MOJOK.CO – Judi togel malah jadi semacam perekat hubungan warga di kampung saya. Sebuah “dosa” yang malah bikin mereka jadi “bahagia”.
Kayaknya, sejarah perjudian di Indonesia memang setua zaman itu sendiri. Ragamnya banyak. Taruhannya beraneka. Salah satu judi yang ranum di kampung saja adalah judi togel.
Bicara soal judi, kita tentu pernah mendengar perjudian antara Kurawa dan Pandawa. Peristiwa itu terpahat di relief Parthayajna, di dinding Candi Jago, Malang. Para filolog tentu tidak asing dengan Kitab Pararaton dan tokoh Bango Samparan.
Lebih dari 10 prasasti menyebutkan jika judi sabung ayam sudah ada di Nusantara sejak abad ke-8 masehi. Kamu bisa memeriksanya lewat Prasasti Wahari, Sangsang, Kaladi, dan Telang I. Judi sabung ayam khas Indonesia memang asik. Sampai-sampai Clifford Geertz telaten menelitinya di Bali pada 1958.
Tolong dicatat kalau saya tidak mengatakan judi itu sudah mendarah daging di Indonesia. Namun, saya bilang, referensi soal perjudian di Indonesia itu ada. Dan hebatnya, perjudian itu sangat awet.
Sudah ada UU-nya, tapi entah penegakannya
Yah, membahas perjudian memang tak ada habisnya. Tak lekang oleh waktu. Pemerintah sendiri sudah mengatur soal perjudian. Untuk larangan berjudi, sih, ada di UU No. 7 Tahun 1974.
Isinya, segala bentuk perjudian dihapus karena bertentangan dengan agama dan moral Pancasila. Bagaimana pelaksanaannya? Hehe. Nggak mau komen.
Dugaan saya, UU tersebut muncul setelah ada Lotere Buntut yang dikeluarkan oleh Yayasan Rehabilitasi Sosial pada 1960. Juga, kebijakan Gubernur DKI, Ali Sadikin, yang melegalkan Nalo (Nasional Lotre) berdasarkan UU No.11 Tahun 1957 tentang tanggung jawab pemerintah terhadap daerahnya sendiri. Kebijakan Bang Ali nyatanya dapat membiayai pembangunan ibu kota.
Nah, muncul keunikan sebagian warga +62. Begitu peraturan muncul, bukannya berhenti judi, malah menjadi-jadi. Setelah muncul larangan perjudian pada 1974, Yayasan Rehabilitasi Sosial mengubah namanya menjadi Badan Usaha Undian Harapan dan mengeluarkan programnya yang hits banget kala itu, yaitu Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB).
Buat kamu yang pernah main SDSB dan dapat cuan di sini, saya mau sungkem. Hehehe….
Pada 1993, SDSB juga mengeluarkan judi terselubung berbentuk kupon berhadiah. Namanya, Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah (TSSB) atau Kupon Sumbangan Sosial Berhadiah (KSSB). Seru ya.
Kini, praktik perjudian semakin beragam. Buktinya, judi online muncul dan eksistensinya sulit dibantah. Untuk masyarakat pedesaaan, judi dadu (kupyuk) dan judi togel masih jadi primadona. Setelahnya, judi remi dan kartu koa/ceki. Judi online bola belum begitu menarik nom-noman desa.
Baca halaman selanjutnya: Aktivitas ilegal yang menyatukan warga.
Judi togel muncul lagi dan makin digemari
Sesuatu itu kembali menjadi “hobi” di kampus saya. Apalagi kalau bukan judi togel.
Seingat saya, terakhir kali judi togel marak itu di periode 2002 sampai 2004. Saat itu, nggak semua terlibat. Kini, semuanya kedanan judi togel. Bapak-bapak, ibu rumah tangga, pemuda, anak sekolah, sampai sebagian kecil jamaah kampung. Gokil.
Fenomena judi togel ini unik. Pasalnya, cuma kampung saya terjangkit judi togel (lagi). Kampung-kampung tetanggak nggak ada yang main ginian. Yah, setahu saya saja, sih. Nggak tahu kalau main belakang.
Gambarannya begini.
Di kampung saya tinggal ada empat RT. Saya sendiri tinggal di RT 01. Pusat judi togel ada di RT 04. Bandar judi yang disegani itu masih berusia sekitar 34 tahun (lahir 1987). Sebut saja namanya Lek Pri.
