Setelah seminggu lalu FPI berurusan dengan Google karena munculnya label “Mabes Fitsa Hats” pada alamat DPP FPI di Google Maps, dua hari lalu akun Twitter resmi FPI (@DPP_FPI dan @HumasFPI) dan Habib Rizieq (@syihabrizieq) di-suspend (ditangguhkan) oleh Twitter.
Sayangnya, Google memberi alasan yang masuk akal bahwa data mereka juga disumbang oleh pengguna, makanya nama macam Mabes Fitsa Hats itu bisa muncul. Kalau tidak, mungkin akan muncul hiburan polemik baru berupa duel antara FPI vs perusahaan Amerika, wabil khusus perusahaan media sosial.
Setelah berselancar mencari perihal di sebalik pemblokiran ini, kabarnya penangguhan akun tersebut didasari oleh laporan dan pengamatan pihak Twitter terhadap akun-akun afiliasi FPI. Kesimpulan mereka, akun-akun tersebut telah melanggar tata aturan dengan isi post yang you-know-what gitulah. Tapi, secara logika saya ini agak lucu juga: kalau memang begitu, kenapa tidak sekalian Twitter-nya Abangnda Agung Jonru juga disuspend? Secara isi Twitter-nya pun tidak jauh beda dengan FPI.
Namun, yang menarik perhatian saya adalah sebuah pamflet digital yang saya temukan dalam salah satu laman Facebook khusus meme dan shitposting tawa canda yang kerap saya kunjungi. Dalam pamflet tersebut, gambar Habib Rizieq Syihab dengan elegannya terpampang dengan kata-kata di sampingnya yang menyerukan: 1) pemboikotan Twitter oleh umat Islam, 2) panggilan kepada anggota FPI di AS untuk mendemo kantor Twitter, 3) pengerahan cyber army FPI untuk mengambil-alih Twitter.
Kelihatannya sih itu tidak betulan. Namun, di antara ketiga ultimatum tersebut, ide pemboikotan terdengar begitu realistis, dan tentu saja Habib Rizieq sendiri menyatakan hal itu tidak perlu dikagetkan. Setelah dengan mudahnya pemboikotan Sari Roti menyebar, aksi boikot-boikot lainnya tentu akan bermunculan.
Jika FPI ingin memboikot Twitter, saya termasuk golongan yang tidak masalah. Malahan, mungkin akan saya dukung. Lagi pula, tidak sepatutnya FPI sebagai sebuah ormas yang berjalan di jalur dakwah memiliki akun Twitter. Kultwit pada dasarnya bukanlah sebuah jenis dakwah yang efektif, dengan segala pembatasan karakter lalu ditambah dengan pernak-pernik tweet, mention, atau yang lebih buruk lagi, hashtag, membuat dakwah yang seharusnya bisa lancar terbaca orang malah jadinya terpotong-potong. Sudah sepatutnya FPI memfokuskan diri membangun bentengnya di Facebook, apalagi pengguna Facebook Indonesia jauh lebih banyak ketimbang pengguna Twitter. Dakwah di Facebook juga terbukti efektif kok, tanya saja Kangmas Iqbal, sufi mencakup sopir truk di Ostrali itu.
Selain itu, dengan memboikot Twitter, FPI bisa mengamankan dirinya dari anggapan berafiliasi dengan gembong teroris dunia seperti ISIS. Sebab, diduga salah satu cara ISIS merekrut anggotanya adalah dengan melalui Twitter. Nah lho, jika saja ada yang menghubung-hubungkan perihal ini dengan keberadaan akun FPI yang juga ada di Twitter, bisa tahu sendirilah bagaimana nantinya.
Twitter juga rentan dengan pembobrokan akhlak. Jangankan akhlak manusia, akhlak AI (Artificial Intelligence) saja bisa rusak kok di Twitter. Anda mungkin terlewatkan perihal ini, namun pada awal 2016, Microsoft melepas seorang/seekor/sebuah AI bernama Tay ke Twitter. Ia unyu-unyu alay gitu, bertingkah seolah remaja perempuan yang baru puber. Namun dalam masa singkat, ia berubah menjadi robot seksual pencinta Hitler. Gawat sekali, bukan? Bagaimana FPI, yang segala uratnya tersambungkan hanya dengan akhlak yang baik, bisa bertahan di media bedebah sebegitu?
Namun, alasan-alasan di atas bukanlah alasan saya untuk mendukung pemboikotan. Di atas lebih tepat sebagai pemicu, atau alasan yang semoga memperkuat FPI untuk benar-benar memboikot Twitter. Alasan yang sebenarnya adalah: supaya saya tidak perlu lagi mengunjungi akun gebetan masa lalu saya.
Ini perkara serius. Saya pernah jatuh hati kepada seorang adik kelas ketika kelas XI SMA dulu (dan ia kelas X). Namun berhubung tampang saya tidak jauh berbeda dengan Nicholas Saputra yang digaplok Habib Rizieq di pipi kanan dan Ahok di pipi kiri, satu-satunya hal yang berani saya lakukan hanyalah meng-add akun Facebook-nya yang jarang aktif dan mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya, yang ia balas dengan begitu manis. Itu, pada akhirnya, menjadi satu-satunya komunikasi saya kepadanya.
Hingga saya menemukan akun Twitter-nya yang rupanya sangat aktif. Di situ kadang ia mem-posting foto-fotonya bersama keluarga, videonya bermain biola (demi Allah, alunan biolanya indah sekali), hingga curhatan-curhatannya. Ketika itulah saya membuat akun Twitter, rencana ingin mem-follow, namun apalah saya? Bagaimana nanti jika melakukan hal tersebut, ia malah merasa geli dan aneh? Maka, akun Twitter pun hanya digunakan untuk media stalking akunnya.
Hingga ia lulus SMA, balik ke Indonesia, dan memilih belajar ke UGM (dan saya sudah setahun di University of Malaya), saya tidak pernah melakukan komunikasi yang berarti dengannya. Pernah sih, ketika ia dan saya sama-sama ditugasi menjadi panitia buku tahunan sekolah, saya lagi mencuci baju tiba-tiba HP jadul saya kedapatan SMS nomor asing yang masih pake kode area Malaysia. Ketika saya buka, Masya Allah! Rupanya dia! Saya masih ingat bagaimana ayam kentaki menjadi hambar gara-gara saya tidak sabar ingin menjawab SMS darinya. Tapi ya, hanya sebatas itu.
Hingga saya menulis artikel ini, tidak pernah ada sekutip pun tanda-tanda dari saya ke dirinya yang menyatakan bahwa saya (pernah) menyimpan hati kepadanya. Sialnya, dalam masa kuliah kini, hati saya sempat pula tertarik dengan seorang gadis Melayu. Dan pada saat yang bersamaan, Twitter selalu menjadi penggoda untuk kembali dibuka dan stalking gebetan lama saya itu. Jadi ini saya sebenarnya harus buat apa?
Nah kalau begini, Cik Prim dan Gus Mul, apalagi solusinya untuk saya selain mendukung FPI memboikot Twitter? Untuk nembak saja saya tidak mampu, apalagi memboikot media aseng? Hanya ormas sebesar dan sebaik FPI yang mampu ka? Salahkah kiranya Mbak, jika saya terpaksa melibatkan FPI dalam pergulatan batin dan asmara saya? Saya tunggu jawabannya, Cik dan Gus. Salam.
Eh, babun. Ini kan bukan #CurhatMojok.