Uang tidak dapat disangkal merupakan revolusi peradaban manusia yang paling akbar. Sebelum ada uang, selama ribuan tahun orang terbiasa tukar-menukar barang. Sebenarnya belum ditinggalkan sepenuhnya karena Indonesia di era e-money pun pernah menerima bayaran beras ketan dari Thailand atas pembelian pesawat yang mereka lakukan. Yang termutakhir ialah pembelian pesawat Sukhoi dari Rusia yang akan dibarter dengan kerupuk minyak sawit.
Produk teknologi tinggi ditukar dengan komoditas pertanian sebenarnya sah-sah saja, sepanjang nilainya sama. Presiden Habibie dalam satu kesempatan pernah membuat perbandingan bahwa nilai 1 kilogram pesawat setara dengan 450 ton beras. Artinya, satu pesawat senilai dengan 4,5 juta ton beras. Jelas bukan patokan standar dan itu kelemahan sistem barter. Soalnya, harga komoditas pertanian lebih sensitif terhadap tingkat ketersediaan, cuaca, dan kebijakan pemerintah. Berbeda dengan uang yang sudah lebih banyak mencakup banyak variabel sehingga nilainya jauh lebih baik.
Uang kertas memupus atau mengeliminasi kekurangan-kekurangan yang ada dalam sistem barter dalam seratus tahun terakhir. Untuk membeli sebidang tanah, seseorang tidak perlu membawa beberapa ekor sapi atau apalah-apalah sebagai alat tukar. Untuk nonton bioskop, seorang cowok tidak perlu membawa ayam hidup atau pisang setandan untuk mentraktir ceweknya nonton.
Setelah penggunaan uang kertas stabil, cara baru dalam bertransaksi dengan uang memasuki fase lebih lanjut. Penggunaan uang kertas dalam jumlah banyak mulai digantikan uang plastik. Bentuk persisnya kartu plastik kalau-kalau sebutan uang plastik bikin kids jaman old salah sangka itu uang 100 ribu plastik yang dulu sempat keluar sebentar. Kini, dompet tidak harus penuh mengganjal pantat, cukup diisi kartu debit yang ada saldonya. Bahkan, menariknya, pembayaran atas pembelian suatu barang dapat ditangguhkan atau dicicil dengan kartu kredit. Tentu itu menarik untuk orang yang di tengah bulan gajinya sudah habis dan tidak alergi pada riba.
Berikutnya, adanya inovasi cara pembayaran untuk berbagai keperluan dengan nominal relatif kecil. Uang elektronik (e-money) efektif menggantikan uang kertas dan plastik yang dirasakan kurang efisien dan aman untuk jenis-jenis pembayaran yang memerlukan kecepatan transaksi. Di Indonesia setidaknya ada empat bank plat merah dan satu bank swasta yang menjadi penerbit uang elektronik. Jenis “uang” inilah yang beberapa pekan ini dihebohkan.
Buzzer sejuta umat-cum–influencer papan atas, Iqbal Aji Daryono, beberapa hari lalu paling tidak turut menyumbang dua juta views atas postingan video candid seorang sopir yang berniat “mempermalukan” petugas toll yang menolak menerima uang tunai. Iqbal secara telak memberikan caption bahwa ini aksi genit kelas menengah kita atas probem yang sesungguhnya struktural. Kejadian seperti itu memang sering berulang. Masalah ada di tingkat pengambil kebijakan, tapi pengguna menimpakan kesalahan ke penunggu pintu tol.
Regulator yang lebih pantas untuk memikul tanggung jawab lebih, tetapi pengguna (biasanya) lebih memilih bersitegang dengan yang mereka sebut sebagai “pelanggar”. Persis dengan kengototan sopir dalam video tersebut. Petugas pintu tol yang menolak selain pembayaran nontunai dianggap pengguna jalan tol sebagai pengganggu.
