MOJOK.CO – Jadi, apakah UNY itu kampus medioker? Ketika ijazah nggak terlalu berguna dan cuma menjadi komoditas tenaga kerja murah.
Seharusnya semua kampus meniru Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dalam mempersiapkan lulusannya. Lulusan kampus medioker ini gampang diserap perusahaan. Kami bisa ditempatkan di mana saja. Dan, yang paling penting, nrimo ing pandum.
Tidak perlu membusungkan dada, kita hanya lulusan UNY
UNY bukan kampus yang bisa dibanggakan dengan dada membusung. Kadang mahasiswanya saja bingung menjelaskan saat ditanya, “Kuliah di mana?”. Mau langsung di jawab UNY, pasti bakal ada pertanyaan susulan, “UNY itu kampus mana?”
Jawaban yang paling aman dan mudah dipahami orang awam ada 2 jenis. Pertama, bilang saja IKIP. Kedua, adalah tetangganya UGM. Dan, sepertinya, opsi kedua lebih mudah mengakhiri pertanyaan-pertanyaan lanjutan. Setidaknya itu yang saya gunakan selama 5 tahun kuliah di UNY.
UNY dan UGM memang tetangga. Hanya selemparan batu. Namun perkara beban selepas lulus, beda soal. Lulusan UGM tentu akan dibebani ekspektasi dan nama besar kampus yang mentereng. Bahkan berpuluh-puluh tahun setelah kamu lulus dari UGM masih banyak yang tanya ijazahmu asli atau palsu. Betapa kerasnya hidup seorang alumni UGM.
Tentu berbeda dengan lulusan bekas IKIP. Mungkin satu-satunya beban para lulusan UNY adalah pertanyaan kenapa tidak menjadi guru setelah lulus. Bukan pertanyaan yang sulit untuk dijawab, kok. Siapa yang peduli ijazah UNY-mu asli atau palsu? Siapa juga yang bakal tanya seperti itu ke lulusan kampus tetangga UGM? Ada-ada saja.
Berbahagialah lulusan UNY yang tersepelekan
Beberapa hari lalu, berseliweran di media sosial perayaan wisuda UNY. Dihiasi wajah yang cerah semringah. Terpancar rupa-rupa fresh graduate yang akan meng-install berderet aplikasi lowongan kerja. Raut bahagia seorang sarjana dari kampus yang biasa-biasa saja.
Saya teringat saat wisuda 5 tahun lalu. Lulus dari program studi medioker bertajuk Ilmu Sejarah. Tidak ada perayaan gegap gempita, apalagi ekspektasi yang menggunung. Dan sudah barang tentu tidak ada rasa bangga yang berlebihan. Tentu tidak semua mahasiswa bisa merasakan kelegaan semacam ini.
Tentu ini sebuah kemewahan yang layak disyukuri. Di tengah sistem maha-kompetisi, mendorong semua orang terlihat mencolok, UNY memilih sakmadyone. Harga yang cukup mahal di tengah semua orang menginginkan pengakuan dari mana saja. Serupa penggalan kata Sirin Farid Stevy, “Berbahagialah wahai para tersepelekan, dengan begitu kau & ku punya kesempatan besar untuk: mengejutkan.”
UNY secara sadar atau tidak, membentuk para lulusannya untuk nrimo ing pandum. Kelas pekerja khas Jogja, lah. Pelajaran paling utama, bahwa hidup yang tidak spektakuler masih pantas untuk dijalani. Jalan yang begitu magis nan ironi. Menjadi bebas tanpa beban tapi dengan lapang dada menerima bahwa kita biasa-biasa saja. Tapi ingat kata Farid sebelumnya: Mengejutkan. Ingat baik-baik.
Baca halaman selanjutnya: Apakah benar ini kampus medioker?
Lulusan Ilmu Sejarah emang pasti jadi sejarawan? Lulusan IKIP emang pasti jadi guru? BELUM TENTU!
Bukannya kami, para lulusan UNY, tidak punya cita-cita bekerja sesuai gelar. Kami hanya paham apa yang diinginkan pasar kerja. Cita-cita punya kerja sesuai gelar akan rontok perlahan di dalam ruang kelas. Kampus ini tidak menciptakan lulusan yang arogan, tapi lulusan yang humble dan siap beradaptasi.
