MOJOK.CO – Jatuhnya vonis mati kepada dedengkot Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Aman Abdurrahman bukan berarti masalah bakalan selesai. Hati-hati, vonis mati kepada Aman bisa menjadi inspirasi untuk gerakan teror balasan di Indonesia. Bagaimana cara mengatasinya? Cukup cuek saja. Udah. Dan ini bukan satire.
Sidang kasus dengan terdakwa pelaku teror Aman Abdurrahman usai sudah. Vonis mati alias hukuman tertinggi dari hakim menjadi bukti bahwa tidak ada hal yang bisa meringankan Aman dari perbuatannya. Aman terbukti secara sah dan meyakinkan bertanggung jawab atas beberapa aksi teror yang terjadi. Ketika vonis dibacakan, bukannya bersedih karena sebentar lagi akan menemui ajal, pelopor gerakan jaringan afiliasi ISIS di Indonesia ini malah melakukan sujud syukur. Hal yang semakin menandakan bahwa betapa berbahayanya organisasi yang dikomando Aman ini.
Mendengar kabar mengenai putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta tersebut, saya jadi ingat bahwa dulu punya kenalan salah seorang mantan kombatan yang juga pernah berbaiat ke ISIS seperti Aman. Bahkan keikutsertaannya dalam organisasi yang berafiliasi dengan ISIS memberi saya begitu banyak informasi langka. Oleh sebab itu, jelas dia adalah salah satu narasumber yang cukup otoritatif untuk menanggapi vonis mati Aman.
Orang yang sangat berkompeten bicara tentang hal ihwal dunia ikhwan jihadi—begitu para aktivis kelompok teror ini menyebut dirinya—ini bersedia memberikan banyak sekali keterangan, tapi tidak jati dirinya. Dan meskipun identitasnya cukup penting, saya perlu menghormati keputusan yang bersangkutan untuk tidak mencantumkan namanya pada tulisan saya di mana pun berada. Tidak hanya pada beberapa liputan invetigasi saya, maupun di situs nakal seperti Mojok ini.
Sejak cukup lama, narasumber saya ini sudah memilih untuk tidak pernah muncul ke permukaan. Meski kini jelas-jelas yang bersangkutan sudah “cabut” dari ISIS, tapi tetap saja rumahnya tak pernah ketinggalan diawasi oleh Polisi. Untuk mempermudah, mari kita sebut saja namanya Ustaz Slamet untuk tulisan ini.
“Untuk seorang Aman Abdurrahman, sebenarnya (dia) tidak akan terlalu banyak berpengaruh di bawah,” ucapnya, membuka jawaban ketika saya tanya bagaimana efek vonis mati Aman Abdurrahman terhadap anggota JAD di bawah. “Sejak lama, Aman tidak dianggap sebagai figur sentral perjuangan,” imbuhnya.
Sekadar diketahui, dalam dunia tanzhim jihadi, Aman bukan sosok yang paling menonjol. Dia dianggap mempunyai dua kelemahan. Pertama, Aman kerap kali tidak konsisten untuk sebuah keputusan, bukan komandan lapangan yang hebat, serta pengalaman kombatannya minim.
Selain itu, Ustaz Slamet memberikan penjelasan bahwa ISIS Indonesia itu unik tidak seperti ISIS di negara-negara lain. Mereka tak pernah punya figur sentral. “Mereka tak pernah bergerak karena figur di Indonesia,” terangnya.
Dia juga menjelaskan bahwa kasus di Surabaya itu sebenarnya bukan sebab-akibat dengan kerusuhan di Rutan Mako Brimob. “Ya memang dapat momentumnya. Serangan itu sebenarnya sudah siap dilakukan, dan begitu (kerusuhan di Mako Brimob) selesai, Dita cs langsung beraksi,” paparnya. Dia juga menambahkan, apa pun hasil dari kerusuhan Rutan Mako Brimob, serangan ini sudah direncanakan.
Hanya, bukan berarti vonis mati untuk petinggi JAD itu tidak akan pernah menjadi inspirasi beberapa pasukannya yang masih di Indonesia untuk bergerak. Sebab, yang paling bahaya adalah ketika Aman Abdurrahman disulap jadi martir “Sekarang zamannya udah lain. Terlalu banyak alat yang bisa membingkai sesuatu,” terangnya.
Yang paling dia khawatirkan justru peran media. “Jangan sampai membesar-besarkan dan mem-blow up berlebihan,” katanya.
Bagi ISIS, yang dibutuhkan untuk berkembang dan penyebaran ide adalah coverage media yang besar. Menurutnya, eksekusi brutal ISIS yang terkadang terlalu teatrikal memang disengaja. Dia lalu mencontohkan eksekusi sejumlah jurnalis beberapa waktu lalu, dan juga eksekusi pilot Jordania yang dimasukkan kandang besi lalu dibakar.
Dari pengakuannya, ISIS memang sangat butuh publisitas. Celakanya, mereka sangat pandai memanfaatkan rasa penasaran media. “Anda bisa lihat sendiri bagaimana aksi mereka di Eropa. Tak jarang, pelakunya bahkan tak pernah ke Suriah atau Timur Tengah. Hanya melihat video, dan berbaiat melalui video pula,” terangnya.
Dengan munculnya informasi seperti itu saja, hal itu sudah cukup memberitahu bahwa ISIS akan tetap ada meski pelakunya tewas satu demi satu. Dan meski isi pemberitaan kadang benar-benar memukul mental anggota ISIS, mereka tak ambil pusing. “Yang penting masuk media. Eksis dulu,” terangnya.
