Warisan Penting Didi Kempot untuk Musisi Indonesia Zaman Kiwari

Mari kita kenang Didi Kempot sebagai musisi luar biasa yang tidak pernah setengah-setengah dalam berkarya, lalu mari kita jadikan warisan yang dia tinggalkan untuk berkarya dengan lebih baik.

Warisan Penting Didi Kempot untuk Musisi Indonesia Zaman Kiwari MOJOK.CO

Ilustrasi Warisan Penting Didi Kempot untuk Musisi Indonesia Zaman Kiwari. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COWarisan Didi Kempot tentu bukan hanya untuk para musisi muda. Tapi juga untuk para penikmat dan pendengar musiknya.

Tak terasa, tiga tahun sudah sosok penyanyi campursari legendaris Didi Kempot meninggalkan kita. Lord Didi, julukan yang melekat padanya, meninggal dunia pada 5 Mei 2020. Berpulangnya sang maestro campursari ini tentu membuat banyak orang kehilangan, terutama bagi mereka sobat ambyar, yang menggemari Lord Didi dan musik campursarinya yang kadang dinamis kadang nggrantes itu.

Kepergiannya juga membuat saya sedih bukan kepalang. Sejak kecil saya sudah karib dengan tembang-tembang penyanyi yang memiliki nama asli Didik Prasetyo ini. Sebagai seseorang yang lahir dan tumbuh dewasa di kultur Jawa, nama Didi Kempot tidak asing untuk saya.

Kebetulan, bapak dan paklik saya gandrung dengan campursari. Selain mendengarkan Manthous, mereka tentu saja juga mendengarkan Didi Kempot. Dari koleksi VCD bajakan Didi Kempot milik bapak dan paklik yang dibeli pas hari pasaran wage di lapak VCD bajakan Pasar Karangpandan itulah saya mengenal sosok Didi Kempot.

Didi Kempot Menyempurnakan campursari

Tapak tilas sejarah lahirnya musik campursari, kita bisa berkaca pada R.C. Hardjosubroto. Bisa dibilang seniman kelahiran Yogyakarta ini yang meletakkan embrio campursari. Dia membuat seni tradisional gamelan lebih menjadi lebih fleksibel menghadapi zaman.

Almarhum Manthous, musisi asal Yogyakarta yang kemudian menjadi sosok musisi yang mempelopori aliran musik campursari bersama Campur Sari Gunung Kidul (CSGK) pada medio 70an. Namun, Didi Kempot yang bisa dibilang makin mempopulerkan campursari ke level kemasyhuran yang tak terduga sebelumnya.

Didi Kempot tidak menciptakan atau menemukan musik campursari. Namun, semasa hidupnya, Lord Didi menyempurnakan dan mengembangkan musik campursari menjadi bentuk musik yang digandrungi para sad boi dan sad girl era kiwari.

Campursari merupakan genre musik yang unik. Musik ini adalah hasil padu padan unsur karawitan Jawa dan instrumen musik modern. Ada proses alih wahana terjadi di sini. Di campursari, laras pentatonik pelog dan slendro dari karawitan Jawa dimainkan melalui medium instrumen modern seperti keyboard, gitar, dan bass. Umumnya, untuk kian menebalkan rasa njawani, bangunan musik ini kemudian ditambahi kendang di departemen ritmis, dan dua atau tiga pasang saron.

Warisan Didi Kempot

Bahkan, setelah berpulang tiga tahun yang lalu, penggemar musik Didi Kempot masih banyak. Tercatat sampai tulisan ini dibuat, statistik menunjukkan bahwa per bulan dia memiliki 514,579 pendengar di Spotify. Salah satu hitsnya “Cidro” telah dimainkan sebanyak 14,810,049 kali. Sedangkan “Sewu Kutho” salah satu tembangnya yang paling terkenal telah dimainkan sebanyak 9,982,845 kali di Spotify.

Meski telah berpulang pada tiga tahun silam, Lord Didi telah meninggalkan warisan yang berharga untuk musisi campursari, dangdut, dan musik secara luas di Indonesia. Sudah sepatutnya para musisi zaman now bisa menggunakan warisan yang ditinggalkan almarhum itu ketika berkarya.

Inilah beberapa warisan yang ditinggalkan The Godfather of Broken Heart untuk para musisi generasi muda kekinian.

Pantang menyerah 

Sikap pantang menyerah ini adalah warisan Didi Kempot yang bisa dijadikan panutan oleh para musisi generasi baru. Lord Didi memulai karier bermusiknya benar-benar dari bawah. 

Sebelumnya, Didi Kempot adalah musisi jalanan. Dia ngamen dari satu bus ke bus lainnya, dari satu tempat ke tempat lainnya. Kemasyhuran tidak ujug-ujug datang begitu saja ke adik pelawak Mamiek Prakoso ini. Dia harus berjibaku dulu dengan medan musik jalanan yang keras nian. Jika kemudian Didi Kempot menjadi musisi yang tenar secara nasional, itu adalah buah dari sikap persisten yang luar biasa.

