Tanah Abang dan Kampung Boncos, Sisi Gelap Jakarta yang Dijejali Kejahatan: Dari Premanisme Sampai Surga untuk Narkoba

Tanah Abang & Kampung Boncos, Borok Masa Lalu Jakarta MOJOK.CO

Ilustrasi Tanah Abang & Kampung Boncos, Borok Masa Lalu Jakarta. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COTanah Abang dan Kampung Boncos adalah dua sisi gelap dan gemerlap Jakarta. Keduanya dijejali kejahatan dan jadi surga bagi peredaran narkoba.

Setidaknya, di setiap wilayah di Jakarta yang terbagi menjadi lima daerah itu, ada satu kawasan yang menggambarkan sisi buruk kota tersebut. Dua yang akan saya bahas adalah Kampung Boncos dan Tanah Abang.

Sebelum ke sana, mari kita sedikit menyenggol branding bernama Jakarta Smart City. Begitulah branding yang menempel di kota ini. Kecepatan adaptasi pada teknologi, membuat kota ini menjadi kiblat modernisme untuk kota lain di Indonesia. Namun di balik sampul lanskap Jakarta Smart City, terdapat entitas kecil yang tersebar dan mengganggu tatanan sosial dan moral masyarakat.

Bersekolah di SMAN 46 Jakarta membuat saya bisa melihat ibu kota dari berbagai sisi. Saya juga bertemu teman yang lebih pantas disebut bajingan, tapi menyenangkan. Kami membiarkan diri kami digilas pergaulan bebas. Inilah awal mula saya melihat sisi gelap Jakarta.

Peredaran psikotropika di jalanan umum, bahkan di pusat Jakarta

Nongkrong dan mabuk di muka umum sudah menjadi rutinitas ketika sekolah dulu. Selepas bel berbunyi yang menandakan berakhirnya waktu sekolah, saya langsung bergegas menuju ke sebuah taman di area Kompleks Perumahan Jusuf Kalla.

Sampai di taman, kami mengumpulkan uang dari teman-teman yang lain, lalu berangkat ke daerah Roxy, Jakarta Pusat. Bagi orang yang tidak tahu, mungkin akan mengira kami ke ITC Roxy untuk urusan elektronik. Jelas tidak. 

Roxy yang saya maksud adalah “Biak Roxy Cideng”. Para penjual obat psikotropika berkumpul di sana. Tentu ilegal dan tanpa resep dokter.

Era 2000 an hingga 2015 Jalan Biak Roxy menjadi titik temu para pecandu obat-obatan terlarang. Seolah daerah ini kebal dari sentuhan aparat penegak hukum. Soal “kebal hukum”, saya jadi ingat Kampung Boncos dan Tanah Abang.

Pedagang berbaris menggunakan gerobak dorong sudah menjadi pemandangan umum. Jumlahnya sangat banyak. Mungkin puluhan gerobak, hampir memenuhi sepanjang jalan itu. 

Mereka berbaris dengan rapi. Saya sering melihat si pedagang sudah duduk manis dengan mata sedikit sayu. Di depan pedagang, terdapat meja kecil yang di atasnya ada satu botol air mineral ukuran besar, satu cangkir kopi, dan beberapa papan obat.

Keberadaan mereka sudah menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri. Bahkan tidak jarang juga para penjual itu berasal dari masyarakat setempat. Meskipun tidak sedikit juga pendatang yang menjadi pedagang dan mencoreng nama baik daerah tersebut. 

Tanah Abang, tanah legendaris

Bergeser ke Selatan dikit, tepatnya di daerah Tanah Abang, terdapat dua tempat anomali yang tidak kalah parahnya dengan Biak Roxy. Yaitu Pasar Tanah Abang dan kawasan Kota Bambu Tanah Abang.

Sejak dulu, aktivitas premanisme dan kriminalitas di kawasan Tanah Abang sudah melekat, bahkan menjadi legenda. Banyak aktivitas kejahatan terjadi di kawasan tersebut. 

Mulai dari kekerasan, pencurian, pemerasan, prostitusi hingga peredaran narkotika. Jika kamu pernah mendengar nama Hercules, dia adalah koordinator para “pemuda” di Tanah Abang. 

Di kawasan pasar Tanah Abang, kalau siang hari, memang tampak seperti pasar tradisional biasa. Tidak ada yang aneh. Banyak orang berbelanja untuk memenuhi kebutuhan di pasar ini. Terutama bagi mereka para pengusaha textile atau pakaian. Pasar Tanah Abang menjadi sentra membeli bahan pakaian.

Hanya, banyak “hama” yang berkeliaran di kawasan pasar tersebut sejak dulu. Mereka menjelma menjadi banyak bentuk. Ada yang menjadi juru parkir liar, ada yang menjelma menjadi preman hingga pencopet handal. Sehingga, kejadian tidak menyenangkan kerap terjadi di kawasan tersebut tanpa mengenal tempat dan waktu.

