Tentang Salah Kaprah Penggunaan Istilah “Taubat” - Mojok.co
  • Kirim Artikel
  • Terminal
Mojok
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Cerbung
  • Movi
  • Podcast
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Cerbung
  • Movi
  • Podcast
No Result
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
  • Kilas
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Cerbung
  • Movi
  • Podcast
Home Esai

Tentang Salah Kaprah Penggunaan Istilah “Taubat”

Ulil Abshar Abdalla oleh Ulil Abshar Abdalla
11 Februari 2018
0
A A
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

[MOJOK.CO] “Saya heran ketika ada yang menyebut bahwa saya sedang melakukan taubat ketika saya membaca kitab Ihya’ Ulumuddin.”

Istilah taubat akhir-akhir ini sering digunakan secara salah kaprah dan kurang tepat. Seseorang yang sedang mengalami evolusi pikiran dari satu tahap ke tahap lain disebut bertaubat. Ini jelas tidak tepat.

Istilah “taubat”, bagi saya, jelas tak tepat dipakai dalam konteks evolusi gagasan. Taubat hanya tepat dalam konteks tindakan maksiat. Gagasan bukanlah tindakan maksiat. Gagasan bisa mengalami evolusi dan perkembangan. Itu menandakan bahwa gagasan tersebut dinamis. Gagasan yang tak berkembang adalah gagasan yang jumud. Apakah saat Imam Syafii berkembang idenya dari qaul qadim (pendapat lama) ke qaul jadid(pendapat baru), beliau sedang bertaubat?

Ketika di ujung hidupnya Imam Ghazali menempuh jalan sufi dan meninggalkan jalan-jalan pencarian kebenaran yang lain (yaitu jalan para teolog dan filsuf) yang pernah beliau cobai, apakah Imam Ghazali melakukan pertaubatan? Tidak sama sekali. Tak ada yang menggambarkan fase mistik Imam Ghazali di ujung hidupnya sebagai fase taubat.

Jika Anda dulu menjadi begal, maling, atau koruptor lalu menyesali tindakan itu semua dan menempuh hidup baru yang lebih bermoral dan meninggalkan kebiasaan sebelumnya, itu bisa disebut taubat.

Baca Juga:

Toleransi Antarumat Beragama di Kotabaru Tak Sekadar Menyediakan Lahan Parkir

Islam Sebagai Dasar Negara

Gus Miko Cakcoy: Wayang, Sebuah Seni untuk Ngaji

Tetapi jika Anda adalah seorang pemikir lalu pemikiran Anda mengalami evolusi dari satu bentuk ke bentuk yang lain, itu bukanlah pertaubatan. Pikiran, di mana pun, berkembang. Evolusi pemikiran menandakan bahwa yang bersangkutan berproses, tidak jumud. Tetapi, evolusi pemikiran bukanlah pertaubatan.

Ketika seorang saintis mengubah teorinya karena data-data yang baru menyanggah hipotesis dia yang awal, dia tak bisa disebut bertaubat. Dia mengoreksi teorinya, tetapi dia tidak sedang bertaubat.

Ketika Prof. Harun Nasution, di ujung karir intelektualnya, menggeluti kajian tasawuf, kita tak bisa menyebut beliau bertaubat. Paling jauh kita hanya mengatakan, Prof. Harun memperluas cakrawala intelektualnya dengan memasuki bidang yang baru. Ketika beliau masuk ke kajian tasawuf, bukan berarti gagasan-gagasan beliau sebelumnya ditinggalkan. Sama sekali tidak.

Oleh karena itu, saya heran ketika ada yang menyebut bahwa saya sedang bertaubat ketika saya membaca kitab Ihya’ Ulumuddin. Istilah ini mengandaikan bahwa dengan membaca Ihya’, saya meninggalkan gagasan-gagasan saya sebelumnya. Istilah “taubat” secara implisit menyarankan bahwa pikiran-pikiran saya sebelum mengaji kitab Ihya’ keliru semua dan telah saya tinggalkan.

Anggapan ini jelas keliru sama sekali. Saya tak meninggalkan sedikit pun gagasan-gagasan saya selama ini. Saya masih berpegang pada gagasan pokok yang saya “perjuangkan” selama ini: bahwa teks-teks Islam harus terus direkontekstualisasi dan dibaca secara baru sesuai dengan semangat zaman yang terus berubah.

Jika ada hal yang “berubah” pada diri saya, hanya dalam perkara berikut ini:

Kaum “pembaharu” yang melakukan kritik atas tradisi dalam Islam harus memiliki dimensi spiritualitas, atau “hikmah” dalam bahasa Qur’an. Inti hikmah adalah humility atau sikap rendah hati. Dalam membaca ulang tradisi, sebaiknya kita memiliki sikap humility ini. Sikap kritis terhadap tradisi tetap penting, tetapi kritik itu perlu dilakukan dengan sikap yang andhap asor, tawadu’. Inilah makna spiritualitas bagi saya. Tanpa sikap semacam ini, kita bisa terjebak pada arogansi, kadang malah permusuhan terhadap tradisi secara kurang proporsional.

Jujur saja, saya pernah mengalami fase “arogansi” semacam ini, sebagian besar karena pengaruh munculnya tendensi-tendensi pemikiran keagamaan yang radikal dan cenderung fundamentalistik yang membuat saya marah dan jengkel. Fase arogansi yang pernah menjangkiti saya ini mungkin dipengaruhi juga oleh semacam youth enthusiasm, semangat kemudaan yang menggebu-gebu – fase yang alamiah dalam perkembangan psikologi seseorang.

