Tak Sakralnya Presiden, Lenyapnya Magis KPK, dan Baliknya AC Milan ke UCL - Mojok.co
  • Kirim Artikel
  • Terminal
Mojok
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Cerbung
  • Movi
  • Podcast
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Cerbung
  • Movi
  • Podcast
No Result
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
  • Kilas
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Cerbung
  • Movi
  • Podcast
Home Esai

Tak Sakralnya Presiden, Lenyapnya Magis KPK, dan Baliknya AC Milan ke UCL

Zainal Arifin Mochtar oleh Zainal Arifin Mochtar
27 Mei 2021
0
A A
Tak Sakralnya Presiden, Lenyapnya Magis KPK, dan Baliknya AC Milan ke UCL

Tak Sakralnya Presiden, Lenyapnya Magis KPK, dan Baliknya AC Milan ke UCL

Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

MOJOK.CO – 51 pegawai KPK tetap dipecat meski Presiden perintahkan agar TWK tidak boleh jadi ukuran tunggal memecat orang.

Presiden, bagi Hamilton, salah satu tokoh penting dalam sejarah Amerika, adalah seorang raja yang dibatasi secara demokratis melalui bangunan konstitusi. Presidensialisme menempatkan Presiden sebagai tokoh paling utama dalam sistem pemerintahan gaya ini. Dialah orang utama.

Dalam pepatah Padang, “Orang yang dimajukan selangkah dan dinaikkan seranting.”

Tidak demokratiskah? Ya begitulah bangunan sistem presidensial. Jika ada yang nyinyir, “Enak bener jadi Presiden,” ya memang begitulah adanya.

Itu lahir dari cara kita memilih sistem presidensial. Makanya, kalau ada yang tak suka jika Presiden Joko Widodo memiliki kewenangan besar, silakan usulkan pindah ke parlementer.

Baca Juga:

Kebangkitan AC Milan: Kandidat Juara Serie A dan Pengaruh Paulo Maldini

Yang Seram dari Dugaan Perbudakan Manusia oleh Bupati Langkat

Putri Tanjung Viral hingga Apresiasi Tahanan KPK Termuda

Bagi jiwa-jiwa petualang yang gemar bikin tagar #gantipresiden atau yang sejenisnya, saran sederhana saya lebih cerdas dikitlah. Sistem presidensial berciri kuat masa jabatan yang tetap.

Beda dengan parlementer. Di situ, kepala pemerintahannya gampang diganti dan dijatuhkan di tengah jalan seiring dengan ketidakpercayaan pada dirinya. Mosi tidak percaya namanya. Langsung out, diganti tanpa perlu menunggu pemilu berikutnya.

Cepat, mudah sekaligus konstitusional, dan yang paling penting tak akan ada tertuduh gerakan makar.

Masalahnya, kita sudah jatuh hati pada presidensial. Bahkan pada perubahan UUD (1999-2002), ada kesepakatan bahwa kita harus menguatkan sistem presidensial. Bahkan jatuh hatinya ini diikuti dengan semacam pandangan berani mati menghadapi konskuensi pilihan petualang politik yang juga tak kalah gemar bikin partai.

Kita tak punya sejarah dwi-partai atau multipartai sederhana. Punyanya adalah multipartai, diimbuhi kata multipartai kebangetan. Jumlah partai banyak.

Mengikuti elite tertentu yang sudah tersingkir di partai lama, punya duit lebih sehingga cari mainan di wilayah politik dengan bikin partai, atau memasang wajah partai pembaharu padahal berisi pendana stok lama dan pemimpin afkir.

Jadinya, multipartai yang digabungkan dengan presidensial seringkali menjadikan petaka ketidakstabilan pemerintahan.

Saya tak usah menyambungkan kuliah pengantar sederhana sistem presidensial. Nanti Anda akan makin mengantuk seraya bergumam, “Teorinya saja yang demikian, toh praktiknya amat sangat jauh dari itu.” Maka, mending kita bicarakan apa amplikasinya.