Begitu pula dengan kasus yang terjadi dengan vonis mati Aman Abdurrahman ini. Ustaz Slamet tidak khawatir sama sekali jika seorang pemimpin pelaku teror itu dieksekusi mati. Tapi, dia justru khawatir jika ada yang “menggoreng”-nya dan menjadikan Aman sebagai simbol. Saya jadi penasaran apa tafsir “menggoreng” yang dia maksud.
“Mengambil coverage media, dan kemudian menjadikannya siaran internasional. Lalu, ISIS pusat akan mengeluarkan fatwa,” paparnya. Media di sini juga tidak bisa dipersempit hanya pada media massa, melainkan juga media sosial. Baik itu penyebaran konten melalui pesan grup Whatsapp, Facebook, Instagram, Twitter, bahkan sampai Youtube. Semua media ini jadi salah satu cara ISIS untuk terus menyemai popularitasnya.
Menurutnya, jika fatwa untuk melakukan amaliyah (kode untuk melakukan aksi teror) datang dari ISIS pusat, ini bakalan jauh lebih berbahaya. “Karena hampir mustahil Polisi bisa melakukan pengawasan terhadap semua yang diduga anggota ISIS,” terangnya
Penting untuk diketahui, Densus 88 Anti Teror mempunyai Kasatgas masing-masing di tingkat Polda untuk melakukan pengawasan di titik-titik terkecil. Ada dua pengawasan yang dilakukan Polri. Yang pertama, pengamatan manual menggunakan personel. Ini adalah human intelligence. Hal ini baru bisa dilakukan jika sasaran sudah menunjukkan aktivitas yang mengarah ke aksi terorisme.
Yang kedua pengawasan melalui teknologi. Atau istilahnya signal intelligence. Ini pengamatan dilakukan melalui penyadapan melalui teknologi yang dipakai sasaran. Keuntungannya, karena dilakukan oleh komputer, maka bisa melakukan pengawasan terhadap banyak sasaran sekaligus. Kelemahannya adalah alatnya yang sangat mahal. Untuk alat sadapnya saja sekitar 4 miliar. Belum komputer-komputernya, belum software-nya. Total jenderal, satu set alat pengawasan lengkap tingkat Polda, paling tidak harganya mencapai 50 miliar. Duh, duh, uang segitu buat beli air radiator bisa dapat berapa liter ya.
Mahalnya harga alat tersebut bikin tidak banyak Satgas Densus tingkat Polda yang punya alatnya. Ini karena memang belum ada anggaran untuk membelinya. Biasanya alat ini dibeli oleh Kapolda-Kapolda mantan anggota Densus yang sadar betul bahaya terorisme. Itu pun jika Kapoldanya pindah tempat, alat dan timnya pun biasanya dibawa serta. Jadi, ya, ujung tombak pemberantasan terorisme di Indonesia dilakukan oleh satu tim dan seperangkat alat yang dibeli dengan dana non–bujeter. Menakjubkan sekaligus memprihatikan, memang.
Padahal, untuk yang mengawasi sekitar 3.000-an orang yang tersebar di seluruh Indonesia. Instansi apa yang sanggup untuk melakukan pengawasan 24 jam per 7 hari seminggu kepada orang-orang tersebut? Apalagi detasemen yang ditugaskan untuk itu tidak mempunyai anggaran memadai, dan sering memenuhi kebutuhannya secara non-bujeter (alias pimpinannya membeli dengan uang entah dari mana). Suram.
Kembali ke soal Aman Abdurrahman. Saya penasaran, apa penembakan teroris di Pamanukan yang terjadi kemarin juga merupakan bagian dari serangan untuk merespons vonis mati Aman?
“Jelas bukan. Ini sebenarnya masih terkait dengan fatwa amaliyah yang dulu,” terangnya. Semua sel ISIS di Indonesia, menurutnya, sudah mulai dipersiapkan dan bergerak bahkan sebelum ada kerusuhan di Mako Brimob. “Tinggal menunggu siap dan momentumnya saja,” imbuhnya.
Lalu apa yang harus dilakukan masyarakat, dan media, terkait vonis Aman Abdurrahman? “Yang penting, memandang vonis Aman secara proporsional saja,” ucapnya. Jangan melakukan coverage yang berlebihan. Melihat Aman seperti apa adanya: seorang bajingan tengik yang memaknai agama secara keblinger dan tidak berkeberatan mengambil nyawa orang lain karenanya. Sudah begitu saja.
Bahkan kalau bisa, pemberitaan soal yang bersangkutan dibatasi saja. Kalau perlu kita juga cuek-cuek saja di media sosial. Seolah tak terjadi apa-apa. Bahas Fadli Zon, Jokowi, atau Prabowo sajalah sementara ini. Biar anggota Aman Aburrahman merasa kita cuekin. Sebab, yang paling sakit itu memang dicuekin, dicampakkan, tidak ditanggapi. Seperti kentut yang tidak diteriakin bau. Sudah susah-susah keluar, eh tidak direspons. Hal ini perlu saya kira dilakukan biar ISIS di pusat sana bingung juga.
Ini Indonesia kok medianya biasa aja ya sama vonis matinya Aman Abdurrahman? Jiangkrik.
Lha ini apa kalau bukan berita juga—mungkin Anda bertanya. Lho, sejak kapan Mojok jadi situs berita? Ini esai, Malih. Dibaca lagi sana dari atas.