Di mata saya, melakukan kritik dan penafsiran ulang atas tradisi tidak mesti dipertentangkan dengan spiritualitas. Keduanya bisa jalan bersamaan. Spiritualitas adalah semangat yang seharusnya melandasi seluruh tindakan kita sehari-hari, dalam bidang apa pun.

Bagi saya, bukan tindakan yang hikmah dan “spiritual” saat kita melakukan “konfrontasi intelektual” terus-menerus dengan umat, sehingga konfrontasi itu terkesan seolah-olah menjadi tujuan pada dirinya sendiri. Konfrontasi pada satu fase mungkin diperlukan, tetapi dia haruslah melayani tujuan lebih besar, yaitu transformasi kesadaran umat. Bukan mengalienasikan mereka.

Sekali lagi, saya memaknai spiritualitas sebagai “hikmah”, kebijaksanaan yang muncul karena kesadaran yang akut dan mendalam pada diri kita bahwa kita adalah makhluk yang daif, lemah, bisa berbuat salah; dan hanya Tuhanlah tempatnya segala kesempurnaan.

Kesadaran ini tidak langsung memupus usaha kita sebagai manusia. Kita tetap berusaha, mendayagunakan rasio dan intelektualitas kita untuk mengeksplorasi horizon kebenaran hingga batas-batas terjauh. Tapi, usaha ini tetap harus disertai oleh sikap tawadu’, kerendahhatian.

Salah satu inti spiritualitas adalah kemampuan untuk menggembosi gelembung ego kita yang bisa membesar, tanpa kontrol, hingga akhirnya merusak diri kita sendiri.

Berpikir rasional dan bersikap spiritual bukanlah dua hal yang bertentangan.

Apakah ini pertaubatan? Menurut saya tidak. Ini adalah evolusi pemikiran ke arah yang (semoga saya tak sedang “sombong” ketika mengatakan ini) lebih matang.

Terakhir diperbarui pada 11 Februari 2018 oleh

Tags: definisifilsafatIhya UlumuddinIslampemikiranspiritualTaubatUlil Abshar Abdalla
Ulil Abshar Abdalla

Ulil Abshar Abdalla

Cendikiawan muslim.

Artikel Terkait

toleransi antarumat beragama di kotabaru

Toleransi Antarumat Beragama di Kotabaru Tak Sekadar Menyediakan Lahan Parkir

4 Mei 2022
Islam Sebagai Dasar Negara

Islam Sebagai Dasar Negara

30 April 2022
Gus Miko Cakcoy: Wayang, Sebuah Seni untuk Ngaji

Gus Miko Cakcoy: Wayang, Sebuah Seni untuk Ngaji

11 April 2022
Puncak Keimanan Adalah Keindahan bukan Cuma soal Kebenaran

Puncak Keimanan Adalah Keindahan bukan Cuma soal Kebenaran

21 Januari 2022
bacaan sholat

Tak Perlu Malu kalau Belum Hafal Bacaan Sholat, Temanmu Banyak Kok

22 November 2021
Kok Ada Ayat Jangan Mati kecuali dalam Keadaan Muslim? Lah Kan Mati Bukan Kita yang Ngatur?

Kok Ada Ayat Jangan Mati kecuali dalam Keadaan Muslim? Lah Kan Mati Bukan Kita yang Ngatur?

5 November 2021
Pos Selanjutnya
kilas-angel-lelga-viki-prasetyo-mojok

Selamat Menikah Vicky Prasetyo dan Angel Lelga

Komentar post

Terpopuler Sepekan

Tentang Salah Kaprah Penggunaan Istilah “Taubat”

11 Februari 2018
Garuda Pancasila, Sudharnoto

9 Fakta Pencipta Lagu Garuda Pancasila yang Tersingkir dari Sejarah

26 Juni 2022
Lokasi 18 SPBU di Jogja untuk uji coba MyPertamina

Lokasi 18 SPBU di Jogja yang Jadi Tempat Uji Coba MyPertamina untuk Roda Empat

30 Juni 2022
kecurangan SBMPTN

Polisi Amankan 15 Pelaku Kecurangan SBMPTN di UPN Veteran Yogyakarta

28 Juni 2022
baskara aji mojok.co

Soal Jam Malam, Sultan Minta Menyeluruh di Jogja

24 Juni 2022
Pertamina dan aplikasi MyPertamina yang bikin ribet rakyat kecil! MOJOK.CO

MyPertamina dan Logika Aneh Pertamina: Nggak Peka Kehidupan Rakyat Kecil!

29 Juni 2022
Kasman Singodimedjo tagih janji ke Sukarno sial Piagam jakarta

Kasman Singodimedjo, Menagih Janji 7 Kata Piagam Jakarta pada Sukarno

26 Juni 2022

Terbaru

money heist korea mojok.co

3 Pemeran Money Heist Korea Ceritakan Tantangan dan Momen Paling Berkesan Saat Produksi

1 Juli 2022
Tjipto Mangoenkoesoemo [Bag.2]: Anti Raja dan Anti Kolonial

Tjipto Mangoenkoesoemo [Bag.2]: Anti Raja dan Anti Kolonial

1 Juli 2022
laman mypertamina eror mojok.co

Laman MyPertamina Eror, Sejumlah Warga Jogja Batal Daftar Pembelian BBM Subsidi

1 Juli 2022
provinsi baru mojok.co

Tiga Provinsi Baru di Papua Disetujui DPR, Persiapan Mulai Dijalankan  

1 Juli 2022
roy suryo mojok.co

Roy Suryo Diperiksa 3 Jam di Polda Metro, Bantah Akun Twitternya Disita

1 Juli 2022

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
DMCA.com Protection Status

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Cerbung
  • Movi
  • Podcast
  • Mau Kirim Artikel?
  • Kunjungi Terminal

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In