MOJOK.CO – Punya rencana kuliah di Australia? Nah, ini penting kamu baca. Terutama kalau kamu kere lahir-batin sejak dari kandungan tabungan.
Beberapa hari lalu sesebapak mantan awardee LPDP Bachtiar W. Mutaqin ngomyang soal penerima beasiswa LPDP yang merengek-rengek minta kenaikan uang saku. Beliau secara rinci menghitung bahwa uang yang diberikan oleh negara melalui skema LPDP sudah lebih dari sekedar cukup.
Tak lupa pula, dia sampaikan beberapa trik jitu untuk bisa hemat sembari tetap bisa menikmati hidup, berdasarkan pengalamannya kuliah di Perancis—tentu saja.
Sebagai sesama penerima beasiswa (meski bukan LPDP), saya ingin membantu memberikan sedikit pencerahan atas kegelisahan oknum awardee ini, dan juga para penerima beasiswa apapun yang akan kuliah di Australia nanti selepas pandemi. Ya semata-mata agar kaliyan jangan sampai keblondrok saat sampai di sini nanti.
Hal pertama yang perlu kamu tahu, biaya hidup di Australia itu mahal. Dan terasa lebih mahal kalau kuliahnya harus bayar sendiri. Tapi kalau ada beasiswa penopang, hidup akan sedikit ringan, nafas enggak engap-engapan, pulang-pulang bisa bawa gelar sekaligus sedikit tabungan.
Meski begitu, perlu dicamkan dalam hati dan diejawantahkan dalam perbuatan sedari awal bahwa menjadi mahasiswa dengan beasiswa itu hanya segaris di atas ambang kemiskinan.
Umumnya, pemberi beasiswa dari dalam dan luar negeri untuk mahasiswa Indonesia yang kuliah di Australia menjatah uang saku rata-rata $2.000 per bulan.
Angka ini sedikit di atas jumlah yang diterima oleh warga negara Australia yang berhak atas santunan bulanan sebesar antara $1.200 sampai $1.800, tergantung syarat dan ketentuan.
Nah, uang saku bisa terkuras sekitar 30-45%-nya hanya untuk sewa rumah. Belum lagi untuk makan, menjaga penampilan, dan juga mabuk-mabukan menjaga pergaulan.
Wah, berat nian! Tenang. Ingat, tidaklah seorang hamba diberikan cobaan kecuali di dalam batas kemampuannya.
Sebagai mahasiswa, visa yang didapat adalah visa pelajar sub class 500. Dengan visa ini si mahasiswa coursework diperbolehkan kerja paruh waktu saat semester berjalan dan kerja sak modare saat libur semester.
Libur musim panas kira-kira 3 bulan. Sementara itu, mahasiswa research umumnya tidak dibatasi jam kerjanya. Pasangan si mahasiswa, suami atau istri, diperbolehkan bekerja hingga 24 jam sehari, 7 hari seminggu, seperti Indomaret. Dengan catatan, asal kuat. Huehehe.
Batas kerja untuk mahasiswa coursework resminya sih maksimal 20 jam per minggu. Tapi, aturan ada buat apa? Ya, betuuul. Buat diakali.
Ada banyak tempat kerja yang mau cash-in-hand alias bayar tunai upah doang. Mahasiswa nggak kena aturan batas jam, pemberi kerja gak harus kena pajak ini itu. Sedap, kan?
Restoran, toko dan cleaning service adalah tempat kerja kebanyakan mahasiswa asing. Akhir-akhir ini ada Uber Eats, macam GoFood yang bisa pakai sepeda, sepeda motor, atau mobil.
Jadi nggak usah heran kalau ada seorang pejabat di sebuah kementerian di Jakarta saat di Australia kerjanya ngosek toilet atau ngojek sepeda nganter makanan. Biarpun berat, cuannya mantap, Bows! Itung-itung nge-gym lah.
Kisaran upah per jamnya antara $18-25. Saya dulu jadi tukang cuci mobil bayarnya $18. Mas Iqbal Aji Daryono dan supir truk se-Australia gajinya kebanyakan di atas $25.
Nah, bagi seorang mahasiswa Indonesia yang kuliah di Australia, dengan bekerja 15 jam saja setiap minggunya sudah bisa menutup sewa rumah dan kebutuhan makan. Maka, dengan sendirinya uang saku dari beasiswa akan aman di rekening tabungan.
Dengan bekerja sambilan saja sebenarnya sudah lebih dari cukup. Tapi, jika ingin lebih irit lagi, ada beberapa langkah jitu yang bisa saya bagikan.
Pertama soal makanan. Kalau malas memasak, warung-warung di foodcourt setelah jam 2 biasanya akan menjual paketan makan di harga $5, setengah harga dari biasanya. Sudah diwadahi kotak plastik. Bisa beli beberapa, masukkan kulkas, nanti kalau mau makan tinggal dipanaskan di microwave.
