MOJOK.CO – Bojonegoro, sebuah desa di Temanggung, menyimpan misteri. Di sana, kamu tidak boleh menceritakan kisah Prabu Angling Dharma. Kalau melanggar, malapetaka jadi ganjarannya.
Di Temanggung, ada sebuah desa bernama Bojonegoro. Desa tersebut terletak sekitar 13 kilometer dari pusat kota. Setidaknya ada 5 dusun di bawah naungan Bojonegoro yang masuk di Kecamatan Kedu, yaitu Diwek, Drandan, Prupugan, Wonosroyo, dan Ngrancang.
Nah, ada sebuah kepercayaan di Bojonegoro yang sudah dipercaya sejak lama. Jadi, di sana, ada larangan menyinggung hal-hal yang berkaitan dengan Prabu Angling Dharma, tokoh yang diyakini sebagai seorang raja dari Malawapati.
Karena penasaran, saya mencoba menelusuri lebih jauh tentang larangan yang terkenal di seantero Temanggung. Bersama salah seorang teman, sebut saja Hakim, saya memberanikan diri untuk menembus Bojonegoro. Kami berangkat pada Minggu, 13 Agustus 2023, sore hari.
Kami berangkat sore lantaran cuaca waktu itu sangat mendukung. Cerah dan berawan. Lantaran masih sore, saya cukup percaya diri bisa mewawancarai beberapa warga. Berbeda ketika malam, Bojonegoro layaknya desa pinggiran di Temanggung, yaitu sangat sepi. Terlebih lagi jalanan menuju area itu sungguh sangat gelap. Tidak ada penerangan jalan.
Mulut yang bungkam di pusat misteri di Bojonegoro, Temanggung
Begitu sampai di Ngrancang, sebuah daerah di Temanggung, kami langsung menuju ke rumah juru kunci yang bersebelahan dengan petilasan Angling Dharma. Saya agak kaget karena juru kunci petilasan itu adalah perempuan, lebih tepatnya seorang ibu.
Setelah basa-basi sejenak, sosok ibu itu menolak bercerita soal kepercayaan Angling Dharma yang terkenal di Temanggung. Sosok itu sama sekali tidak mau membahas Angling Dharma. Semakin kami “mendesak”, ibu itu semakin kuat menutup diri. Sebuah perasaan janggal muncul. Apakah si ibu hendak menutupi sesuatu?
Lantaran tidak mendapatkan informasi, setelah menghabiskan teh hangat yang dihidangkan si ibu, kami pamit, Saya dan Hakim masih optimis ada orang yang mau menceritakan larangan menyebut Angling Dharma di Bojonegoro, Temanggung.
Setelah menelusuri jalanan di Bojonegoro, saya dan Hakim menghampiri ibu-ibu yang sedang duduk di teras. Saya menghampiri dan menyampaikan maksud dan tujuan saya. Bukan untuk mencari tahu tentang sejarah Angling Dharma di Bojonegoro, karena itu bukan kapasitas mereka, melainkan saya hanya mau mengulik soal kejadian-kejadian atau pantangan yang terkenal di seluruh Temanggung.
Namun sayang, mentok lagi. Mereka tidak mau membuka mulut. Bahkan, ketika terus bertanya, saya malah mendapat semacam “kode” untuk segera pergi dari desa itu.
Untungnya, dari salah seorang warga, saya mendapatkan petunjuk untuk menuju ke Gondangwayang, sebuah desa yang tidak jauh dari Bojonegoro, Temanggung. Ketika sampai di sana, saya diarahkan untuk menemui Bapak Yatin, mantan juru kunci petilasan Angling Dharma di Ngrancang. Ngomong-ngomong, petilasan tersebut masih sering menjadi jujugan ziarah masyarakat Temanggung maupun luar Temanggung.