Lulusan UNY mampu bersaing di segala lini, Bos. Mulai dari CS marketplace, digital marketer, peneliti lepas, hingga mengabdi ke masyarakat alias jadi Pak RT.
Fleksibilitas adalah bukti adaptasi yang tidak diajarkan dalam SKS. Lulusan UNY sadar kalau sistem dunia kerja butuh tenaga kerja serba bisa. Tanpa gelar elite dari kampus bergengsi. Para fresh graduate UNY siap terjun bebas ke pasar kerja dan disambut senyum HRD yang menulis prasyarat rekrutmen, SIAP DITEMPATKAN DI MANA SAJA dan TAHAN TERHADAP TEKANAN.
DI kampus nomor 1 di Jalan Colombo, lulusan UNY siap menyambut tantangan kerja yang makin absurd. Saya dan para lulusan lain tidak mungkin terjebak dalam ilusi grandeur. Kami sadar bahwa jadi “biasa-biasa saja” itu tidak masalah asal bisa berguna. Jiwa-jiwa profetik semacam itu telah ditanamkan sejak ospek.
UNY Kampus Medioker? Sebuah pertanyaan bukan pernyataan
Dari semua sikap positif saya di atas, mungkin muaranya adalah pernyataan yang paling mendasar. Apakah UNY kampus medioker? Bagi pihak kampus UNY, tidak perlu kesal dan geram begitu setelah membaca tulisan ini. Sembilan ratus kata ini hanya sebuah pertanyaan dari alumni yaitu adalah saya. Ini bukan pernyataan yang ugal. Sikapi sekenanya saja.
Saat awal menjadi mahasiswa di UNY, telinga saya terus dijejali jargon-jargon chauvinistik. Kampus paling humanis hingga jargon world class university. Tentu semboyan tersebut sangat bertolak belakang dengan kata “medioker”.
Dari sekian banyak sikap anti-hero yang telah saya tuliskan sejak awal, ada sebuah kepahitan yang sengaja saya tuliskan di akhir. Saya sadar bahwa tidak ada pilihan yang bisa dipilih sejak lulus dari UNY.
Jiwa adaptif para alumni terus ditempa dengan keadaan pasar kerja yang makin nggak masuk akal. Kami dipaksa menjadi fleksibel sebab sistem kerja tidak pernah benar-benar membutuhkan lulusan fresh graduate sesuai gelar ijazah.
Apakah itu bukti bahwa UNY kampus medioker? Atau malah sebaliknya? Satu hal yang pasti, lulusan UNY luwes tanpa ada beban moral yang besar dan mampu bersaing di posisi mana saja.
Lalu, apa guna gelar kami? Jadi apa tua nanti? TIDAK ADA YANG TAHU!
Saat melihat prosesi wisuda UNY yang meriah, saya selalu memikirkan beberapa hal. Apakah UNY ini layak disebut kampus medioker? Apakah kita ini sebenarnya menyerah pada sistem yang mengkerdilkan potensi intelektual menjadi “cuma” komoditas tenaga kerja murah?
Hari ini, setelah 5 tahun lulus, saya masih hidup tanpa hal glamor. Tidak ada jabatan mentereng di kartu nama. Namun, masih ada keresahan yang selalu menghantui saya. Mungkin UNY adalah kampus yang sangat medioker.
Setiap 4 bulan sekali selalu ada seremoni menyambut lulusan dari kampus yang sangat medioker. Sebuah generasi yang tumbuh tanpa ekspektasi tinggi dan bersanding dengan masa tua yang tidak pasti. Para alumni yang mampu mengisi pekerjaan apa saja bukan karena terpaksa, bukan karena pilihan.
Dari kampus yang medioker inilah, kami, para alumni UNY menjadi sosok anti-hero yang berdamai dengan kekalahan nasib. Dan tidak semua cerita harus berisi kemenangan. Dan entah kenapa, seolah para lulusan UNY dicetak untuk tetap nyaman dengan peran ini.
Penulis: Deby Hermawan
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Kisah “Mahasiswa Abadi” di UNY Nyaris Kena DO hingga Beasiswa Dicabut, Kini Buktikan Bisa Lolos CPNS usai Wisuda dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.