Dia masih muda, tapi sudah terampil menjadi bandar. Dia memiliki akun judi togel dan modal besar yang tersambung dengan bandar besar di atasnya. Bisa dikatakan kalau Lek Pri ini bandar bonafide. Dalam sehari, dia bisa mengantongi uang Rp3 sampai Rp5 juta dari tiga pool (Sidney, Singapura, Hongkong).
Lek Pri memiliki tangan kanan sebagai pengumpul uang dari pemasang judi togel. Kebetulan, tangan kanan Lek Pri tinggal satu RT dengan saya. Namanya Rizki, masih 19 tahun dan baru lulus SMA. Tiap hari, sekitar pukul 20.00 malam, Rizki berkeliling dari rumah ke rumah. Dia mengutip uang dari pemasang. Pukul 22.30, dia menyerahkan uang ke Lek Pri. Setelah itu, Rizki bertugas mengantarkan uang kepada pelanggan yang nomornya tembus alias menang.
Saluran judi di kampung saya
Ada tiga saluran judi togel yang digemari anak-anak muda kampung saya. Pertama, Sidney untuk pukul 14.00. Kedua, Singapura, ada di pukul 17.00. Terakhir, Hongkong, bukaan di pukul 23.00. Semuanya dalam WIB.
Sejatinya, masih banyak judi togel dari berbagai negara seperti Cina, Taiwan, bahkan Kamboja. Namun, yang tiga itulah yang istimewa.
Kebiasaan di kampung saya, teman-teman akan nembak dua sampai empat nomor. Yah, seperti pada umumnya. Sekali keluar, akan muncul enam angka. Angka kedua sampai keempat dari belakang adalah angka yang paling diburu penjudi.
Contohnya gini. Suatu malam, nomor yang keluar adalah 756423. Rinciannya: tembakan dua angka ada di 23. Untuk tiga nomor, berarti 423. Jadi, empat nomornya adalah 6423. Situs togel yang lazim dipantengin adalah Live Draw HK.
Candu utama bagi pemain togel adalah sensasi menebak dan otak-atik angka, selain juga besaran imbalannya. Jika pasang Rp1.000 untuk dua nomor lalu tembus, dapatnya Rp70.000. Untuk tiga nomor, akan mendapat Rp350.000 per seribunya dan Rp3.500.000 untuk tebakan empat nomor.
Daya tariknya selalu sama, yaitu modal dikit untung banyak. Itu kalau beruntung, di mana yang namanya keberuntungan itu selalu tipis. Hukum alam untuk perjudian memang begitu.
Oya, selain judi togel dari Sidney, Singapura, dan Hongkong, pemuda di kampung saya juga bergabung ke beberapa grup Facebook. Mereka “nyambi” dengan berburu jackpot di grup judi di Facebook. Rajin banget.
Alasan yang tak pernah bulat
Dulu, saya berpikir kalau sebuah peristiwa itu biasanya saja berulang. Kok ya ndilalah terjadi di habit judi togel yang dulu pernah marak di kampung saya. Untuk Lek Pri, misalnya, saya dan banyak warga kampung kesulitan mengorek keterangan dari mana dia bisa mendapatkan “jalan” ke bandar besar.
Dia selalu merahasiakannya. Yah, dulu sih sempat jadi bahan gibah kolosal ketika ronda. Namun, lama-kelamaan, warga lebih sibuk belajar angka “matematika tembakan” ketimbang sibuk mencari tahu dari mana togel itu masuk lagi ke kampung.
Bertanya ke warga? Jawaban yang kamu terima nggak bakal ada yang serius. Istilahnya slengekan, modelan setengah bercanda. Suatu kali saya bertanya gini:
“Mas, kenapa kok masih main togel? Nggak kerja aja kayak biasanya?”
Jawaban yang saya terima: “Lho, ini kan kerja yang dianjurkan pemerintah sejak tahun lalu. Apa itu namanya? PPKM? WFH?”
“WFH.” Jawab saya.
“Nah, itu. WFH. Bentuk WFH wong ndeso ya seperti ini.”
Tentu jawaban mas-mas itu nggak mewakili suara orang desa. Jangan marah dulu.
Saya mengulang pertanyaan itu ketika bertemu beberapa teman dan orang tua di kampung. Jawabanya ya kurang lebih sama. Bagi pemuda yang putus sekolah dan menjadi buruh tani, mereka tidak bisa menjangkau hiburan yang lebih “sehat”. Pengetahuan mereka sebatas pengetahuan yang berputar di kampung.