Akhirnya, berada di tempat yang tepat
Di perjalanan menuju Gondangwayang, saya sempat ngobrol dengan Hakim. Intinya, kami sama-sama heran warga enggan bercerita. Apakah memang setakut itu. Apalagi kami hanya ingin ngomong soal fakta, bukan misteri atau aspek mistis dari larangan bercerita soal Angling Dharma di Bojonegoro, Temanggung.
Sesampainya di rumah Bapak Yatin, saya dan Hakim mendapatkan sambutan hangat. Saya langsung menyampaikan maksud dan tujuan kepada Bapak Yatin. Syukurlah dia sangat terbuka.
Pria yang umurnya sekitar 50 tahun itu juga mengatakan bahwa kami berada di tempat yang tepat. Karena memang dia pernah menjadi juru kunci di petilasan Angling Dharma. Pak Yatin baru sebulan ini berhenti menjadi juru kunci.
Sembari menyalakan rokok, saya turut curhat tentang kejadian-kejadian yang saya dan Hakim alami di Bojonegoro. Bahwa tidak ada warga yang mau bercerita, bahkan sedikit saja, tentang kisah Angling Dharma yang terkenal di Temanggung. Termasuk juru kunci yang baru, enggan berbagi kisah.
Mendengar curhatan itu, Pak Yatin justru menyayangkan karena juru kunci sudah semestinya tahu dan mau bercerita. Kalau warga sekitar tidak mau cerita ya tidak mengapa karena memang cerita-cerita Angling Dharma tidak boleh diceritakan oleh sembarang orang.
Menurut penjelasan Pak Yatin, kalau mau menjadi juru kunci di Bojonegoro, harus mendalami kisah dan laku yang ada di Mergowati. Ini adalah daerah kekuasaan Batik Madrim, patih Prabu Angling Dharma.
“Keduanya itu istilahnya masih kakak-beradik,” kata Pak Yatin.
Bukan itu saja, tirakat menjadi juru kunci juga mesti ada. Seperti Pak Yatin yang mengaku telah melakukan tirakat puasa ngrowot selama 5 tahun, 5 bulan, 5 hari. Rowot adalah puasa menahan diri dari memakan nasi dan makanan lain berbahan segala macam beras. Pelaku puasa ini akan menjadikan sayuran, buah-buahan, dan umbi-umbian sebagai sumber makanannya. Hal ini dilakukan supaya selamat dari bahaya tak terduga.
Pantangan yang menjadi terkenal di seluruh Temanggung
Di tengah obrolan yang mengalir, tiba-tiba Pak Yatin bilang bisa mengundang Prabu Angling Dharma untuk datang. Tentu saja kami kaget. Beberapa tamu yang sedang menjenguk istri Pak Yatin sama kagetnya lantaran pernah mengalami sendiri peristiwa itu.
Pernah suatu kali angin besar datang ketika mereka sedang membicarakan Angling Dharma. Kata Pak Yatin, angin besar itu menjadi pertanda hadirnya Prabu Angling Dharma di tempat tersebut. Kami memang kaget dan takut, tapi ada rasa penasaran juga.
Namun, istri Pak Yatin yang sedang terbaring sakit mewanti-wanti kalau ada pantangan tentang Angling Dharma, ya jangan diteruskan. Sebab tidak menutup kemungkinan itu akan berdampak di kehidupan orang itu. Tapi, Pak Yatin mengatakan tidak masalah selama itu orang yang tepat untuk bercerita dan masih ada dalam koridor-koridor tertentu.
Melanggar pantangan, malapetaka datang
“Sejak kapan, Pak, larangan cerita Angling Dharma di Bojonegoro, lalu menjadi terkenal di seluruh Temanggung?”
Pak Yatin menjelaskan bahwa larangan itu sudah ada sejak 1998. Tapi, saat saya tanya alasannya, Pak Yatin tidak mau menjawab karena sifatnya rahasia. Perjanjian yang harus dijaga antara juru kunci dengan “pihak gaib” kata dia. Tentu saya tidak berani memaksa Pak Yatin untuk bercerita.