Malam di Tanah Abang

Ketika malam tiba, bagian barat pasar yang mengarah ke Jalan KS Tubun, terdapat sebuah jembatan untuk menyeberangi Kali Ciliwung, menjadi tempat para Pekerja Seks Komersial (PSK) menjajakan dirinya. Biasanya, pelanggannya para sopir dan kondektur bus atau mikrolet. Setelah saya telusuri, tarifnya relatif rendah. Dan umur para wanita malam itu rata-rata sudah tua. Kisaran 30 sampai 40 tahun.

Di bawah jembatan itu terdapat semacam bilik-bilik untuk para PSK melayani pelanggannya. Biasanya, di depan bilik-bilik itu, terdapat beberapa laki-laki sedang nongkrong. Bisa dibilang mereka adalah para penjaga wanita tersebut. 

Tak jauh dari tempat bilik itu berdiri, terdapat warung-warung kecil semacam warung kopi versi kecil. Di tempat itu juga banyak wanita malam yang menunggu pelanggannya. Pinggiran Kali Ciliwung di kawasan Tanah Abang menjadi saksi bisu sisi lain dari gemerlapnya Kota Jakarta. 

Sebuah kampung narkotika di Jakarta

Tidak jauh dari Tanah Abang, tepatnya di Kecamatan Palmerah, terdapat sebuah permukiman liar dari tanah sengketa. Permukiman ini dikenal dengan nama “Kampung Boncos”. 

Permukiman ini didominasi oleh orang-orang yang awalnya tinggal di bantaran kali Ciliwung di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Mereka membuka usaha rongsokan atau boncos. Maka, hingga sekarang disebut Kampung Boncos. 

Dari luar ini tampak seperti perkampungan biasa. Seperti sebuah perkampungan pada umumnya. 

Namun siapa sangka. Kampung tersebut menjadi perputaran narkotika yang sangat besar. Sejak tahun 2000-an tempat ini menjadi pusat peredaran narkoba.

Peredaran narkotika di Kampung Boncos sudah menjadi hal yang biasa bagi masyarakat setempat. Mereka bahkan melakukan transaksi secara terang-terangan. Bisa di depan jalan, depan rumah, hingga di banyak warung kecil di sekitar kampung tersebut.

Berbagai pencegahan tidak pernah membuahkan hasil

Sudah umum jika generasi muda yang lahir dan tumbuh di Tanah Abang dan Kampung Boncos, akhirnya ikut terjerumus dalam lubang hitam itu. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang seolah bekerja menjadi informan kepada para bandar. 

Banyak anak remaja dipekerjakan untuk memantau situasi sekitar pintu masuk Kampung Boncos. Kerja mereka adalah memberikan informasi apabila ada orang yang mencurigakan masuk kampung itu. 

Mirisnya lagi, sudah berbagai upaya pencegahan dilakukan oleh aparat setempat dan tokoh masyarakat. Namun, tetap saja, aktivitas peredaran narkotika berjalan seperti biasa. Seolah tidak pernah bisa dihilangkan. 

Hal itu terjadi karena masih ada warga sekitar main kucing-kucingan dengan warga yang lain. Meskipun penggerebekan sudah dilakukan setiap saat, penyuluhan tentang bahaya narkotika juga sudah dilakukan setiap tahun, tetap sia-sia. Ya karena masih ada segelintir orang yang berusaha menjaga tempat itu terus menjadi sarang peredaran narkotika. 

Tanah Abang dan Kampung Boncos: Sisi gelap Jakarta

Memang sangat sulit memberantas tiga kawasan itu agar benar-benar bersih dari aktivitas kriminalitas yang sudah melekat. Semakin dalam menggali akar kejahatan di Tanah Abang, misalnya, semakin tidak ketemu siapa dalangnya. Seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. 

Saya melihat berbagai upaya pemberantasan sudah dilakukan. Salah satunya berhasil di Biak Roxy. Di sana, sudah tidak ada yang berdagang obat-obatan terlarang. 

Namun, tidak jauh di lokasi itu, kamu tetap bisa menemukannya. Khususnya di pinggir-pinggir jalan arah Tanah Abang. Terkadang ada orang-orang di pinggir jalan yang secara terang-terangan menggenggam obat di tangannya lalu menawarkan kepada siapa saja yang lewat. miris. 

Pada akhirnya, isu kriminalitas di Roxy Biak, Tanah Abang, dan Jakarta sendiri adalah persoalan yang multidimensi. Ia tidak hanya tentang tindakan kriminal itu sendiri, tetapi juga tentang akar masalahnya, dampak sosial, dan upaya kolektif untuk menciptakan kota yang lebih aman. 

Mengatasi masalah ini memerlukan pendekatan yang holistik. Jadi tidak hanya dari sisi penegakan hukum, tetapi juga dengan memperbaiki kesenjangan sosial dan ekonomi. 

Jakarta mungkin tidak akan pernah sepenuhnya bebas dari kriminalitas. Tetapi, dengan segala upaya dari berbagai elemen, Jakarta akan sembuh dengan sendirinya dan layak disebut sebagai kiblat modernisme untuk daerah lain.

Penulis: Saar Ailarang Abdullah

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Menelusuri Sejarah Pasar Tanah Abang, Sejak Dulu Jadi Sumber Penghidupan Rakyat dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version