MOJOK.CO – Sebagai organisasi massa keagamaan terbesar di Indonesia yang Februari ini berusia 100 tahun, Nahdlatul Ulama (NU) dinilai jalan di tempat. Kader mudanya khawatir, perayaan satu abad hanya akan jadi acara seremonial belaka.
Nahdlatul Ulama didirikan dengan cita-cita peradaban yang luar biasa mengagumkan. Mewujudkan tata dunia yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan konsep kehidupan yang harmonis berkeadilan. 16 Rajab 1444 H atau 7 Februari 2023 nanti, NU genap berusia 100 tahun. Usia yang kelewat matang untuk organisasi sosial kemasyarakatan terbesar di Indonesia.
NU saatnya menuju era baru
Resepsi puncak akan berlangsung pada 7 Februari 2023 di GOR Delta, Sidoarjo. Peringatan 100 tahun ini, sudah selayaknya jadi momentum bagi NU untuk bangkit menuju era baru yang lebih relevan.
Terhitung sejak 1952, konstruksi organisasi NU belum mengalami banyak penyesuaian, formatnya cenderung tidak berubah dan menjadikan NU makin terseok-seok menghadapi tantangan dunia baru. Jika tidak ditanggapi dengan baik, bakal mempertebal garis irelevansi perjuangan Nahdlatul Ulama. Mudahnya, agenda-agenda yang ditetapkan NU banyak yang ra mashok! Malah memperjarak antara jamiyyah (organisasi) dan jemaah (perkumpulan).
Dari beberapa riset yang sudah dilakukan, 70% masyarakat muslim Indonesia menempatkan NU sebagai top of mind (Alvara Research Center). Artinya, segala fatwa ulama NU bakal jadi pegangan warga muslim saat menentukan sikap dalam beberapa masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Dengan rentang pengaruh yang sangat luas, NU punya tanggung jawab yang sangat berat dalam mengatur arus masyarakat.
NU akan kehilangan wibawa jika hanya jadi objek yang ikut arus. Intinya, NU adalah pengendali dinamika umat. Jika satu abad hanya sekadar seremonial belaka, jelas hanya ndlogok kuda yang terucap.
Saya sebenarnya agak sungkan nulis kritik kepada NU, 6 bulan lebih tidur malam saya beratapkan genteng kantor PCNU Kabupaten Madiun. Sebagai kader dari salah satu badan otonom (banom) NU, saya sering banget bersinggungan dengan santri.
Sedikit banyak juga terpengaruh dengan budaya santri yang sopan santunnya begitu tinggi kepada kiai. Bodo amat soal sopan santun, kata Rocky Gerung “sopan santun itu bahasa tubuh, argumentasi tidak butuh sopan santun, kalau kritik ya kritik aja, kritik tidak butuh sopan santun dalam konteks pendidikan.”
Berikut kritik tanpa solusi dari saya, kader muda Nahdlatul Ulama.
Popularitas ajaran NU adalah kunci
Kader NU barangkali harus belajar dari Jepang, Thailand, dan Korea Selatan. Budaya ketiga negara ini begitu mudah masuk ke Indonesia, lewat ramen, thai tea, K-Pop atau drakor. Kok kita tidak terkoyak-koyak rasa nasionalismenya saat gerai makanan dan budaya pop mereka ‘menjajah’ orang-orang Indonesia.
Anehnya, kita seakan-akan menerima produk budaya luar ini dengan bangga dan penuh percaya diri. Lalu, apa kunci Jepang, Thailand, dan Korea kok mudah sekali memasukkan produk dan budayanya ke Indonesia. Ya sudah jelas, karena produk dan budaya mereka populer sehingga mudah diterima anak muda di Indonesia.
Kartun Doraemon jadi senjata Jepang untuk memperkenalkan ramen kepada dunia, tak terkecuali Indonesia. Dulu, saat kecil, tiap pagi, muda mudi Indonesia dijejali kartun Doraemon lewat televisi, termasuk saya. Adegan Doraemon yang menandaskan ramen masih tertancap kelezatannya dalam benak saya. Karena popularitas yang teramat subhanallah, generasi muda kita mudah saja menerima ramen.
NU sebagai ormas yang punya 95 juta anggota (2021), sudah seharusnya bisa memopulerkan ajaran Aswaja kepada khalayak umum. Wacana alternatif yang digagas ulama NU menanggapi problematika modern sudah seharusnya menjadi wacana publik yang populer dan banyak diperbincangkan.
Sayangnya, gagasan futuristik nan visioner NU hanya dapat diakses oleh mereka yang tergabung dalam jamiyyah atau mereka yang punya privilige dalam kehidupan berbangsa dan ber-NU. Bayangkan, gagasan ciamik Ketua Umum PBNU Gus Yahya Cholil Staquf tentang paradigma menanggapi perubahan tatanan politik internasional jadi bahan diskusi bapak-bapak di pos ronda, wangun banget to bos!
Lha terus, caranya biar populer gimana? Ya jangan tanya saya, wong ini cuma kritik!
