Tersandung Puisi di Jalan Kasak-Kusuk Umat yang Instan, Receh, dan Micin

Sukmawati-Tersandung-MOJOK.CO

MOJOK.COPuisi Sukmawati menciptakan fatamorgana kemenangan pemilu bagi umat.

Menurut KBBI, ter.san.dung atau ter.an.tuk memiliki arti yang sama: ‘terhalang’. Biasanya, si penghalang adalah benda-benda. Di KBBI, contoh paling pertama dan utama dipakai adalah batu. Namun, bukan hanya batu yang membikin seseorang tersandung atau terantuk, melainkan juga benda-benda hasil kreativitas atau olah pikir. Dalam hal ini adalah puisi.

Di permulaan April tahun anjing tanah ini, Sukmawati Soekarnoputri tersandung puisi yang ia bacakan di acara yang digelar Anne Avantie untuk memperingati 29 tahun berkaryanya di Indonesia Fashion Week. Puisi itu menyandung Sukma karena di dalamnya berisi perbandingan yang oleh para pemrotesnya dianggap melecehkan keyakinan mereka (Islam). Cadar dan konde. Azan dan kidung. Bagi para pemrotesnya, terutama kelompok muslim perkotaan yang tak berafiliasi langsung dengan grup besar semacam Muhammadiyah, Sukmawati dengan puisi berjudul “Ibu Indonesia” itu telah melecehkan cadar dan azan yang dianggap “bagian dari syariat Islam”.

Heboh pun terjadi. Sumpah serapah diuarkan. Makian dikobarkan. Hujatan dilontarkan. Dengki benci berapi-api. Sukmawati pasti tak menyangka puisi pertamanya (???) yang ia perkenalkan kepada publik mode (yang bukan berisi para penyair kuyuh dan khalayak sastra) menuai kehebohan luar biasa. Ia pun memilih meminta maaf, mendahului tibanya Lebaran.

Karena puisi semata wayang itu Sukma lalu bersafari. Terutama kepada kalangan yang berkepentingan langsung dengan “syariat Islam”, yakni MUI. Dari MUI kemudian muncul pernyataan sejuk. Sudahlah, tak usah diterus-teruskan. Buang energi, bikin gaduh, kata Ketua MUI K.H. Ma’ruf Amin. Dari beberapa tokoh agama sepuh yang juga pernah menjadi pimpinan ormas Islam terbesar, air kesejukan didapatkan. Bikin habis energi, tak usah dibesar-besarkan, kata Buya Ahmad Syafii Maarif, Ketua PP Muhammadiyah 1999-2005. Bertabayun saja bahwa tak ada maksud menghina Islam, kata Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini. Umat Islam sebaiknya memaafkannya, kata Sekretaris Umum Muhammadiyah Abdul Mu’ti.

Sementara itu para penyair syok. Sebuah ekosistem yang tak pernah punya andil menyehatkan puisi, menyuburkan kultur kepenyairan, membeli dengan rakus buku-buku puisi demi perbaikan nasib penyair yang hidup dari royalti yang nauzubillah nyeseknya itu, tiba-tiba terlihat begitu peduli pada puisi. Kalau nggak percaya, tanya saja penerbit Buku Mojok berapa puisi pwissie yang pernah mereka terbitkan dan apakah royaltinya sudah bisa mengumrahkan penyairnya. Tanya juga penerbit Basabasi, mengapa mereka royal banget ngeluarin buku puisi, benaran laku atau sekadar upaya mulia berinfak sedekah agar puisi masih bersama-sama kita di dunia ini.

Dalam pilu kolam buku-buku puisi itu, tiba-tiba semua orang menjadi penyair. Bahkan, Ketua PB HMI yang barangkali tak pernah beli buku puisi sepanjang hidupnya tiba-tiba menjadi penyair. Pelajar-pelajar di Pelajar Islam Indonesia (PII), tempat puisi menghilang dalam tadarus perkaderan mereka di semua tingkat, tiba-tiba bicara puisi. Tiba-tiba banyak ustaz dan ustazah tibanan di medsos menjadi penyair.

Sehatkah semua yang bernama tiba-tiba itu?

Mungkin.

Tapi, penyair yang sudah mewakafkan hidup untuk berapinya kata-kata hanya bisa masygul. Terutama kala mengingat penyair kebanggaan mereka yang heroik belum juga kembali dari penghilangan sistematis karena bersuara membela yang papa dengan puisinya.

Saya pun jadi teringat sepotong puisi dari kakek si anggun Dian Sastro, Subagio Sastrowardoyo: Sajak ini melupakan aku kepada pisau dan tali. Sajak ini melupakan kepada bunuh diri. Oh, rupanya ada sajak bertema rescue, sajak yang sederajat fungsinya dengan kotak P3K anak-anak Palang Merah Remaja. Ada sajak yang membuat orang untuk tetap memilih hidup yang menantang ketimbang cepat-cepat koit.

Dalam konteks Sukma, puisi “Ibu Indonesia” itu semacam P3K bagi pejuang umat untuk memenangkan sesuatu yang tak pernah mereka dapatkan sejak Indonesia Merdeka, yakni kemenangan di kontestasi pemilu. Mereka melulu kalah. Dan, batu sandungannya adalah kaum nasionalis. Nah, puisi “Ibu Indonesia” ini semacam sajak untuk melupakan “pisau” dan “tali” sebagai alat “bunuh diri” umat dari percaturan politik di Indonesia yang dimenangkan kaum nasionalis.

Ini perjudian politik identitas yang keras. Berkali-kali memang dimenangkan lewat keributan sejak satu abad yang lalu di tahun 1918 di Surakarta. Isunya macam-macam. Ribuan. Namun, kemenangan berkali-kali dari kasak-kusuk itu tak pernah berdampak kepada kemenangan politik formal berbasis pemilu. Partai politik yang bersungguh-sungguh dan bersemangat mengusung Islam selalu berakhir menjadi partai semenjana, partai medioker.

Sukma memang tersandung puisinya sendiri. Tapi, bagi umat urban perkotaan yang melihat fatamorgana “kemenangan politik sudah demikian dekat”, “puisi sandung” Sukma itu justru dilap dan diarak untuk dijadikan batu loncatan mengejar bayang-bayang kekuasaan yang tak pernah ada dalam “tarich” (Sukarno menuliskannya begitu dalam “Islam Sontoloyo”. Baca Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1, 1963: 498).

Aih, mengapa umat ini selalu gagal membaca “tarich” kesalahannya selama berdekade-dekade setiap berhadapan dengan kekuasaan di gelanggang politik Indonesia? Mereka terlihat selalu gugup dan cupu di hadapan politiknya Indonesia. Maunya menang, tapi politik harian yang digelarnya kasak-kusuk. Ingin banget menggulingkan kelompok nasionalis (PDIP dan Golkar/termasuk semua adiknya yang sudah pada besar-besar) dari perlombaan politik. Jika tak bisa lewat jalur formal via pemilu, jalan kasak-kusuk yang instan, receh, dan micin pun, apa boleh bikin, ditempuh. Daripada nggak sama sekali, kan.

Sampai di sini, saya kemudian teringat dengan perjuangan mahahebat salah satu partai representasi politik Islam, Partai Bulan Bintang (PBB), yang tak pernah kendor menjebol KPU untuk sekadar bisa lolos menjadi partai peserta pemilihan umum.

Astaga, beratnya jihad pemilu ini.

Exit mobile version