Pertama, salah satu implikasi yang paling berbahaya adalah ketika seorang presiden tersandera kepentingan partai-partai. Dalam sistem presidensial, seorang presiden punya relasi “love and hate” dengan parlemen. Didekati bahaya dijauhi bisa sengsara.

Saya jadi ingat bisik-bisik “istana” bahwa yang merancang perubahan UU KPK adalah partai-partai. Istana, hanya digencet dan dipaksa untuk itu. Kepentingan politik dengan ancaman tertentu membuat Presiden tak bisa ngapa-ngapain.

Menolak UU KPK akan sangat berbahaya buat bangsa dan negara Indonesia sehingga Presiden tak kuasa menolak kecuali memberikan perlawanan dengan tidak menandatangani UU itu.

Saya mau tanya jujur, apa Anda percaya dengan cerita itu? Percayakah versi Istana? Saran saya jangan mudah percaya, karena percaya selain kepada Tuhan syirik. Bisa jadi orang musyrik.

Kembali ke kasus KPK, dalam persoalan TWK, apakah berarti partai-partai yang menekan dan mempengaruhi Ketua KPK sehingga amat kekeuh memecat orang-orang tertentu lahir dari pengaruh partai-partai atau malah dari keinginan Presiden?

Mungkinkah Presiden tidak tahu dan hanya dipaksa untuk itu? Apa Anda percaya ini? Mohon kembali ke saran saya di atas tadi. Jangan percaya sama selain Tuhan.

Tapi taruhlah itu benar maka ada semacam pertanyaan mendasar di balik ke mana keberanian Presiden sebagai “orang yang tidak punya kepentingan”. Mungkinkah karena takut dengan diapa-apakan oleh parlemen?

Jika ada yang mau membantah dan mengatakan bahwa Presiden-lah yang menginisiasi itu, Anda harus baca tulisan saya sebelumnya tentang “5 Alasan Mengapa Inkonsisten Itu Enak dan Perlu“.

Kedua, bahaya dari sistem presidensial adalah ketika Presiden dalam mencari dukungan parlemen mendapatkan dukungan yang sangat kuat. Godaan Presiden ke arah otoritarian akan tinggi.

Mengapa? Karena sebaliknya dari Presiden yang mengalami tekanan partai politik, maka pada tipe ini Presiden-lah yang akan menentukan apa yang dia kehendaki dan partai-partai hanya akan tunduk pada kepentingan dan keinginannya. Bahasa sederhananya otoritarianisme.

Samakah dengan yang ada pada zaman Orde Baru? Mustahil sama, mungkin akan jadi semacam neo-otoritarianisme. Mana yang lebih kejam yang dulu atau yang sekarang?

Mbok ya jadi orang nggak usah mempersulit, silakan timbang-timbang sendiri.

Tetapi jangan buru-buru mengatakan apapun sebagai tindakan otoriter. Ada yang memang lahir dari konsekuensi sistem presidensial. Misalnya, karena Presiden pemegang kuasnya, makanya seluruh ASN tunduk pada Presiden sebagai pembina tertinggi.

Lihat saja PP 17/2020 Management ASN, Pasal 3 Ayat (1) Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan PNS berwenang menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS.

Lalu ayat (2) Presiden dapat mendelegasikan kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS kepada: (a) menteri di kementerian; (b) pimpinan lembaga di lembaga pemerintah nonkementerian; (c) sekretaris jenderal di sekretariat lembaga negara dan lembaga nonstruktural; (d) gubernur di provinsi; dan (e) bupati/walikota di kabupaten/kota.

Jika Presiden kemarin sudah berpidato di hadapan seluruh penghuni republik secara resmi di jaringan negara bahwa dia bersabda, di antaranya; 1. TWK tidak bisa dijadikan sarana satu-satunya untuk memecat pegawai KPK; 2. Tidak boleh merugikan pegawai KPK.