Sialnya, di lapangan dia harus berhadapan dengan pengguna jalan tol bermental celengan bagong. Simak saja bagaimana sopir tersebut memilih bersilat lidah dengan kalimat yang spektakuler, “Abang nggak mau terima rupiah? Ini pembayaran sah, Bang!”
Orang seperti itu sulit dilawan dan tidak ada matinya. Kalau masuk ke arena permainan seperti Timezone pun pasti dia akan ngotot masukin gopekan ke lubang koin walau sudah dibilangi tidak bisa. Naik bus Transjakarta pun maunya bayar langsung ke kernet. Masuk hotel, dikasih kunci pintu berbentuk kartu magnet maunya minta kunci berlubang buatan Majapahit.
Petugas memberikan jawaban kalau dia hanya menjalankan tugas dari pemerintah. Sekiranya pengguna jalan keberatan dengan kebijakan dari pemerintah, proteslah kepada Jokowi. Aksi-reaksi tersebut memang berlebihan.
Secara kebijakan, tidak ada yang salah dengan penerapan pemberlakuan pembayaran nontunai. Jika infrastrukturnya sudah mumpuni, kecepatan mesin dalam memproses transaksi memang jauh lebih cepat dari manusia, termasuk tingkat ketelitiannya untuk meminimalkan kesalahan dalam pembayaran. Kalaupun setelah lolos dari gerbang tol langsung parkir massal karena macet, itu masalah lain lagi.
Hanya saja, sejak pertengahan September 2017 pemberitaan tentang uang elektronik (e-money) lebih didominasi kehebohan terkait akan dikenakannya biaya jika melakukan isi ulang (top–up). Bank Indonesia menetapkan biaya maksimal Rp1.500 untuk pengisian saldo di atas Rp200 ribu, dan Rp0 untuk pengisian di bawah Rp200.000. Tentu syarat dan ketentuan berlaku.
Peraturan Anggota Dewan Gubernur No. 19/10/PADG/2017 tanggal 20 September 2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional/National Payment Gateway (PADG GPN) memang menyebutkan ada biaya yang dikenakan pada transaksi isi ulang yang dilakukan melalui kanal pembayaran milik penerbit kartu. Peraturan ini yang mengundang kecaman berbagai pihak.
Tidak kurang DPR, YLKI, Badan Perlindungan Konsumen Nasional, lembaga penelitian independen, dan masyarakat memberikan tekanan kepada pemerintah terkait kebijakan yang bersifat disinsentif (baca: menyusahkan) tersebut. Sementara itu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) secara terbuka menolak kalau biaya tambahan pada transaksi isi ulang uang elektronik dibebankan sepenuhnya kepada konsumen. Kalaupun harus ada biaya, pemerintah dan operator harus mengambil porsi lebih besar dibandingkan konsumen.
Watak dari teknologi yang dipergunakan untuk kepentingan umum sudah sewajarnya membawa kemudahan, tetapi kalau membuat masyarakat menjadi harus membayar lebih, tentu orang jadi malas. Bukankah tujuan utama mendorong penggunaan uang elektronik ialah untuk mempercepat terbentuknya cashless society (masyarakat nontunai)?
Lagi pula, menurut keterangan seorang profesional yang bekerja di perusahaan security system, biaya untuk memproduksi kartu e-money tidak lebih dari Rp10.000. Nilai intrinsik dan politis kartu plastik tersebut kalau sudah digunakan secara luas, jauh di bawah uang kertas Rp10.000 sekalipun. Sementara lembaga penerbit kartu menjualnya di kisaran Rp25.000.
Artinya apa? Kalau kita memaklumi bahwa selisih yang ada merupakan investasi perbankan, nilai uang yang dipindahkan ke kartu bermaterial plastik tersebut seharusnya akan selalu sama atau tidak berkurang. Sederhana sekali. Maka, menjadi wajar ketidaksetujuan banyak pihak atas dasar penetapan top-up on us (isi ulang di kanal penerbit kartu) di bawah Rp200 ribu dibebaskan biaya, sedangkan di atas Rp200 ribu dikenakan biaya Rp750.