Kalau tertarik memasak, ada banyak opsi bahan mentah yang murah. Di Perth misalnya ada swalayan bernama Spudshed yang jual sayur dan buah lebih murah ketimbang toserba lain macam Coles atau Woolworths.
Di Adelaide ada jual sayur borongan di Central Market di akhir pekan yang murahnya minta ampun! Ada pula Sunday Market di yang jualan sisa-sisa grosiran. Sekilo kepala dan sisaan salmon Cuma dipatok $5, cukup buat bikin gule kepala ikan ala Mas Agus.
Kalau masih mau ngirit lagi dan menghayati jiwa anak kos, mie instan tersedia di mana-mana dan murah juga. Namun, patut dicatat bahwa mie yang diimpor ke Australia itu kadar micinnya rendah. Perlu ditambah penyedap rasa agar tidak mengalami sakaw MSG.
Selain itu, ada beberapa yang namanya kemringgris dan justru membingungkan. Indomie Rasa Soto, misalnya, jadi Indomie Vegetable Flavour! Wew, blas ra mashoook.
Selanjutnya, untuk urusan busana ada tiga opsi yang bisa saya sarankan kalau kamu nanti kuliah di Australia.
Pertama adalah Sunday Market.
Ini macam pasar loak mingguan yang biasanya digelar di parkiran pusat perbelanjaan dari jam 6 hingga 10 pagi. Setidaknya ada tiga pasar loak ini yang saya tahu di wilayah Perth. Yang dijual beraneka ragam dan taksiran kasar saya 80% adalah barang bekas. Jadinya mesti pinter-pinter milih.
Pasar loak ini dikelola oleh Perkumpulan Rotary. Anda bisa belanja di sini tapi dengan syarat harus siap dituduh sebagai antek Wahyudi, sebab Rotary sendiri di sebagian negara dituduh sebagai perpanjangan tangan Zionis dan Freemasonry. Gimana, masih berani?
Tempat kedua adalah yang biasa disebut co-op shops atau thrift shops. Intinya sih yang dijual adalah barang bekas juga. Komponen terbesar biasanya pakaian perempuan.
Pakaian laki-laki juga ada tapi tidak seberapa banyak. Harganya sedikit mahal dibandingkan tempat pertama, ada di kisaran $8-14, tapi pilihannya lebih beragam.
Toko-toko ini menerima barang sumbangan dari masyarakat dan keuntungan dipakai untuk kegiatan organisasi induk toko tersebut. Organisasi induknya macam-macam, seperti Salvation Army Good Sammy, Red Cross, dan Oxfam.
Nah, membeli di sini berarti turut menyumbang pada kegiatan sosial yang mereka lakukan. Jadi, buat kamu-kamu yang kerja di lembaga internesyenel macam Red Cross dan Oxfam ndak usah kemaki. Di setiap transferan gaji ada recehan mahasiswa-mahasiswa Indo melarat kayak saya yang kuliah di Australia ini.
Nah, kalau merasa tidak nyaman dengan pakaian bekas, pakaian baru dengan harga murah juga ada. Ada dua pilihan toko, BIG W (bacanya big double you, ya, bukan big way!) dan Kmart. Mereka ini biasanya ada di mal-mal besar. Pakaian cuman salah satu barang dagangannya.
Dengan mengeluarkan 10 hingga 25 dolar pakaian baru sudah didapat. Kebanyakan barangnya adalah home brand. Ada juga sih yang bermerek, macam Champions dan Lonsdale.
Tempat belanja ini populer untuk orang Australia dari kelompok tertentu, yang dikenal dengan sebutan bogan. Para bogan adalah salah satu penghuni kasta sosial terendah di Australia yang mengandalkan hidup dari santunan BLT yang saya sebut di atas.
Jadi, untuk orang asing, berbelanja di tempat seperti ini adalah seperti proses cultural immersion. Turut larut dalam budaya lain dan menjadi bagian dari masyarakatnya. Tapi kok sayangnya budaya sesama kere, ya!
Belanja di sini juga mengharuskan tutup mata dan tega hati. Kok gitu? Iya.
Pernah dengar istilah sweatshop? Kalau kita cek label pakaian yang dijual di situ, kebanyakan tertera Made in Bangladesh, Pakistan, India, atau negara dengan upah buruh rendah dan rentan eksploitasi. Bisa jadi pakaian itu dibikin oleh anak-anak yang diperbudak oleh industri adibusana nun jauh di sana.
Hayo pilih mana? Belanja irit atau menegakkan fair trade?
Pemberi beasiswa memberikan kesempatan untuk kuliah di Australia atau negeri lain bukan hanya soal menyelesaikan studi, melainkan juga agar mahasiswa belajar mengembangkan wawasan dan keterampilan diri dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan. Tidak ada orang besar yang lahir dari kemudahan…
…kecuali kalau situ Mbak Puan atau Mas Gibran.
BACA JUGA Aturan No. 1 Kuliah di Luar Negeri: Jangan ke Australia kalo Bajet Ngepas atau tulisan Sugiyanto lainnya.