MOJOK.CO – Mau bahasa gaul Jakarta kek, mau bahasa Jawa kek—sebenarnya itu semua adalah hak yang punya mulut atau lambe, Bro.
Setelah punya HP baru yang cukup canggih dan secara teratur mengisi kuota unlimited, selain merokok, saya punya hobi baru yang sangat produktif, yakni nonton channel YouTube-nya Cak Dave Londokampung, seorang bule Australia yang sejak kecil menetap di Surabaya dan fasih berbahasa Suroboyonan. Di sana, ada puluhan unggahan video yang dijempol dan dipuji banyak warganet, termasuk saya.
Pada awalnya, mendengar bule yang fasih bertutur kata dalam bahasa Jawa membuat saya terkagum-kagum. Pikiran awam saya, bule dan bahasa Jawa dalam konteks oposisi biner adalah pertentangan antara simbol ndeso dan modern. Namun pada saat bahasa Jawa dituturkan si Bule, beliau jadi tampak keren dan njawani. Jelas, gagasan ini berlaku jika saya menempatkan diri saya sebagai inferior. Jangan-jangan sikap kagum berlebihan tersebutlah yang menyebabkan tanah Jawa jatuh ke tangan penjajah, mengingat para amtenar-amtenar pun fasih berbahasa Jawa!
Cerita tentang Cak Dave cukup sampai di sini. Sekarang posisinya coba kita balik: apa yang terjadi jika orang atau teman yang kita anggap ndeso dan medhok secara sadar dan membiasakan diri menggunakan bahasa gaul Jakarta dengan sapaan “gue-lo”, atau bisa kita sebut sebagai bahasa Jakartanan? Kesannya malah sebaliknya: nggilani!
Bolehlah saya berbagi pengalaman sebagai seorang non-penutur bahasa gaul Jakarta yang pernah secara terpaksa menggunakan bahasa ini ketika menjadi siswa SMA berasrama di kawasan Jakarta Coret. Saya ingat-ingat, caturwulan pertama adalah masa-masa sulit untuk beradaptasi dengan masalah logat bahasa agar ucapan bahasa Indonesia saya terdengar lebih Jakarta. Saya pun membiasakan diri menggunakan istilah “lo” dan “gue”. Sulit, karena saya menghabiskan masa kecil di Riau sehingga logat Melayu masih bergayut-gayut di pangkal lidah (bahkan sampai sekarang). Lagi pula, ada juga perbedaan makna dari bentuk kata yang sama.
Sering teman saya tertawa karena lafal saya tidak sesuai tajwid. Juga, banyak yang menertawakan ketika saya menggunakan perbendaharaan kata yang sebenarnya ada di dalam KBBI, contohnya: “Gue tegak (maksudnya berdiri) di sini aja,” yang kemudian dijawab oleh teman saya, “Eh, emang lo tiang listrik???” Pernah juga saya berucap, “Aduh, gigi gue tanggal (maksudnya copot atau lepas), nih,” yang ditanggapi dengan “Lah, emang gigi lo kalender???” Sepele, sih, tapi itu termasuk salah satu titik nadir dalam hidup saya.
Tidak cukup sampai sana, kala itu saya masih sering menggunakan panggilan orang pertama “aku” dan orang kedua “kamu” atau “kau”. Kalau keceplosan “aku- kau”, saya dianggap seperti berpantun atau berpuisi, sedangkan jika terucap “aku-kamu” kepada teman laki-laki, jelas akan terdengar aneh karena kata-kata itu digunakan bagi mereka yang berpacaran. Teman perempuan yang bukan siapa-siapa saya mungkin bahkan jijik mendengarnya karena terdengar seperti sedang dirayu atau dipacari secara sepihak.
Naaaah, hal-hal inilah yang menjadi kendala bagi anak-anak daerah, tak terkecuali bagi saya dan teman saya seorang anak Jawa asal Batu, Malang, yang selalu dirundung karena bahasa gaul Jakarta yang dimilikinya beraksen medhok, seperti dalam kalimat semacam “Ghuweee mau ke mBogor!” Dia sebenarnya mahir berbahasa Inggris, tapi itu tetap tidak memperbaiki nasibnya—dia masih menjadi minoritas.