Bagaimana penjelasan paling masuk akal bahwa konsumen yang melakukan top up di atas Rp200 harus dikenakan biaya? Apakah mereka membebani sistem?
Kalau top up off us (pengisian ulang menggunakan kanal lintas kartu), timbulnya biaya dapat dimaklumi, karena memanfaatkan infrastruktur vendor lain. Seperti halnya kebiasaan di bank selama ini jika menggunakan fasilitas transfer. Tetapi, adanya peraturan BI yang membolehkan penerbit kartu membebankan biaya pada saat isi ulang menguatkan sinyalemen bahwa para penerbit kartu memang mengincar pendapatan non bunga (fee based income) pada saat top-up on us. Kelihatannya receh, tetapi kalau diakumulasikan angkanya besar.
Dari sisi pemerintah, uang elektronik mengurangi biaya sangat besar dalam peciptaan uang kertas. Dari sisi perbankan dan merchant/operator, transaksi jadi lebih efisien dan efektif. Tidak perlu kurir pengantar uang fisik, tidak perlu tenaga hitung uang yang sangat mungkin terjadi selisih, dan sangat jauh menekan peredaran uang palsu.
Itu manfaat dari sisi pemerintah, perbankan, dan operator. Sementara dari sisi konsumen kalau ada selisih nominal sebagai akibat dari munculnya biaya isi ulang, apa keuntungannya? “Buntung, Bung!”
Itu kita baru bicara uang elektronik secara fisik. Dalam perkembangannya, dompet virtual semacam e-cash, TCASH, Doku, XL Tunai, dan GoPay juga merupakan uang elektronik. Bedanya, kalau kartu berbasiskan chip sementara dompet virtual berbasiskan server. Fleksibilitasnya tentu saja lain. Kartu fisik untuk pembayaran tol hingga gerai supermarket yang sangat menjamur itu, sedangkan dompet virtual untuk pembayaran layanan berbasis online.
Mendorong terbentuknya masyarakat non tunai sangatlah penting. Perubahan teknologi dan kompleksitas masalah di kota besar dalam beberapa hal memang tidak dapat ditawar lagi. Tetapi, regulator sebenarnya dapat membuka ruang lebih luas lagi untuk tidak terlalu mementingkan dunia usaha jauh di atas keadilan untuk konsumen.
Kita terlalu sibuk membahas uang elektronik, tetapi lupa bahwa rakyat, lebih dari 98% masih memegang uang tunai. Sementara kebutuhan uang elektronik hanya terbatas untuk masyarakat perkotaan. Itu pun terbatas di kota-kota besar saja. Bahkan secara pasti dapat dikatakan keriuhan ini seharusnya bukan masalah nasional.
Kenya yang ndeso saja memanfaatkan penetrasi teknologi seluler untuk untuk mengembangkan keuangan inklusif melalui M-PESA. Sistem ini memungkinkan masyarakat miskin yang tidak mempunyai akses dengan bank formal dapat menikmati fasilitas kredit, deposit, dan yang jelas memangkas biaya transaksi. Ini seharusnya menginspirasi dan perlu kita “ributkan” untuk dapat meningkatkan akses keuangan bagi masyarakat miskin secara nasional. Dalam banyak hal M-PESA jauh lebih unggul dibanding kartu-kartu sakti yang selama ini kita kenal.
Terakhir, elektronifikasi hanya dapat dicapai jika masyarakat diberikan edukasi dan insentif, bukan dibebani. Banyak contoh keberhasilan kebijakan uang elektronik di dunia berhasil karena adanya insentif. Sama satu syarat lagi: listrik dan internet seluruh Indonesia terjamin nyala dan konek 24 jam.