Nah, jika tiba-tiba ada yang tetap memecat dan nggak perduli dengan pidato Presiden, berarti jangan-jangan ada yang sedang melawan Presiden Jokowi? Melawan otoritarianisme itu? Atau melawan sistem presidensial? Coba bayangkan kalau itu terjadi pada zaman Soeharto! Ini orang mungkin sudah “hilang”.

Ketiga, ketika Presiden tidak memiliki kadar kepercayaan diri yang tinggi, Jose Antonio Cheibub, mengatakan… sebenarnya kalaupun sistem presidensial dan multipartai menikah tak juga pasti akan melahirkan anak tak diinginkan dalam bentuk ketidakstabilan.

Sepanjang Presiden “pede”, dia—walaupun dengan dukungan minoritas di parlemen—sebenarnya bisa tetap menjalankan sistem presidensial dengan baik. “Pede” ini tentu tak ada kaitannya dengan sudah menggunakan deodorant yang kualitas jempolan atau tidak. Tetapi pada kualitas, kapabiitas serta integritas dan akseptabilitas Presiden tersebut.

Dalam kepercayaan diri ini juga berkaitan dengan akhir masa jabatan presiden. Makanya, di akhir masa jabatan kedua dan mustahil terpilih lagi, biasanya Presiden sudah ditinggalkan.

Presiden jadi kayak “bebek pincang” secara alamiah tatkala sudah masuk akhir masa jabatan. Presiden sudah nggak dianggap karena toh sebentar lagi akan berhenti.

Dan itu, sehingga semakin menggerus kepercayaan dirinya. Padahal, kepercayaan diri ini sangat dibutuhkan kalau menjalankan agenda pemerintahan.

Apakah Presiden pede atau tidak? Saya pun nggak sepenuhnya paham, tetapi yang saya pahami, apapun sikap Presiden sangat menentukan bagi KPK yang memang sudah semakin terancam.

Mungkin ini terlalu sumir, tetapi, semakin Presiden tak sakral, KPK akan kehilangan daya magisnya. Semakin Presiden tersandera, KPK akan semakin sekarat. Semakin Presiden kehilangan rasa percaya dirinya, maka KPK akan semakin kehilangan eksistensinya.

Mungkin ini pula makna di balik kesepakatan para ahli yang selalu mengatakan keberhasilan pemberantasan korupsi di negara manapun sangat bergantung pada dukungan pemerintahan terhadap agenda itu.

Sebelum saya mengakhiri, mungkin ada satu pertanyaan sederhana, lantas kaitannya dengan AC Milan yang kembali ke UCL apa?

Ya, nggak ada. Nggak ada hubungannya.

Sama nggak ada hubungannya dengan pertanyaan TWK untuk pegawai KPK yang diminta untuk memilih antara Al-Quran dengan Pancasila atau ditanya kalau diminta lepas jilbab bagaimana. Pertanyaan dan pernyataan yang nggak ada hubungannya dengan kompetensi mereka sebagai pegawai atau penyidik KPK, tapi jadi salah satu penentu keberlanjutan mereka sebagai pegawai KPK atau tidak.

TWK yang sekacau itu saja bisa dipakai dan dipercaya sebagai legitimasi pemberhentian pegawai KPK, masa saya nggak boleh percaya akan relasi kebangkitan AC Milan kembali ke UCL dengan kebangkitan KPK versi Pemerintah yang luar biasa ini?

Hm, mau absurd kok pilih-pilih.

BACA JUGA Kami Coba Mengerjakan 20 Soal Tes Wawasan Kebangsaan KPK dan Ini Hasilnya dan tulisan Zainal Arifin Mochtar lainnya.