Beruntungnya, lambat laun teman saya di Jakarta tidak lagi menertawai saya. Bukan karena saya semakin mahir berbahasa Jakartanan, tapi karena mereka akhirnya memahami kendala bahasa saya. Di titik inilah saya setuju bahwa bahasa adalah kesepakatan. Yang penting, satu sama lain bisa memahami.
Terlepas dari bualan di atas, sekarang saya ingin menempatkan diri sebagai subjek yang mengamati bahasa Jakartanan di tanah Jawa, Yogyakarta. Saya masuk Fakultas Ilmu Budaya UGM pada tahun 2004, masa-masa transisi gaya hidup konsumerisme mahasiswa UGM. Gambaran itu saya olah dari pernyataan kakak tingkat saya, seorang aktivis kampus dan kritikus jago kandang, sebut saja Bang Jusman, pemuda Makassar yang fasih berbahasa Jawa dalam segala tingkatan, dari ngoko hingga kromo. Dia memandang bahwa mahasiswa UGM, khususnya FIB, tidak lagi merakyat dan membudaya. Mungkin salah satu tanda “merakyat” adalah mahasiswa pendatang bertutur kata dalam bahasa Jawa seperti dirinya, terlebih kami menyandang beban mahasiswa Ilmu Budaya.
Obrolan ini terjadi di Bonbin (kantin sarang aktivis dan preman yang kebetulan diterima di UGM) gara-gara ada segerombolan mahasiswa yang berbicara bahasa gaul Jakarta. “Weh saiki Jakartanan kabeh, tur sugih,” keluh Bang Jusman.
Ya, bagaimanapun, tidak bisa dihindari dan ditolak, seleksi masuk mandiri UGM dan dibukanya kelas internasional memberikan peluang anak Jakarta untuk kuliah di sini. Mereka-mereka yang asli Jakarta pun bukan lagi cuma memperagakan bahasa, tapi juga pakaian, gaya hidup, dan pernak-pernik budaya lain. Mungkin, bagi sebagian anak pinggiran, mampu bertutur Jakartanan alias bahasa gaul Jakarta dan menyembunyikan logat Jawa adalah cara menjadi mahasiswa keren.
Saya sendiri sempat dekat dengan mahasiswa Jakarta KW II, sebut saja namanya Andhik. Pada awalnya, saya pikir dia memang berasal Jakarta. Namun, setelah saya bertanya langsung, dia pun menjawab dengan jujur dan tulus, mengakui bahwa dirinya merupakan orang Klaten keturunan Lampung.
[!!!!!!!!11!!!1!!!!!]
Lambat tapi pasti, Andhik ditinggalkan sebagian teman Jakartanya akibat jati dirinya ke-Klaten-annya terbongkar. Di sisi lain, teman-teman Jawanya risih dan menjauh karena ia dianggap “sok Jakarta” dan enggan menggunakan boso Jowo ke sesama kaumnya. Tidak cukup itu saja, seorang gadis asli Jogja yang sempat malu-malu naksir kepada Andhik pun mengurungkan niatnya karena ke-Klaten-annya tadi.
Duh. Cukup sedih juga. Gara-gara bahasa gaul Jakarta, dia sudah kehilangan aset sosial paling besar, yakni teman-teman sekaligus mantan calon pacarnya. Pada saat itu, Andhik-Andhik lain juga sebenarnya banyak; mereka digunjingkan teman-temannya menjadi jadi bahan gosip. Orang ndeso yang sok kota!
Hari ini, pada akhirnya, saya sadar bahwa tidak ada gunanya menertawakan orang karena pilihan bahasanya. Itu adalah hak yang punya mulut atau lambe, Saudara-saudara. Juga, tidak ada hak kita untuk mengklaim bahwa bahasa yang kita tuturkan bersifat eksklusif. Toh, jika kita, sebagai orang Indonesia, mampu dan mahir berbahasa asing yang dipercaya sebagai bahasa peradaban maju; Inggris, Prancis, dan China, tidak ada penutur asli mereka yang komplain dan menyebut bahwa kita tidak pantas menggunakannya, bukan?
Akhir kata, saya anggap ketikan ini sebagai instrospeksi yang menghibur diri sekaligus nawaitu pribadi ke depan agar kita semua dapat bersikap lebih dewasa dalam menanggapi fenomena budaya—termasuk bahasa gaul Jakarta yang kini berkembang dengan aksen Jaksel which is lebih nggateli.
Amin YRA!