Nah, musisi zaman kiwari ada baiknya mencontoh sikap persisten Didi Kempot itu: pantang menyerah. Meskipun karyamu yang baru dirilis dicap jelek atau nonsens, jangan menyerah! Poles terus karyamu itu sampai menjadi sebuah karya yang rupawan. Belajarlah terus! Kembangkan terus proses kreatifmu.

Alih wahana 

Warisan lainnya adalah bagaimana Didi Kempot melakukan proses alih wahana di musik campursari yang dimainkan. Dengan gagah berani, dia menjumput sedikit demi sedikit pola (pattern) dan unsur musik karawitan Jawa. Dia lalu menerapkannya di instrumen modern konvensional. 

Proses ini tidak mudah karena umumnya alih wahana itu menimbulkan banyak pertentangan. Sebagaimana Didi Kempot yang dituding sebagai musisi kitsch oleh para purist karawitan Jawa karena dianggap “merusak kemurnian karawitan”.

Musisi era kiwari ada baiknya jangan takut melakukan alih wahana seperti yang Lord Didi lakukan. Perluas perbendaharaan musik kalian! Lalu jumput sedikit unsur dari musik itu! Campur dengan sejumput unsur lain dari musik lain, lalu campurkan semuanya. Niscaya karya musikmu akan lebih berwarna dan “nggak gitu-gitu aja”.

Jangan berhenti berkreasi 

Jika menapak tilas karya-karya Didi Kempot di diskografinya yang panjang itu, kita akan mendapati bahwa Didi Kempot tidak pernah berhenti berkreasi. Selalu ada aransemen baru di lagu-lagunya. Mulai dari campursari biasa, hingga ke unsur rock, keroncong, dan dangdut. Dua unsur terakhir malah dikenal sebagai congdut. Perpaduan antara keroncong dan dangdut.

Jadi, wahai para musisi Gen Z yang budiman, gunakan warisan ini. Jangan berhenti berkreasi. Kalian bisa saja mencampur indie pop dan prog-rock. Atau menyatukan dangdut dan K-pop. Pokoknya jangan berhenti berkreasi. Titik.

Membuat musik yang relate dengan banyak orang 

Meski ada beberapa lagu yang berunsur politis dan menyoroti kondisi sosial (seperti lagu “Kuncung”), tidak bisa dimungkiri sebagian besar tema lagu Didi Kempot adalah tentang percintaan, dan yang menarik, percintaan itu tak selalu berujung manis. Seringnya malah berasa pahit dan nggrantes. Dengan cara yang ajaib Didi Kempot bisa menyuarakan kegundahan para sad boi dan sad girl yang kisah cintanya kandas di tengah jalan.

Lagu-lagu Didi Kempot seperti menggetok batok kepala para pendengarnya bahwa sedih itu sesuatu yang wajar dan normal. Bahwa menjadi sosok yang nggrantes itu bukanlah sebuah masalah. Wajar jika kemudian, meskipun berbahasa Jawa, lagu-lagu Lord Didi meledak di pasaran. Ini karena kepiawaian Didi menggubah lagu yang relate dengan masyarakat luas. Bicara budaya pop, apalagi topik yang paling relate dengan kehidupan keseharian kita selain cinta?

Warisan Didi Kempot yang ini menjadi PR besar juga untuk para musisi zaman kiwari: bagaimana cara menciptakan musik yang relate dengan masyarakat luas, namun juga tidak kehilangan unsur estetis musik tersebut.

Kesimpulannya, Lord Didi memang telah meninggalkan dunia nan fana ini, dan berpulang ke Yang Maha Kuasa. Namun, karya-karyanya akan abadi. Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan Didi Kempot berpulang meninggalkan warisan-warisan. Baik dalam bentuk sikap (attitude) maupun dalam bentuk karya.

Cetak biru dari Didi Kempot

Warisan penting yang ditinggalkan Didi Kempot ini bisa digunakan sebagai cetak biru untuk para musisi zaman kiwari dalam berkarya. Mari kita kenang Lord Didi sebagai musisi luar biasa yang tidak pernah setengah-setengah dalam berkarya, lalu mari kita jadikan warisan yang dia tinggalkan untuk berkarya dengan lebih baik.

Warisan Didi Kempot tentu bukan hanya untuk para musisi muda. Tapi juga untuk para penikmat dan pendengar musiknya: bahwa bersedih dan nggrantes itu normal. Sedih kemudian menangis itu adalah mekanisme alamiah tubuh untuk melepaskan emosi yang membuncah. Jadi, sesekali nangis sembari mendengarkan “Cidro” atau “Stasiun Balapan” itu gpp.

BACA JUGA Karier Didi Kempot Seperti The Beatles, Nggak Pernah Padam, Tapi Diremajakan Lagi dan renungan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Aris Setyawan

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version