Tragedi Kanjuruhan: Menormalisasi Hal yang Tidak Normal Adalah Mula Malapetaka

Sengkarut ketidaknormalan penggunaan gas air mata ini menunjukan buruknya koordinasi antara PSSI, PT Liga Indonesia Baru (LIB), panpel, dan aparat keamanan.

Tragedi Kanjuruhan: Menormalisasi Hal yang Tidak Normal Adalah Mula Malapetaka MOJOK.CO

Ilustrasi Tragedi Kanjuruhan: Menormalisasi Hal yang Tidak Normal Adalah Mula Malapetaka. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COTragedi Kanjuruhan menjadi puncak dari benang kusut koordinasi yang dinormalisasi pemangku kebijakan dalam tata kelola sepak bola Indonesia.

Pernahkan Anda menonton pertandingan sepak bola langsung di stadion? Jika pernah, mari kita bersama mengingat momentum sebelum pertandingan. Dihadiri oleh ribuan penonton, sebelum pertandingan adalah kesempatan terbaik untuk mengumumkan tentang mitigasi. Perangkat pertandingan bisa mengumumkan melalui pengeras suara dan/atau videotron tentang jalur evakuasi jika terjadi bencana. Sayangnya, panitia pelaksana (panpel) pertandingan sepak bola acap abai dengan hal ini.

Bencana bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Meskipun tidak ada dari kita yang mengharapkan terjadinya bencana seperti yang terjadi di Kanjuruhan, Malang. Merujuk Undang-undang No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Ketidaknormalan yang didiamkan

Ketidaknormalan yang dinormalisasi dalam tata kelola pertandingan memantik pertandingan sepak bola menjadi serangkaian peristiwa bencana. Ketidaknormalan pertama adalah lagu “Dibunuh Saja!” yang masih terus dilestarikan. Lagu ini adalah banalitas kejahatan (banality of evil). Tentang banalitas kejahatan, kita bisa merujuk pada Hannah Arendt, yang tekun meneliti kejahatan para penjahat Perang Dunia II. 

Arendt menyebut banalitas kejahatan merupakan situasi di mana kejahatan dirasakan sebagai sesuatu yang banal atau biasa sekali. Lagu “Dibunuh Saja!” dinyanyikan dengan tanpa beban, dinormalisasi dengan dibiarkan terus bergema. Inilah banalitas kejahatan. Puncaknya suporter yang marah, mudah melakukan kekerasan karena dalam alam bawah sadarnya, mereka terpatri membunuh sebagai hal yang biasa.

Ketidaknormalan kedua adalah ketidakmampuan PSSI, operator kompetisi dan panpel pertandingan dalam mengelola pertandingan sepak bola yang terus dibiarkan. Penjualan tiket di Kanjuruhan yang melebihi kapasitas dan ketiadaan mitigasi bencana adalah bukti tidak normalnya pertandingan sepak bola kita. 

Tidak ada kesadaran akan mitigasi di stadion

Saya pernah melakukan penelitian tentang bagaimana suporter sepak bola memandang persoalan mitigasi dalam pertandingan. Nyaris semua yang saya temui selalu menyatakan bahwa panpel tidak melakukan mitigasi bencana. Tidak ada pengumuman tentang jalur evakuasi jika terjadi bencana, apa yang harus dilakukan saat terjadi bencana, dan papan petunjuk jalur evakuasi.

Beberapa informan yang saya temui menyatakan bahwa terjadi tindakan represif yang mereka alami. Ketika akan keluar stadion untuk mengevakuasi diri, mereka menemui pintu stadion yang terlalu kecil seperti di Stadion Kanjuruhan. Dalam stadion yang temboknya tidak terlalu tinggi, mereka mengatakan bahwa memanjat tembok menjadi pilihan terbaik. Meskipun harus ditebus dengan luka atau cedera karena meloncat saat turun.

Sayangnya, hal yang tidak normal ini terus dibiarkan. Di pertengahan Juni 2022, dua suporter Persib Bandung meninggal setelah berdesakan, saat kompetisi pra-musim Piala Presiden. Setelah tragedi yang mematikan ini, tuntutan publik dan media adalah pembenahan tata kelola pertandingan. Faktanya, tidak ada upaya dalam penyelenggaraan pertandingan sepak bola. Buktinya adalah Tragedi Kanjuruhan di mana akses penonton untuk keluar ketika terjadi kekacauan tidak ideal.

