MOJOK.CO – Saat ini, Marlboro adalah salah satu merek yang dominan dan dikenal luas. Sementara itu, rokok lokal berusaha menandingi dengan berbagai strategi.
Di balik asap dan aroma tembakau yang khas, ada dinamika ekonomi dan budaya yang kompleks dalam industri rokok. Di Indonesia, industri tembakau adalah salah satu sektor ekonomi terbesar. Industri ini memberikan kontribusi signifikan terhadap cukai nasional dan APBN.
Dalam pasar tembakau yang menggiurkan, Marlboro mengukuhkan posisi sebagai merek dominan yang dikenal luas. Baik dari aspek ekonomi maupun budaya. Marlboro menjadi ikon budaya berkat strategi pemasaran yang kuat.
Sempat menyandang citra “rokok perempuan”
Marlboro berada di bawah naungan Philip Morris, yang berdiri sejak 1847 sebagai perusahaan keluarga dengan spesialisasi rokok gulung. Pada 1924, Marlboro diluncurkan sebagai “rokok perempuan” dengan kampanye Mild as May.
Kampanye ini hendak mengkonstruksi citra rokok yang elegan, melalui model perempuan modis. Iklan menyoroti Ivory Tips untuk melindungi bibir, memberikan rasa nyaman bagi perempuan yang khawatir lipstiknya menempel pada rokok.
Strategi ini berhasil memutarbalikkan prasangka terhadap perokok perempuan dan menjadikan Marlboro rokok favorit para perempuan. Namun sayang, karena imbas Perang Dunia II, penjualan rokok untuk perempuan menurun.
Pada 1954, perusahaan melakukan rebranding dan merambah ke rokok filter: Marlboro Man. Rokok ini memiliki aroma dan rasa yang lebih kuat, dianggap cocok untuk pria. Iklan menampilkan model pria koboi, menonjolkan citra maskulin, gagah, dan dekat dengan petualangan. Ini sesuai dengan citra yang ingin dibangun Philip Morris sebagai perusahaan yang gagah dan ambisius.
Identitas visual yang sangat kuat
Marlboro menggunakan kotak flip-top berwarna merah dan putih yang khas dengan Logo perusahaan Philip Morris yang dihiasi mahkota dan 2 kuda. Logo dilengkapi jargon Veni Vidi Vici, bermakna “Saya datang, saya lihat, saya taklukkan”. Slogan ini mengacu pada kemenangan Julius Caesar.
Kombinasi warna, logo, dan jargon ini menjadi identitas visual yang kuat, memudahkan orang mengenali merek Marlboro di mana saja. Istilah Latin ini merujuk pada tulisan Kaisar Romawi, Julius Caesar, kepada Senat Romawi setelah memenangi pertempuran Zela.
Istilah itu menggambarkan kemenangan sejak kali pertama menjejakkan kaki dalam suatu wilayah. Kombinasi warna, logo, dan jargon menjadi identitas visual yang kuat, memudahkan orang mengenali merek Marlboro.
Geliat Marlboro di industri rokok Indonesia
Sebagai raksasa industri tembakau global, Philip Morris memperluas ambisi ke pasar lokal. Di Indonesia, perusahaan ini awalnya bekerja sama dengan Bentoel Group. Namun, sejak 2005, mereka mengakuisisi HM Sampoerna, salah satu produsen rokok terbesar yang penjualannya mencapai puluhan triliun pada 2004.
Terlepas dari kontroversi dampak rokok terhadap kesehatan, Philip Morris memanfaatkan kekuatan kapital dan strategi pemasaran untuk menanamkan nilai-nilai maskulinitas, petualangan, dan kebebasan ke dalam kesadaran masyarakat Indonesia. Marlboro Man tidak hanya menjual rokok, tetapi juga gaya hidup maskulin yang penuh petualangan, yang menjadi bagian dari budaya populer.
Industri rokok menciptakan hegemoni untuk mempertahankan status quo dan pengaruhnya di pasar tembakau. Menurut Gramsci, hegemoni tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan direncanakan melalui kepemimpinan intelektual dan moral, serta ditanamkan secara berkelanjutan melalui metode persuasif.
Kelas dominan menyisipkan pandangan dan nilai mereka ke dalam kesadaran kolektif masyarakat, dianggap alami dan tidak terbantahkan. Hegemoni ini tidak bersifat paksaan, tetapi menciptakan kondisi di mana masyarakat secara sukarela menerima nilai-nilai kelompok dominan sebagai norma.
Dalam kasus Marlboro, hegemoni ditanamkan melalui citra dalam iklan, CSR, serta menjadi sponsor dalam berbagai event. Misalnya acara olahraga, musik, dan hiburan.
Strategi rokok lokal
Kesuksesan dan popularitas Marlboro dalam mendominasi pasar rokok di Indonesia memicu munculnya pesaing lokal dengan desain serupa. Mengingat harga sebungkus Marlboro yang mahal bagi segelintir orang, produsen lokal melihat celah ini sebagai peluang untuk mengintervensi pengaruh Marlboro.
Mereka menawarkan produk dengan harga lebih terjangkau. Sembari mereka sambil tetap mempertahankan (dan hanya sedikit mengubah) daya tarik visual Marlboro yang sudah dikenal luas.
Fenomena ini boleh jadi memperlihatkan resistensi terhadap hegemoni Marlboro sebagai merek global. Pesaing lokal bersaing tidak hanya dalam aspek ekonomi, tetapi juga dalam ranah budaya, berusaha merebut pangsa pasar dengan mengadaptasi elemen populer.
Merek-merek rokok seperti Metalika Jaya, Maduroso, Malioboro, Madona, dan Marsal memiliki kesamaan visual dengan Marlboro. Mereka menggunakan warna merah dan putih yang menjadi ciri khasnya.
Logo yang menggambarkan kultur Amerikana, seperti elemen koboi atau kuda turut digunakan. Sementara itu, sementara Malioboro menggunakan angka 50 dan bola dunia, dengan ornamen serupa kubah masjid menggantikan segitiga rokok Marlboro.
Berbeda dengan Marlboro yang mudah ditemukan di minimarket, rokok tandingan sulit dijumpai di pasar arus utama. Pemasaran mereka cenderung sembunyi-sembunyi, tanpa iklan masif, untuk menghindari sorotan publik.
Hegemoni Marlboro yang sulit ditandingi
Oleh karena itu, data tentang merek tandingan sulit didapatkan. Menurut wawancara dengan beberapa orang, rokok ini biasanya hanya tersedia di toko daring atau warung kecil. Produsen menggunakan strategi kreatif untuk menghindari peraturan cukai pajak, sehingga dapat menjual rokok dengan harga terjangkau, sekitar belasan ribu rupiah.
Hegemoni industri rokok seperti Marlboro telah meresap ke dalam kesadaran kolektif masyarakat Indonesia melalui iklan, logo, dan CSR. Di tengah pengaruh masif Marlboro, rokok tandingan muncul untuk menggoyahkan dominasi global Philip Morris, meskipun masih berskala kecil.
Merek-merek lokal menawarkan pilihan lebih terjangkau tanpa menghilangkan daya tarik visual Marlboro. Fenomena ini menciptakan pertarungan antara dominasi global Marlboro dan upaya lokal rokok tandingan, membentuk dinamika budaya dalam industri tembakau di Indonesia.
Penulis: Regina N. Helnaz
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Rokok Country Merah: Rokok Alternatif untuk Pencinta Marlboro Merah dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.