. Akhir tahun lalu, ia dihujat habis-habisan di media sosial lantaran putranya diketahui memanfaatkan jabatan Kim untuk mendapatkan pekerjaan.

Mengutip harian Korea JoongAng, putra Kim Jin-kook diketahui kepergok mencantumkan nama besar sang ayah, yang bekerja sebagai Sekretaris Senior Presiden. Ia disebut telah menulis nama ayahnya di CV miliknya untuk mempermudah dirinya mendapat pekerjaan di berbagai perusahaan. Atas kejadian ini, mereka berdua dikecam keras oleh warga Korsel.

Terkait hal ini, profesor Renmin University, Mao Shoulong, menyebut bahwa sebetulnya guilty culture harusnya jadi sesuatu yang lumrah, terutama bagi pejabat publik. Menurutnya, tugas dan tanggung jawab, baik secara hukum maupun moral, bagi seorang pejabat publik sudah ditegaskan dengan jelas. Bahkan janji-janji, yang diucapkan dalam sumpah jabatan, telah menggariskan tugas-tugas dan memagari tindak tanduk seorang pejabat.

Dengan demikian, ia menyebut, sudah sewajarnya bagi para pejabat yang merasa gagal dalam mengemban tugasnya untuk mengambil sikap. Baik itu dalam bentuk permintaan maaf secara terbuka, mengakui kesalahan, hingga mengundurkan diri.

Mao Shoulong juga mengatakan, seorang pejabat publik harus bisa memikul tanggung jawab melalui empat aspek. Pertama, tanggung jawab moral, seperti jatuhnya banyak korban atau menyebabkan penderitaan pada rakyatnya.

Kedua, tanggung jawab politik terhadap partai yang berkuasa (ruling party) dan pemerintah. Selanjutnya, tanggung jawab demokrasi kepada rakyat dan konstituen yang memilihnya. Serta yang terakhir, tanggung jawab hukum, yang menetapkan terjadi atau tidak kelalaian dan pelanggaran hukum dalam menjalankan tugas.

Dalam kasus Tragedi Itaewon, sudah sepantasnya para pejabat pemerintah di Korsel meminta maaf karena alasan pikulan tanggung jawab moral. Mengingat atas tragedi tersebut, lebih dari 150 orang merenggut nyawa.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Survei: Satu dari Tiga Remaja di Indonesia Punya Masalah Kesehatan Mental

Exit mobile version