Pengalaman Saya Menjadi Mahasiswa yang Jago Bertahan Hidup di UB, lalu Tiba-tiba Menjadi Pintar ketika Kuliah di UGM

UB Kampus Liar, UGM Ajari Mahasiswa Gak Omong Kosong MOJOK.CO

Ilustrasi UB Kampus Liar, UGM Ajari Mahasiswa Gak Omong Kosong. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.CODi Ub, saya menjadi mahasiswa yang terlatih bertahan hidup, sementara di UGM saya jadi lebih pintar. Saling melengkapi.

Tidak ada yang lebih struggle ketika kamu bisa melanjutkan kuliah di Universitas Brawijaya (UB). Kamu belajar menjadi orang yang mandiri. Namun, tidak ada yang lebih tepat ketika kamu mampu melanjutkan kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM). Kamu belajar menjadi orang yang terstruktur. Beruntung, saya bisa kuliah di dua universitas tersebut. 

Sebagai anak Jogja yang merantau di Malang, akan menjadi hal biasa apabila kamu mendapat pertanyaan seperti ini. “Di Jogja banyak kampus, kok, bisa-bisanya kamu kuliah di Malang.”

Ya, mau kamu singgah di warung kopi, makan siang di ayam geprek favorit, atau sekadar nongkrong di kantin kampus. Saya hanya tersenyum kecil dan enggan menjawab.

Akan tetapi, apabila ada yang mendesak untuk menjawab, saya mengungkapkan, “Negara, (dalam hal ini SPMB-ytta), yang kemudian memberikan saya jalan mulus ke salah satu universitas termasyhur di Indonesia, Universitas Brawijaya.” 

Di UB, kamu bisa menjadi apa saja

Saya memasuki kampus yang berslogan “Join UB, Be The Best” seperti hutan belantara. Mengapa demikian? Karena fakultas saya belum memiliki gedung alias numpang. Para senior menyebutnya sebagai Ruang Kuliah Bersama (RKB). 

Jadi, kami tak hanya bersua dengan teman-teman satu fakultas melainkan juga beberapa fakultas di UB. Oleh karena berjumpa dengan banyak teman dari berbagai daerah dan fakultas, menurut saya, ada peluang untuk menambah uang saku ketika tinggal di Malang.

Salah satunya adalah berjualan stiker parkir. Pada zaman saya, agar terhindar dari membayar karcis saat setiap kali masuk ke kampus, menempelkan stiker di motor atau mobil menjadi solusi terbaik.

Masalahnya, tidak semua mahasiswa UB mau mengurus administrasi stiker parkir. Padahal, sependek ingatan saya, kamu cukup ke bagian administrasi fakultas. Lalu, kamu memberikan fotokopi KTM dan membayar sejumlah uang Rp20 ribu untuk motor atau/dan Rp30 ribu untuk mobil per bulan. Maka, kamu mendapat stiker hologram.

Akan tetapi, entah kenapa, tidak banyak mahasiswa yang mengurusnya. Mereka lebih suka “menembak”. Ah, seperti tabiat alami masyarakat Indonesia. Maka, di situlah saya muncul.

Berbekal fa-fi-fu-was-wes-wos bersama para penjaga parkir di lingkungan kampus maka saya mendapat sejumlah stiker parkir. Saya menjualnya Rp25 ribu untuk stiker motor dan Rp35 ribu untuk stiker mobil. Kalau saya bisa menjual sepuluh saja, ah, lumayan, bukan?

Sayangnya, kebijakan tersebut tidak berlangsung lama. Namun, setidaknya saya belajar menjadi entrepreneur. Sesuai dengan label UB saat itu. Entrepreneur University.

Baca halaman selanjutnya: Belajar bertahan hidup dan jadi lebih baik.

Angkatan kedua yang tidak terduga

Sebagai angkatan kedua di jurusan, tentu saja, banyak hal yang tidak terduga. Salah satunya, adalah kurikulum. Sebagai contoh. Saya melewatkan mata kuliah A di semester ganjil karena Sistem Kredit Semester (SKS) tidak cukup. Lalu, saya hendak mengambilnya pada semester ganjil berikutnya. Eh, ternyata mata kuliah tersebut sudah tidak ada alias dihapus. 

Akhirnya, kamu bingung dan ngedumel, tetapi apa boleh bikin. Kamu tidak bisa berbuat apa-apa. Mau demo ubah kurikulum akan menjadi sia-sia. Ya sudah, ikut saja mata kuliah yang sejenis, yang tetap bisa melanjutkan ke babak berikutnya (baca: skripsi).

Belakangan, setelah sempat menjadi salah satu pengajar tidak tetap di kampus swasta Jogja era pandemi, dan mendapat amanah untuk bikin kurikulum, memang ternyata tidak mudah. Sehingga, kalau dulu saya ngedumel ke UB, barangkali ini karma saya. 