Sebelum kompetisi, seharusnya federasi dan operator liga melakukan verifikasi kelayakan stadion. Kelayakan stadion dalam hal mitigasi harus diperhatikan. Ini misalnya mencakup tentang bagaimana kapasitas pintu stadion sebagai jalur evakuasi ketika terjadi bencana.

Sepak mula yang terlalu malam

Ketidaknormalan ketiga adalah penyelenggaraan pertandingan sepak bola yang terlalu larut malam. Mengakomodasi kepentingan pemegang siar, pertandingan sepak bola digelar malam hari, termasuk big match. Risiko keamanan semakin akut dengan pertandingan malam. Ketiadaan transportasi publik yang memadai ke stadion bahkan telah menyebabkan suporter harus bermalam menunggu transportasi publik. 

Penyelenggaraan pertandingan yang terlalu malam telah banyak mendapat protes. Namun, federasi dan operator liga tetap bebal menggelar pertandingan malam hari. Akibatnya, mengatasi kerusuhan yang terjadi di malam hari itu jauh lebih sulit. Di Tragedi Kanjuruhan, konon, sudah ada permintaan untuk menggelar laga di sore hari, tapi ditolak. Aneh sekali.

Gas air mata sudah dilarang, tapi masih dipakai

Ketidaknormalan keempat adalah penggunaan gas air mata. Jelas dalam regulasi keamanan dan keselamatan di stadion yang dirilis FIFA disebutkan larangan penggunaan gas air mata. Di beberapa peristiwa, kericuhan yang terjadi di stadion, penggunaan gas air mata terbukti mematikan. 

Misalnya pada 3 Juni 2012, seorang suporter Persebaya Surabaya meninggal karena berdesakan setelah polisi menembakan gas air mata ke arah tribun. Sepuluh tahun kemudian, aparat kembali menembakan gas air mata. Jumlah korban berlipat. Ratusan Aremania meninggal dalam tragedi memilukan di Stadion Kanjuruhan, Malang, 1 Oktober 2022. Bukan hanya suporter, aparat keamanan juga menjadi bagian dari korban.

Sengkarut ketidaknormalan penggunaan gas air mata ini menunjukan buruknya koordinasi antara PSSI, PT Liga Indonesia Baru (LIB), panpel, dan aparat keamanan. Koordinasi yang buruk ini telah terjadi secara menahun, sebagai terbukti dalam berbagai kekerasan yang terjadi di stadion. Sayangnya, sengkarut itu dibiarkan terus melalui normalisasi. Pertandingan tetap digelar. Tragedi Kanjuruhan menjadi puncak dari benang kusut koordinasi yang dinormalisasi pemangku kebijakan dalam tata kelola sepak bola.

Stadion jadi tempat angker

Kekerasan di stadion semakin membenamkan sepak bola Indonesia pada titik nadir. Penonton takut datang ke stadion karena ketidaknormalan yang dinormalisasi telah mengakibatkan malapetaka. Penelitian yang dilakukan oleh Gai Guerstein pada 2018 berjudul berjudul “Does Football Fans’ Violence Influence Match Attendance?” menyebutkan bahwa kekerasan di stadion berimplikasi pada minat penonton untuk datang. Sebagian responden yang diteliti menyatakan bahwa mereka tidak lagi berminat datang ke stadion karena adanya kekerasan. 

Tentu kita semua sedih terhadap tragedi Kanjuruhan. Kita semua menundukan kepala, mendoakan semua korban. Di saat bersamaan, kita semua marah terhadap PSSI dan perangkat terkait yang tidak becus mengelola sepak bola.

Pengurus PSSI harus mundur!

Suporter, warga sipil, dan aparat menjadi korban dari tata kelola yang buruk. Pengurus PSSI harus mundur sebagai bentuk pertanggungjawaban. Harus!

Harus ada tim investigasi yang berasal dari pihak-pihak independen. Investigasi yang dilakukan PSSI adalah puncak ketidaknormalan dalam penanganan Tragedi Kanjuruhan! 

Mereka yang seharusnya diinvestigasi, bukan justru mereka menginvestigasi. Percaya kepada para pengurus PSSI, adalah ketidaknormalan yang hakiki.

BACA JUGA Dilarang di Stadion, Pakar Jelaskan Bahaya Gas Air Mata dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Fajar Junaedi

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version