Adalah perjuangan yang membuat Surabaya terkenal.
Entah bagaimana, jiwa heroik mungkin memang sudah menjadi jati diri arek Suroboyo. Bahkan meski kamu pendatang pun, lama-lama kamu akan paham apa makna perjuangan di kota ini, dari mana warga Surabaya bisa memegang kegigihan mutlak terhadap suatu keinginan, atau bagaimana filosofi Bung Tomo menjelma menjadi semacam ego komunal—terlepas dari dugaan bahwa tokoh legendaris itu betulan ada atau fiktif belaka.
Pokoke, usaha dhisik sampe entek-ngamek, lagek oleh pasrah hasile koyok opo.
Keras kepala adalah gambaran umum tentang sifat orang-orang yang terlahir dari Kota Pahlawan. Mungkin tidak semua, tapi sejauh ini, sudah berpuluh orang menyebut saya demikian, dan saya bahkan sudah ratusan kali memaki teman-teman sekampung saya dengan sebutan yang sama. Lha wong emang pada ngeyelan kok. Apalagi kalau sudah bahas soalan bola. Haduh. Eh tapi karena saya nggak ngerti bola-bolaan selain tips dan trik mantulin bola bekel, jadi kalian tanya Mas Ken lebih lanjut ajalah ya.
Nah, selain itu yang paling nyebelin dari orang-orang Surabaya adalah: nyinyirnya gak ketulungan!
Kamu pendatang dari Jakarta dan masih belum terbiasa menggunakan pronomina “aku-kamu”? Ya biasakanlah pakai istilah itu, atau biasakan dirimu dinyinyirin orang Surabaya totok karena dianggap sok gaul. Kamu terbiasa bicara dengan nada sengak ala Farhat Abbas meskipun cuma guyon sarkas? Gak usah nyoba ngono nang ngarep arek Suroboyo sing lagek mbok kenal, disamblek koen engkok!
Tapi jangan khawatir, tidak semua orang Surabaya serewel itu, kok. Biasanya yang begitu itu orang-orang yang pikniknya cuma mentok ke Gresik-Sidoarjo.
Satu hal lain, harga diri dan gengsi orang Surabaya itu setinggi langit-langit Burj Khalifa. Kalau kamu meragukan kredibilitas mereka, itu akan dianggap sebagai tantangan, dan penuntasan dendam orang Surabaya tak pernah manis jeh. Kandyani, bibite pejuang rek! Jadi jangan coba-coba pehapein orang Surabaya, atau nggedabrus di depan mereka, atau yo yo o ala Mas Kokok Sang Idola karena kamu tidak setajir blio.
Kamu kesal dan ingin mengkritik orang Surabaya? Sopanlah dalam bicara. Bagaimanapun mereka tetap bagian dari tradisi Jawa. Kecuali kamu sudah sangat akrab dengan mereka, sehingga tak perlu lagi unggah-ungguh basi atau sungkan meng-nggapleki arek Suroboyo.
Oh iya, jangan berharap melihat perempuan Surabaya yang manut wani ditata. Kelak kamu akan kecewa sendiri. Sekalem-kalemnya cewek Surabaya, urusan prinsip, wani gelutlah!
Lihat saja Bu Risma junjungan kami yang tercinta dan telah terpilih lagi untuk periode kedua. Beliau tak ragu ngamuk-ngamuk kalau ada yang berani utak-atik tatanan kota. Alayers perusak taman bunga? Huuu, Surabaya sudah lebih dulu mengalami, dan tahu sendiri hasilnya ‘kan?
Para lelaki Surabaya pun sudah pasti bukan tipe yang bisa kamu usir begitu saja. Kalau belum babak-belur, ya, masih akan bangun lagi meskipun sempoyongan. Kecuali mereka punya asam urat akut hingga tak bisa berdiri.
Mau selfie? Masih banyak bangunan peninggalan Belanda, kok, dan suasana klasik itu selalu asyik untuk jadi latar foto berdua. Coba saja plesiran di area Jalan Gubernur Suryo, di depan Grahadi, lalu mampir ke Balai Pemuda, atau sekadar duduk di Taman Apsari. Enak tuh buat paca… eh, buat menikmati senja. Atau sesekali ikutlah tur napaktilas dengan bus dari House of Sampoerna (yang arsitektur bangunannya pun indah dan semerbak wangi tembakau), lihat-lihat sebagian kota bersejarah ini.
Tak perlu khawatir bosan, berkat Bu Risma, kota ini menjelma menjadi salah satu kota paling cantik dan hijau yang pernah ada di Indonesia. Jarang-jarang, lho, ada kota besar yang taman-tamannya layak dijadikan tempat kenc… bercengkarama sambil ngenet gratis, bersih, dan adem. Datang jam 10 malam pun taman-taman itu masih ramai pengunjung—ya, meskipun kebanyakan adalah anak-anak muda yang ingin nongkrong. Tapi hati-hati, ya, malingnya masih belum pada tobat.
Tapi kalau kamu hendak vakansi di siang hari, jangan lupa pakai tabir surya. Panasnya kota ini bukan mitos. Jadi kalau mau minta diantar jalan kaki siang-siang di Surabaya, palingan pemandu lokalmu menolak mentah-mentah.
Kota yang tak sesibuk Jakarta tapi juga tak seselo Solo ini pun tak kalah romantisnya dengan Jogjakarta. Jika Jogja dianggap sebagai pusat kebaperan, Surabaya adalah kota air mata.
Datanglah kesini ketika kamu merasa butuh semangat untuk berjuang mengatasi rasa baper yang berlebih akan hal apapun, maka kamu akan memperoleh keramahan yang diimbangi dengan ketegasan dari setiap orang. Apa yang salah akan mereka sampaikan, dan andaikan kamu benar pun, pisuhan jancuk—sebab belum afdol rasanya jika kamu belum di-jancuk-jancuk-i saat berada di Surabaya—akan ditujukan padamu dengan nada sayang agar kau tak terlalu larut dalam kekecewaan.
Tapi rasanya akan lebih baik lagi andai kau menetap agak lama, barang seminggu saja, untuk meresapi penuh segala lafal serta intonasi kata jancuk yang keramat itu, yang senantiasa menemani jatuh-bangun setiap manusia di Kota Metropolis ini. Dijamin, air mata kepedihan dan penyesalanmu tentang hidup akan tumpah ruah jadi satu.
Kelak, ketika saat itu benar tiba, aku akan datang untuk menemanimu menangis. Lalu mulai menertawaimu, tentu dengan terbahak-bahak.
*sumber gambar: layoverguide.com*