Jika Ada Sulam Alis, Mengapa Tidak Ada Sulam Kumis?

sulam alis

sulam alis

[MOJOK.CO] “Ingin jadi cantik kok ya dipersoalkan. Mbok sekali-sekali kamu merasakan penderitaan jadi cantik.”

Beauty is pain, jare. Cantik itu butuh pengorbanan. Cantik itu mahal, butuh biaya. Buktinya, makin banyak saja online (atau offline) shop yang menyediakan aneka produk kecantikan, mulai dari skin care, makeup, dan fafifu pendukung lainnya.

Belum lagi dukungan akun-akun byuti vlogger atau byuti influencer yang menjadi referensi ciwi-ciwi untuk akhirnya memutuskan mengorbankan uang bulanan demi tampil kinclong dengan segala jenis sulam. Perkara cocok atau tidak, itu urusan belakangan. Yang penting usaha. Namanya juga pengorbanan.

Aneka macam upaya untuk mempercantik diri belakangan saya rasa makin nganu saja. Tren sulam-sulaman pun tidak pernah bosan melintas dalam bentuk postingan sponsored di lini masa Instagram. Mulai dari sulam alis, sulam bibir, bahkan sulam bedak.

Padahal, boro-boro tertarik untuk mencoba sulam-sulaman itu tadi. Untuk meluangkan uang dan waktu hanya demi facial di klinik-klinik kecantikan tadi saja saya ogah. Padahal, teman-teman dekat sudah akrab dengan tempat-tempat begituan sejak SMA. Alasan saya sepele, saya ogah ketergantungan.

Saya cukup sadar diri bahwa perawatan-perawatan macam itu butuh konsistensi dan ketabahan. Usai facialmisalnya, akan ada fase manakala kulit wajah memerah dan mengelupas. Meski konon kabarnya usai fase ini kulit muka bisa jadi kinclong, saya enggan ambil risiko. Kulit muka saya gampang jerawatan.

Iya, kalau cocok terus muka saya jadi mulus, kalau jerawat-jerawat saya malah membelah diri jadi banyak seperti Mars Perindo, siapa yang mau tanggung jawab? Paling-paling orang-orang hanya akan berkata begini, “Buajilak, rupamu kenopo kuwi?” atau “Siapa suruh coba-coba?”

Kembali lagi ke tren sulam-sulaman. Kebetulan teman-teman perempuan di lingkaran pertemanan saya belum ada yang mencoba tren sulam-sulaman itu tadi (kayaknya, sih. Hehe). Yang ada mungkin sekadar bermain aman dengan menggunakan produk-produk kecantikan penumbuh bulu-bulu di daerah tertentu demi mempertebal alis atau bulu mata gitu.

Meski hasilnya tidak secepat teknik sulam-sulaman itu tadi, paling tidak mereka tidak harus melukai diri mereka sendiri. Cukup punya pengalaman disakiti lelaki aja, menyakiti diri sendiri jangan.

Tren lain berkaitan dengan bulu-buluan rupa-rupanya turut menjangkiti para lelaki. Buktinya, produk-produk penumbuh jambang dan kumis juga berseliweran iklannya. Sebetulnya kalau dibilang tren masa kini, saya tidak sepenuhnya setuju. Ini lebih mirip perasaan yang inferior, takut kalau kurang berbulu dianggap kurang laki-laki.

Ini mengapa iklan minyak penumbuh bulu Firdaus atau iklan Wak Doyok yang sering saya lihat di surat kabar adalah koentji.

Ikon lelaki berjambang, berkumis, berambut cepak, namun berbulu dengan mata lentik tersebut akan selalu menjadi sosok pertama yang melintas di benak saya manakala kata Firdaus terdengar. Lho, jangan salah, emang cuma laki-laki saja yang punya imajinasi?

Tren mempertebal bulu-bulu wajah bagi lelaki rupa-rupanya saya temui di lingkaran pertemanan saya. Jika ciwi-ciwi berupaya memusnahkan bulu ketiak, lengan, serta kaki melalui waxing, cukur, atau laser, lelaki yang dikaruniai kaki mulus bebas bulu justru merasa kurang lakik!

Mereka bahkan menganggap kaki mereka tak ubahnya kaki meja. Lha, kalau kaki meja ada bulunya, medeni dong, Mz? Akuilah bahwa perihal bulu-buluan tidak dapat dilepaskan dari faktor genetis dan tak perlu keracunan budaya maskulin.

Jika kaki, tangan, ketiak mz-mz sekalian tidak berbulu lebat, ya wajar belaka. Memang ada manusia yang populasi bulu kumis dan jambangnya jarang-jarang. Bahkan, sejauh pengamatan saya, lelaki yang berbulu wajah lebat pun terkadang ada bagian yang pitak juga.

Namun, atas nama emansipesyen, sekarang banyak juga produk-produk penumbuh bulu untuk lelaki. Salah seorang teman saja sudah mencoba hal ini. Biar ketok lanang aja gitu, jare. Saya akui, bulu wajah doi memang makin lebat, meski tingkat kegantengan doi masih sangat jauh dari Chicco Jerikho di mata saya. Ini mau niat ganteng apa reboisasi bulu sih?

Menilik tren penebal bulu bagi kalangan lelaki, lagi-lagi atas nama emansipesyen, mengapa tidak ada yang tertarik untuk menciptakan tren sulam kumis (dan jambang)? Bukankah layanan perawatan khusus pria sudah bukan lagi hal yang tabu?

Nyatanya, sekarang sudah banyak jasa-jasa perawatan rambut khusus lelaki. Lagi pula, bukankah secara teknis kumis dan jambang juga merupakan rambut? Atau kumis kamu sebetulnya sekadar bulu hidung yang kelewat memanjang, Mas?

Sekali-sekali perlu dibikin gebrakan semacam sulam kumis dan bulu hidung untuk masa depan yang lebih ambyar.

Exit mobile version