Terakhir diperbarui pada 14 Juni 2021 oleh

Tags: AC MilanKPKpegawai KPKpresidenTWKucl
Zainal Arifin Mochtar

Zainal Arifin Mochtar

Dosen hukum tata negara Universitas Gadjah Mada. Pegiat antikorupsi di Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM

Artikel Terkait

AC Milan Menatap Scudetto ke-19

Kebangkitan AC Milan: Kandidat Juara Serie A dan Pengaruh Paulo Maldini

24 Maret 2022
Yang Seram dari Dugaan Perbudakan Manusia oleh Bupati Langkat

Yang Seram dari Dugaan Perbudakan Manusia oleh Bupati Langkat

27 Januari 2022
Putri Tanjung viral hingga Apresiasi Tahanan KPK Termuda

Putri Tanjung Viral hingga Apresiasi Tahanan KPK Termuda

26 Januari 2022

DPR Nggak Salah, Ekspektasi Rakyat Aja yang Ketinggian

14 Desember 2021
Memahami Logika Jaksa Kasus Novel Baswedan: Pelaku Tak Sengaja Siram Air Keras ke Kepala

44 Eks Pegawai KPK Dilantik Jadi ASN Polri

9 Desember 2021
Arsenal: Huruf Kapital Emile Smith Rowe MOJOK.CO

Arsenal: Huruf Kapital Emile Smith Rowe

14 November 2021
Pos Selanjutnya
ilustrasi Kita Boleh Menyerah Kalah uthut EA mojok motivasi kesuksesan kegagalan keberhasilan kita boleh menyerah

Mari Berbisnis Buku Bajakan: Cara Cepat Jadi Kaya, Tanpa Risiko, dan Dipuja Banyak Orang

Komentar post

Terpopuler Sepekan

Tak Sakralnya Presiden, Lenyapnya Magis KPK, dan Baliknya AC Milan ke UCL

Tak Sakralnya Presiden, Lenyapnya Magis KPK, dan Baliknya AC Milan ke UCL

27 Mei 2021
Lokasi 18 SPBU di Jogja untuk uji coba MyPertamina

Lokasi 18 SPBU di Jogja yang Jadi Tempat Uji Coba MyPertamina untuk Roda Empat

30 Juni 2022
Garuda Pancasila, Sudharnoto

9 Fakta Pencipta Lagu Garuda Pancasila yang Tersingkir dari Sejarah

26 Juni 2022
kecurangan SBMPTN

Polisi Amankan 15 Pelaku Kecurangan SBMPTN di UPN Veteran Yogyakarta

28 Juni 2022
Pertamina dan aplikasi MyPertamina yang bikin ribet rakyat kecil! MOJOK.CO

MyPertamina dan Logika Aneh Pertamina: Nggak Peka Kehidupan Rakyat Kecil!

29 Juni 2022
PPDB SMA/SMK DIY dan sekolah pinggiran kekurangan murid

PPDB SMA/SMK Ditutup, Sekolah Pinggiran di DIY Kekurangan Murid

30 Juni 2022
Teror Spirit di Puncak Bogor Hingga Makassar MOJOK.CO

Teror Spirit di Puncak Bogor Hingga Makassar: Antara Keriaan dan Kemarahan yang Tak terjawab

30 Juni 2022

Terbaru

Deputi II Bidang Pendistribusian dan Pendayagunaan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Imdadun Rahmat. (Dok. Baznas.go.id)

Deputi Baznas Sebut Global Zakat Milik ACT Tak Punya Izin

4 Juli 2022
Sepeda motor dibakar dalam bentrok di Babarsari, Senin (04/07/2022)

Bentrok Antarkelompok di Babarsari, Sri Sultan Minta Polisi Tindak Keras Pelaku 

4 Juli 2022
sri sultan hb x mojok.co

Masa Jabatan Sri Sultan HB X Habis, DPRD DIY Geber Pembentukan Pansus

4 Juli 2022
Dwi Pertiwi: Legalkan Ganja untuk Medis Segera!

Dwi Pertiwi: Legalkan Ganja untuk Medis Segera!

4 Juli 2022
hotel di jogja mojok.co

Liburan Sekolah, Tingkat Okupansi Hotel di Jogja Meroket

4 Juli 2022

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
DMCA.com Protection Status

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Cerbung
  • Movi
  • Podcast
  • Mau Kirim Artikel?
  • Kunjungi Terminal

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In