Lulusan Ilmu Sejarah emang pasti jadi sejarawan? Lulusan IKIP emang pasti jadi guru? BELUM TENTU!
Bukannya kami, para lulusan UNY, tidak punya cita-cita bekerja sesuai gelar. Kami hanya paham apa yang diinginkan pasar kerja. Cita-cita punya kerja sesuai gelar akan rontok perlahan di dalam ruang kelas. Kampus ini tidak menciptakan lulusan yang arogan, tapi lulusan yang humble dan siap beradaptasi.
Lulusan UNY mampu bersaing di segala lini, Bos. Mulai dari CS marketplace, digital marketer, peneliti lepas, hingga mengabdi ke masyarakat alias jadi Pak RT.
Fleksibilitas adalah bukti adaptasi yang tidak diajarkan dalam SKS. Lulusan UNY sadar kalau sistem dunia kerja butuh tenaga kerja serba bisa. Tanpa gelar elite dari kampus bergengsi. Para fresh graduate UNY siap terjun bebas ke pasar kerja dan disambut senyum HRD yang menulis prasyarat rekrutmen, SIAP DITEMPATKAN DI MANA SAJA dan TAHAN TERHADAP TEKANAN.
DI kampus nomor 1 di Jalan Colombo, lulusan UNY siap menyambut tantangan kerja yang makin absurd. Saya dan para lulusan lain tidak mungkin terjebak dalam ilusi grandeur. Kami sadar bahwa jadi “biasa-biasa saja” itu tidak masalah asal bisa berguna. Jiwa-jiwa profetik semacam itu telah ditanamkan sejak ospek.
UNY Kampus Medioker? Sebuah pertanyaan bukan pernyataan
Dari semua sikap positif saya di atas, mungkin muaranya adalah pernyataan yang paling mendasar. Apakah UNY kampus medioker? Bagi pihak kampus UNY, tidak perlu kesal dan geram begitu setelah membaca tulisan ini. Sembilan ratus kata ini hanya sebuah pertanyaan dari alumni yaitu adalah saya. Ini bukan pernyataan yang ugal. Sikapi sekenanya saja.
Saat awal menjadi mahasiswa di UNY, telinga saya terus dijejali jargon-jargon chauvinistik. Kampus paling humanis hingga jargon world class university. Tentu semboyan tersebut sangat bertolak belakang dengan kata “medioker”.
Dari sekian banyak sikap anti-hero yang telah saya tuliskan sejak awal, ada sebuah kepahitan yang sengaja saya tuliskan di akhir. Saya sadar bahwa tidak ada pilihan yang bisa dipilih sejak lulus dari UNY.
Jiwa adaptif para alumni terus ditempa dengan keadaan pasar kerja yang makin nggak masuk akal. Kami dipaksa menjadi fleksibel sebab sistem kerja tidak pernah benar-benar membutuhkan lulusan fresh graduate sesuai gelar ijazah.
Apakah itu bukti bahwa UNY kampus medioker? Atau malah sebaliknya? Satu hal yang pasti, lulusan UNY luwes tanpa ada beban moral yang besar dan mampu bersaing di posisi mana saja.
Lalu, apa guna gelar kami? Jadi apa tua nanti? TIDAK ADA YANG TAHU!
Saat melihat prosesi wisuda UNY yang meriah, saya selalu memikirkan beberapa hal. Apakah UNY ini layak disebut kampus medioker? Apakah kita ini sebenarnya menyerah pada sistem yang mengkerdilkan potensi intelektual menjadi “cuma” komoditas tenaga kerja murah?
Hari ini, setelah 5 tahun lulus, saya masih hidup tanpa hal glamor. Tidak ada jabatan mentereng di kartu nama. Namun, masih ada keresahan yang selalu menghantui saya. Mungkin UNY adalah kampus yang sangat medioker.
Setiap 4 bulan sekali selalu ada seremoni menyambut lulusan dari kampus yang sangat medioker. Sebuah generasi yang tumbuh tanpa ekspektasi tinggi dan bersanding dengan masa tua yang tidak pasti. Para alumni yang mampu mengisi pekerjaan apa saja bukan karena terpaksa, bukan karena pilihan.
Dari kampus yang medioker inilah, kami, para alumni UNY menjadi sosok anti-hero yang berdamai dengan kekalahan nasib. Dan tidak semua cerita harus berisi kemenangan. Dan entah kenapa, seolah para lulusan UNY dicetak untuk tetap nyaman dengan peran ini.
Penulis: Deby Hermawan
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Kisah “Mahasiswa Abadi” di UNY Nyaris Kena DO hingga Beasiswa Dicabut, Kini Buktikan Bisa Lolos CPNS usai Wisuda dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.