Pengetahuan yang berputar di kampung
Kalau di kampung suka mancing, mereka pada mancing. Kalau suka voli sore hari, pasti rajin voli sepulang dari menggarap sawah. Nah, celakanya, yang menjadi pengetahuan di kampung saya adalah judi togel. Sebuah ingatan lama yang seperti terpanggil kembali ketika para warga diimpit oleh berbagai kesulitan. Harga hasil bumi yang sering menyedihkan, tengkulak jahat, kenaikan harga kebutuhan, pendidikan makin tak terjangkau, hingga akhirnya… ya, kamu bisa menebaknya… pandemi.
Katanya, sekarang ini, ekonomi Indonesia dikatakan sedang naik. Konon sedang dalam pemulihan akibat hantaman pandemi. Namun, ada sebuah kenyataan di mana nikmatnya bounce back itu hanya dinikmati “para papan atas”. Orang kecil, para pemuda tak sekolah, pensiunan tak punya hiburan, ibu rumah tangga terkucil, tidak menikmati masa-masa pemulihan ekonomi.
Oleh sebab itu, kebiasaan purba, judi, menjadi sangat mudah menular. Mereka mendapatkan kenikmatan sesaat dari menang judi togel.
Jangan salah, di kampung saya, sebetulnya tidak banyak yang berani memasang dengan nominal besar. Paling banyak adalah mereka mengincar satu atau dua nomor saja. Banyak yang pasang Rp1.000 untuk menang Rp70.000. Begitu saja mereka sudah senang dan nggak ngoyo mengejar nominal besar.
Kenapa menang segitu saja sudah senang? Ya karena dengan menang, meski nominalnya kecil, mereka mendapatkan bahan untuk bercerita dengan warga kampung lain. Judi togel seperti hanya sebatas “lahan” untuk berburu cerita. Dengan berbagi cerita, ngobrol, bersenda gurau, mereka mendapat kenikmatan seperti orang kota menyesap kopi premium sambil membahas Layangan Putus.
Dia yang berani “habis banyak”
Yah, namanya judi, tetap ada yang berani habis banyak demi kemenangan. Namanya Lek Wiji, salah satu orang kayak di kampung saya. Dia pernah menang Rp20 juta. Namun, ternyata, jika ditotal, kekalahannya lebih banyak ketimbang kemenangan.
Tapi kembali lagi, judi togel di kampung saya bukan soal uang saja. Saya mendapatkan jawaban unik dari teman saya. Katanya, dengan ikut judi togel, dia mendapatkan semacam kemerdekaan untuk mengatur uangnya sendiri. Meskipun cuma habis Rp5 ribu di satu malam. Nominal kecil. Tapi dia merasa “berkuasa”.
Saya jadi kebayang soal financial freedom tapi dengan pemahaman yang completely berbeda. Ada-ada saja.
Menjadi semacam perekat hubungan warga
Ada beberapa warga beda RT yang sebetulnya nggak begitu akrab. Namun, tiba-tiba, mereka bisa jadi akrab dan bikin circle sendiri. Mungkin, kalau dikasih nama, circle mereka akan disebut circle dhemit.
Mereka rajin bertemu di tempat tertentu. Tujuannya sudah ditentukan jauh-jauh hari, misalnya kuburan di kampung sebelah. Di sana, mereka akan menggelar ritual tertentu untuk tanya nomor ke penunggu kuburan.
Nomor yang mereka bawa dari dhemit penunggu kuburan biasanya laris ditanya penjudi lain. Dan asiknya, mereka akan berbagi dengan senang hati. Seakan-akan, itulah bentuk perlawanan mereka terhadap isapan jahat dari sebuah peristiwa bernama judi. Kalau banyak yang menang, harapannya, bandar bakal pusing.
Namun, apakah nomor mereka itu jitu? Ya enggak juga. Malah lebih banyak blong ketimbang plong. Sekali lagi, bukan itu hasrat mereka. Mereka sudah menikmati masa-masa berkumpul bersama. Menghabiskan waktu untuk berbagi tawa (dan mungkin ketakutan ketika berburu nomor dari dhemit).
Yah, sampai di sini, judi memang jangan ditiru. Namun, di balik layar kelam itu, selalu ada “alasan-alasan terang” yang terdengar masuk akal. Apalagi ketika menjadi sebuah bentuk perlawanan terhadap hidup yang brengsek, tapi mereka dipaksa untuk menikmatinya.
BACA JUGA Bapak Saya Jago Main Togel dan Pandai Ngatur Uang Halal Haramnya dan ulasan menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Puji Harianto
Editor: Yamadipati Seno