MOJOK.CO – Buku kiri selalu kena razia. Bahkan, buku-buku yang berisikan kritik terhadap pemikiran kiri. Lama-lama razia buku kiri memang jadi candu.
Jika ada penghargaan untuk bangsa yang paling istikamah untuk tidak mau belajar dari sejarah, maka bangsa ini mungkin salah satu kandidat terkuatnya.
Seperti ada semacam obsesi untuk mengulangi kekeliruan memersepsi, bersikap, dan berperilaku untuk membuktikan betapa konsistennya karakter yang dimiliki. Contoh paling aktualnya adalah razia buku-buku yang terindikasi bersinggungan dengan paham kiri.
Modusnya selalu sama: mengendus apakah ada lapak yang berjualan buku-buku kiri atau ada acara yang memuat diskusi wacana-wacana kiri, kemudian gerebek (tentu saja tanpa tabayun apalagi beradu argumentasi pemikiran secara adil), lalu ditutup dengan agenda berdamai ala Giant-nya Doraemon. “Kita damai ya? Awas kalau nggak mau damai!”
Semua karya yang memuat judul dan nama yang berbau kiri wajib dirazia. Bahkan, termasuk buku-buku yang berisikan kritik terhadap pemikiran kiri yang ditulis oleh tokoh-tokoh anti-kiri sekalipun!
Tentu saja kurang afdol jika belum dilengkapi dengan narasi-narasi soal betapa para pelaku razia buku adalah representasi dari umat terzalimi, lalu merengek betapa negara sudah abai, serta betapa bangsa ini dalam bahaya komunisme.
Dasarnya, apalagi jika bukan pemahaman serampangan bahwa pemikiran Marxisme plus segala keturunannya, termasuk komunisme, mengusung pemikiran ateisme dan anti-agama. Pemikiran kayak gitu berasal dari kalimat terkenal dari Karl Marx.
Dari salah satu karyanya “A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right”, yakni kalimat “Agama adalah Candu Masyarakat (Die Religion ist das Opium des Volkes)”, yang dikutip sepenggal-sepenggal dan kemudian ditafsirkan secara ngawur, semena-mena, dan fatal.
Padahal, kalimat tersebut maupun keseluruhan karya tersebut sebenarnya lebih sebagai kritik atas penyalahgunaan secara terorganisir dan manipulatif atas praktik keberagamaan. Jauh dari tuduhan bahwa kalimat tersebut menganjurkan orang untuk menjadi ateis.
Tentu saja sebagai kader umat militan yang baik, berpikir jernih dan tabayun bukanlah opsi bagi para pecandu razia buku yang mentalitasnya selalu memandang bahwa medan kehidupannya senantiasa terancam oleh segala apapun yang berbeda dengan dirinya ini.
Orang-orang ini adalah semacam antitesis dari apa yang dijeritkan Descartes, “Aku tidak berpikir, maka aku ada,” plus, “aku merasa terancam, ngamukan, dan doyan merazia, maka aku ada,” dan tentu saja tak lupa, “razia buku kiri itu candu.”
Ditambahi lagi dengan asosiasi yang tak kalah serampangannya bahwa Marxisme pastilah PKI, dan oleh karenanya maka harus senantiasa dibasmi. Demikian pula dengan aksi massa pemberangusan massal sepanjang sisa 1965 dan berlanjut hingga era 1970-1980-an terhadap orang-orang yang dianggap anggota dan simpatisan PKI beserta keluarga dan kerabatnya.
Padahal, belum tentu juga mereka-mereka itu tahu menahu dengan apa yang terjadi di Jakarta pada dini hari terkutuk itu, apalagi terlibat. Bahkan, belum tentu juga mereka itu benar-benar anggota atau simpatisan atau konstituen PKI.
Bodo amat dengan berbagai studi yang menemukan bahwa tak sedikit dari yang terpersekusi dan terbantai pasca tragedi Lubang Buaya itu tidak memiliki afiliasi langsung dengan PKI. Pokoknya, asal dituduh sebagai PKI, maka baginya layak dihabisi.
Karena apa? Ya, karena premis awal itu tadi: 1) PKI itu komunis, dan komunis itu ateis dan keji, dan 3) Oleh karenanya layak dan wajib diberangus. “I can kill cause in God I trust!” teriak Eddie Vedder menyindir, “It’s evolution, Baby!”
Ini sebenarnya lucu, mempersepsikan secara sempit dan semena-mena bahwa Marxisme adalah PKI, dan semua PKI adalah ateis yang biadab dan berbahaya serta wajib diberangus. Akan tetapi, di saat yang sama menolak keras ketika agamanya diasosiasikan dengan berbagai perilaku segelintir umat yang bertolakbelakang dengan ajarannya sendiri.
Kalau kelompok lain berbuat kesalahan, itu memang karakter dan faham kelompok tersebut memang keji dan jahat. Tetapi, jika dari kelompok sendiri ada yang berbuat jahat, maka itu adalah kekhilafan dengan embel-embel “oknum” semata. Lalu buru-buru bikin klarifikasi, “mereka bukan bagian dari kami.”
Tapi, ya itu tadi. Jika berpikir jernih saja pun bukanlah opsi, maka apalagi berpikir adil. Lupakan jargon “Adil Sejak dalam Pikiran”-nya Pramoedya Ananta Toer itu, karena alih-alih itu, bahkan ajaran agama yang bertutur, “Janganlah ketidaksukaanmu terhadap suatu kaum sampai menghalangimu berbuat adil,” saja tak sudi diamalkan.
Setelah razia buku hari ini dan besok, lalu apa? Bahkan, andaikata seluruh buku Kiri di seluruh dunia ini sudah tuntas kamu razia, lalu apa? Kamu dapat apa? Apakah dengan begitu lantas kamu terlihat pintar dan bijaksana?
Apakah lantas orang-orang yang bukunya kamu berangus itu akan jadi terkagum-kagum lantas terpanggil hatinya untuk bergabung dengan kelompokmu? Apakah lantas pemikiran Kiri akan musnah? Apakah dengan begitu lantas nama baik kelompokmu akan menjadi harum dan mulia ke seantero dunia sebagai kelompok yang penuh kasih sayang dan kedamaian? Apa, Gonzalo, apa?
Nyatanya, sejauh ini kan tidak begitu yang terjadi. Yang ada adalah semakin ditekan, justru pemikiran-pemikiran Kiri menjadi semakin tersebar.
Karena apa? Karena semangat awal pemikiran Kiri itu lahir atas dasar keprihatinan dan perlawanan atas penindasan. Melawan pemikiran Kiri dengan razia buku ya sama aja kayak mencoba memadamkan kebakaran dengan cara menyiram bensin.
Ah, saya lupa. Saya kan lagi bicara soal bangsa yang istikamah yang terus mengulang kekeliruan cara berpikir dan bertindak. Wah, ya maaf, jadi saya yang salah karena menegur kesalahan berpikir yang sudah istikamah.
Jika Karl Marx dianggap pernah berujar agama itu candu, maka saat ini aktivitas razia buku kiri jauh lebih candu. Lalu kamu sambat mereka mau diajak berpikir gimana lagi? Ya sulit. Lha sudah kecanduan.