Agama, agama, dan selalu agama!
“Disadari atau tidak, diakui atau tidak, orang NU di berbagai tingkatan, baik pengurus maupun warga, lebih membangun pola pikir dan mengembangkan wawasan yang condong pada masalah keagamaan,” kata Gus Yahya dalam buku karyanya Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Ini adalah fakta pahit yang harus kita afirmasi sebagai Nahdliyyin. Kader NU kurang menaruh perhatian terhadap isu sosial, budaya, ekonomi, dan politik, apalagi perkembangan teknologi. Kecenderungan kader NU dengan pola pikir keagaaman menjadikan perdebatan berhenti pada ego sektarian belaka.
Buktinya, perdebatan tentang bidah jauh lebih banyak ketimbang perdebatan tentang kesenjangan sosial dalam masyarakat. Agenda rutin beberapa banom NU yang ada di daerah juga condong dalam giat ke-agama-an: yasinan, sholawatan, ngaji rutin, dan lain-lain. Bukan berarti tidak baik, giat keagamaan memang harus dilakukan, tapi, isu isu sosial kemasyarakatan seperti eksploitasi ekologi, resesi ekonomi dan bangsa yang korupsi, harusnya juga diperbincangkan dong. Katanya khidmah NU berdimensi ganda antara keagamaan dan kemasyarakatan.
Baca halaman selanjutnya….
Ngurus kartu anggota yang nggak sat-set
Ngurus kartu anggota yang nggak sat-set
Mau sampai kapan jadi anggota NU tergantung pada perasaan masing-masing kader. Dengan jumlah kader yang jutaan, sistem keanggotaan terdaftar adalah tantangan administrasi internal NU yang paling berat. Pembaca yang mengaku NU, mayoritas pasti belum punya kartu tanda anggota.
Ini tugas internal NU yang harusnya rampung dalam hitungan hari. Kemajuan teknologi yang serba sat-set wat-wet sepertinya tidak dimanfaatkan secara optimal. Kalau ngurusi administrasi anggota aja masih kaya gini, yakin siap mewujudkan perdamaian dunia?
Banyak pekerjaan internal NU yang harus diperbaiki. Bidang kesehatan, misalnya. Upaya pendirian rumah sakit memang sudah masif dilakukan, tapi perkembangannya masih tampak biasa-biasa saja.
Bidang pendidikan, jumlah lembaga pendidikan perguruan tinggi NU bisa dibilang lumayan banyak di berbagai daerah, tapi, kualitasnya jelas jauh tertinggal dibanding saudara tua yang sudah world class university.
Bidang ekonomi, tampaknya, gairah untuk menggagas kebangkitan ekonomi masih belum tampak lagi. Mau sampai kapan lelucon shohibul proposal dipertahankan?
Menjamiyyahkan Jemaah adalah slogan dimana komunitas akar rumput yang kuat eksistensinya ditransformasikan jadi sebuah organisasi yang solid. Digaungkan bertahun-tahun tapi hasilnya bikin nangis, ngga terwujud jadi kenyataan.
Narasi yang berkembang pasti menyalahkan keterampilan administrasi yang buruk atau bahkan menjadikan budaya pesantren sebagai pelaku utama ketidakteraturan akar rumput. Ah, memang sulit, lha wong anggota saja tidak terdaftar secara baik.
Kader yang nggak tahu mau apa
AD/ART dan program hasil muktamar hanyalah rumusan dan barangkali abadi menjadi rumusan. Ibarat jadi anak Pramuka tapi tidak mengamalkan Dasa Dharma, wah ya malu sama pembina dan bribikan satu gudep bos.
Memasuki 100 tahun NU, saya melihat dalam tubuh NU, belum muncul tindakan revolusioner yang mampu mengubah pandangan publik terhadap NU. Organisasi ini tampak dan hanya relevan sebagai “si paling toleran, si paling moderat, si paling pancasila.” Dampaknya, donatur memberi sumbangsih hanya karena satu visi.
Saya tergabung dengan beberapa banom NU. Materi yang saya terima dalam pelatihan kader sangatlah fundamental. Metode ajarnya sama persis dengan cara mendidik anak SD tentang arti lambang Pancasila. Saya dipaksa untuk paham apa itu Aswaja, wawasan kebangsaan, sejarah NU, kepemimpinan, dan lain-lain.
Keluar dari ruang kelas, dada rasanya sesak penuh dengan ambisi dan wacana ideal tentang organisasi. Namun, tidak tahu apa yang harus dikerjakan, ndlogok tenan!
Titik ideal dalam organisasi memang mustahil untuk didapatkan, tapi akan selalu ada upaya untuk mencapainya.
Selamat 100 tahun NU-ku, konsisten merawat jagad di usia satu abad untuk membangun peradaban ya. Muaach!
Penulis: Geza Bayu Santoso
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Dikira Bisa Ngusir Demit Hanya Gara-gara Dikenal sebagai Orang NU: Emang Kami Ormas Dukun? dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.