Seakan, dalam imajinasi saya saat bikin kurikulum, para pengajar saya di kampus itu akan bilang, “Gimana rasanya bikin kurikulum? Susah, kan?”

Itu baru kurikulum. Ada yang lebih tidak terduga lagi, yaitu mencocokkan jadwal empat pengajar untuk menguji skripsi. Dengan jumlah mahasiswa yang tidak sedikit sedangkan jumlah pengajar UB yang tidak banyak, maka menjadi ajaib apabila kamu bisa mencocokkan jadwal mereka dalam waktu 3×24 jam. 

Satu saja tidak cocok, ya, tidak bisa bisa lanjut ujian. Bingung, bukan? Maka, di sinilah keahlian negosiasi dibutuhkan. Maka, kalau ada teman-teman seangkatan, atau di atas saya, atau bahkan di bawah saya pintar bernegosiasi, percayalah mereka terlatih sejak pengajuan ujian skripsi.

Sekarang, setelah saya kembali ke UB dua bulan yang lalu, semuanya berubah. Mulai dari beautifikasi hingga sistem yang terukur. Tidak ada lagi stiker parkir dan tidak ada lagi keribetan untuk mengurus ujian skripsi. Semuanya mudah. Semuanya telah terintegrasi ke dalam Building Up Noble Future sebagai motto UB. 

Dari entrepreneur masuk ke UGM, kampus akademisi

Suasana yang amat jauh berbeda ketika saya melanjutkan kuliah di UGM. Entah karena auranya atau memang di kampus tersebut telah terbangun nuansa akademik. Sepertinya, tiap hari teman-teman kuliah saya membaca jurnal atau buku, pergi ke perpustakaan, atau diskusi ilmiah.

Jarang ada yang mampir ngopi atau main PS. Entah karena lingkungan yang berbeda atau saya keliru dalam memilih teman. 

Ketika saya bertanya kepada teman satu almamater di UB yang kebetulan melanjutkan kuliah di UGM, ternyata dia merasakan hal serupa. Oh, mungkin memang mahasiswa UGM nantinya akan menjadi akademisi. 

Konon, jika kamu hendak menjadi pengajar, cukup berbekal ijazah UGM. Para penyeleksi sudah yakin kalau kamu adalah orang yang pintar. 

Oleh karena nuansa akademik terbangun dengan mudah di UGM, alhasil mau tidak mau saya mengikuti alur dan cara berpikir teman-teman saya. Menurut saya, orang-orang yang pernah berkuliah di UGM, setidaknya cara berpikirnya runtut, terstruktur dan sistematis. 

Tidak heran apabila kemudian IPK saya cukup berbanding terbalik antara di UB dan UGM. 

Setelah lulus dari kedua kampus tersebut, saya mengambil hipotesis. Kalau ingin belajar menjadi entrepreneur atau/dan akademisi, kamu bisa memilih salah satu kampus ini.

Selain karena pengalaman pribadi, hal ini diperkuat pula dengan persaingan ketat kedua kampus tersebut menjadi juara Pekan Ilmiah Nasional (PIMNAS). UGM meraih sepuluh kali, sedangkan UB enam kali. 

Hal yang kontradiktif bagi alumni UB dan UGM

Ada hal unik ketika saya bisa merasakan kuliah di kedua kampus tersebut. Di UB, ketika memasuki pemilihan eksekutif dan dewan perwakilan mahasiswa kampus, mendadak semuanya menjadi politisi kampus. 

Bicara fa-fi-fu-was-wes-wos seakan-akan bisa menarik suara mahasiswa dalam jumlah banyak. Belum lagi, negosiasi jumlah menteri apabila nantinya terpilih. Wah, heboh, lah, pokoknya. 

Sebaliknya, ingar bingar pemilihan eksekutif dan dewan perwakilan mahasiswa di UGM terkesan adem ayem. Meskipun ada baliho, tetapi tidak ada kampanye keliling kampus yang sangat meriah seperti di UB. Mungkin, karena nuansa akademis sehingga lebih sering belajar daripada obral omong kosong. 

Anehnya, meskipun sebagian kecil mahasiswa UB terlatih kampanye politik sejak dini, toh, nyatanya setelah lulus jarang yang sampai menjadi menteri apalagi presiden. Sebaliknya, UGM yang menurut saya gejolak politik kampus begitu-begitu saja, justru banyak alumninya menjadi menteri bahkan presiden.

Tentu saja, ini banyak faktor, ya. Relasi alumni salah satunya. Bukan begitu, Fufufafa?

Penulis: Moddie Alvianto

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Culture Shock Mahasiswa UM Pertama Kali Masuk ke Universitas Brawijaya, kayak Beda Universe! dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version