Pada awal periode 2000an, ada banyak kejadian janggal terjadi di Bojonegoro, Temanggung. Warga percaya bahwa kejadian janggal tersebut masih berkaitan dengan pantangan yang ada. Oleh sebab itu, untuk mencegah terjadinya malapetaka, warga mengadakan syukuran grebeg setiap 1 suro di petilasan Angling Dharma. Grebeg suro itu rutin dilakukan sejak 2007.
Hal janggal lainnya terjadi saat dulu ada warga yang memutar sinetron Angling Dharma. Ketika asyik menonton, tiba-tiba televisi yang digunakan untuk menonton meledak. Sejak saat itu, mereka tidak lagi memutar film Angling Dharma.
Bergeser ke 2013, di mana waktu itu akan diadakan grebeg suro. Sewaktu memasang traktak, pihak pemasang tidak mau mengikuti arahan juru kunci, bahwa jangan masang melewati garis batas. Setelah traktak selesai dipasang, tiba-tiba turun hujan deras disertai angin besar. Tidak lama, tratak itu ambruk.
Kejadian yang terbilang unik terjadi di grebek suro 2023. Saat itu, menurut penuturan berbagai sumber, Prabu Angling Dharma tidak berkenan “hadir”. Beliau malah pergi entah ke mana. Anehnya, entah bagaimana, pengunjung dari luar Temanggung, tidak ada yang hadir.
Padahal, pengunjung dari Jogja, Kulon Progo, Tembarak, dan Sukorejo biasanya mendominasi. Menurut penjelasan Pak Yatin, saat itu ada sesajen tidak lengkap. Kesalahan tersebut berdampak besar, termasuk membuat pengunjung dari luar Temanggung tidak datang.
Pertanyaannya, bagaimana caranya pengunjung dari luar Temanggung itu tahu Angling Dharma “mboten rawuh”? Lalu, kenapa mereka bisa kompak banget untuk nggak datang? Silakan direnungkan sendiri, ya.
Berhubung langit sudah gelap, saya dan Hakim pamit pulang. Pak Yatin melepas kami dengan senyumnya yang lebar.
Larangan cerita Angling Dharma turut dialami oleh warga di desa-desa sekitar Bojonegoro, Temanggung
Saat di perjalanan pulang, ada salah satu teman Hakim mengirim pesan WA. Katanya, ada “orang pintar” yang bisa menceritakan kejadian dan sejarah pantangan Angling Dharma di Bojonegoro. Saya mengiyakan untuk menemui “orang pintar” itu. Barangkali darinya kami akan menemukan cerita-cerita lain.
Langsung kami bergegas menuju rumah teman Hakim yang jaraknya tidak jauh dari rumah Pak Yatin. Sesampainya di sana, ternyata orang yang dianggap pintar itu tidak mau bercerita juga. Termasuk ibu dan bapak dari temannya Hakim. Padahal rumah itu sudah bukan bagian dari Bojonegoro, Temanggung.
Yang baru saya tahu kemudian adalah larangan bercerita itu tidak hanya di Bojonegoro saja. Larangan tersebut juga ada di desa-desa sekitarnya, seperti Gedongsari, Gondangwayang, dan Kundisari. Itulah yang membuat pantangan ini menjadi terkenal di seantero Temanggung.
Lantaran agak kesal juga, saya hendak berbuat usil. Saat itu, saya ingin menjajal menyetel YouTube film Angling Dharma. Namun, niat saya langsung padam ketika mendengar suara angin yang kayaknya lebih besar ketimbang biasanya. Temanggung memang sedang dingin, tapi seharusnya angin nggak sebesar itu.
Yah, pada akhirnya, mitos atau sebuah kisah memang tidak untuk ditantang. Terkadang, cukup kita memahami dan meyakini saja.
Penulis: Khoirul Atfifudin
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Alun-Alun Temanggung Sekarang seperti Kuburan di Tengah Kota dan kisah menarik lainnya di rubrik ESAI.