Sri Sultan Mampu Redam Konflik Pemaksaan Jilbab Secara Taktis, Bukti Jogja (Mungkin) Masih Istimewa

Sri Sultan sendiri berhasil meredam konflik ini dengan taktis. Kita patut mengapresiasi aksi ini mengingat konflik yang awalnya vertikal (guru-murid), tidak berkembang lebih jauh menjadi konflik horizontal warga Jogja beserta ideologinya.

Sri Sultan Mampu Redam Konflik Pemaksaan Jilbab Secara Taktis, Bukti Jogja (Mungkin) Masih Istimewa MOJOK.CO

Ilustrasi Sri Sultan Mampu Redam Konflik Pemaksaan Jilbab Secara Taktis, Bukti Jogja (Mungkin) Masih Istimewa. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COSri Sultan berhasil meredam konflik pemaksaan pemakaian jilbab dengan sangat taktis, sebelum masalah berkembang jadi konflik horizontal warga Jogja.

Jogja, kota pelajar. Namun, pelajarnya sedang tidak baik-baik saja. Belakangan ini pelajar Jogja menghadapi problematika, yakni isu pemaksaan memakai jilbab sebagai seragam sekolah kepada siswi beragama Islam di SMA. Isu dipicu dari kasus salah satu siswi di Bantul, untuk kemudian menjadi pemicu terbukanya beberapa kasus serupa di beberapa SMA di Jogja. Isu ini tentu saja mengoyak citra warga Jogja, yang sudah terlanjur terbebani predikat kota pelajar, kota istimewa, kota budaya.

Kabar terakhir, Sri Sultan menonaktifkan kepala sekolah dan tiga guru yang terlibat isu tersebut. Selain itu, Pemda Jogja sudah memindahkan siswi yang menjadi korban pemaksaan jilbab ke sekolah negeri yang lain.

Tentu saja pro dan kontra tetap ada. Agamawan, budayawan, beradu reaksi dengan pakar pendidikan beserta warga. Menarik untuk melihat isu ini dari sudut pandang bagaimana warga Jogja berupaya menyelesaikannya. Sri Sultan sendiri berhasil merespons isu agama-budaya yang niscaya sangat sensitif ini dengan cepat.

Sri Sultan bergerak secara taktis

Dalam tulisan opini pribadi ini, kita tidak akan membicarakan tentang tata cara beragama atau tentang aturan pendidikan. Sungguh, bukan ke arah itu. Pembicaraan akan mengarah pada bagaimana institusi tertinggi di Jogja, gubernur sekaligus raja, Sri Sultan, menjalankan peran sebagai penyelesai masalah tersebut. Kita hanya akan fokus pada masalah itu. Tidak pula melebar membicarakan problematika lain di Jogja seperti UMR rendah, klithih, tawuran antar-suku, ricuh suporter, dan lainnya.

Sri Sultan sendiri berhasil meredam konflik ini dengan taktis. Kita patut mengapresiasi aksi ini mengingat konflik yang awalnya vertikal (guru-murid), tidak berkembang lebih jauh menjadi konflik horizontal warga Jogja beserta ideologinya.

Isu agama, kita sama-sama tahu dan sama-sama mengalami dukanya, telah menjadi petaka bagi masyarakat Indonesia. Kira-kira satu dekade belakangan ini, ada saja “kelompok” yang menggoreng konflik menjadi sajian renyah untuk memporak-porandakan bangsa ini. Tindakan Sri Sultan yang dengan tangkas segera meredam isu agama di Jogja ini, patut diapresiasi sebagai pencegah konflik ideologi.

Dalam hal ini, kuasa keraton yang tidak terbatas di Jogja, mampu menetralkan gejolak konflik sebelum menjadi pertarungan sengit antara agama versus budaya. Institusi pendidikan terkait isu jilbab ini, de facto dan de jure berada di bawah Sri Sultan sebagai Gubernur Jogja. 

Kebijakan gubernur secara mutlak mampu mengendalikan peraturan sekolah dan pendidikan di Jogja. Gubernur Jogja juga sudah menata ulang peraturan jilbab dan beres secara administratif. Lalu, bagaimana dengan moral dan ideologi orang (atau kelompok) pembuat aturan? Yang awalnya ngotot memasukkan ideologi agamanya kepada muridnya? 

4 ideologi besar warga Jogja

Sekali lagi, Sri Sultan menjalankan peran dengan jitu sebagai benteng tertinggi urusan budaya dan agama di Jogja. Secara struktur kepegawaian, mereka-mereka itu jelas harus tunduk pada keputusan tertinggi gubernur. Secara moral dan sosial, mereka juga tidak kuasa untuk menghadapi reaksi warga Jogja yang dalam hal ini tidak menginginkan kotanya dinodai konflik agama. Ideologi agama dalam kasus ini gagal untuk mendominasi ideologi budaya (tradisionalisme) yang masih sangat kuat di Jogja. Keputusan Sultan dalam hal ini melegitimasi keunggulan kaum pro “budaya” Jogja.

Jika kita membaca Jogja secara lebih dalam, ada hal yang unik dan barangkali memang layak disebut istimewa dalam hubungan sosial masyarakatnya. Terutama bagaimana Jogja menyikapi isu agama dan ideologi. Jika secara sederhana mau dibandingkan dengan daerah lain, isu ideologi di Jogja relatif lebih landai. Tentu saja tetap ada, namun percikan konflik ideologi yang terjadi tidak seruncing kota-kota lain.

Menyepakati pemikiran Aprinus Salam, salah seorang pakar ilmu kemanusiaan, dikatakan bahwa setidaknya ada empat ideologi besar di Jogja; tradisionalisme (budaya Jawa), keagamaan, nasionalisme, dan modernisme. Keempat ideologi tersebut hidup dan lestari dan menempatkan posisi di arena kontestasi wacana di kota yang sangat kosmopolit ini.

Lenturnya perpindahan ideologi warga Jogja

Warga Jogja sendiri adalah jenis manusia yang cair dan lentur untuk menyelesaikan konflik. Mereka mampu melenturkan diri, berpindah-pindah di antara ideologi dalam kehidupan sehari-hari.

Misalnya kasus jilbab ini, warga yang menganut modernisme dan nasionalisme bisa saja tiba-tiba berubah tradisionalis, alih-alih membela ideologi keagamaan. Aksi cepat Sri Sultan untuk meredam konflik jilbab ini juga menjadi bukti keluwesan itu. 

Begitu juga sebaliknya dalam berbagai ruang dan waktu kehidupan sehari-hari. Misalnya lagi, dalam penentuan waktu puasa dan lebaran, warga Jogja religius menganut mazhab tertentu, terkadang memilih menjadi nasionalis dan modernis, dan seolah tidak begitu mempermasalahkannya. Sehingga polemik kalender keagamaan tersebut relatif tidak begitu meruncing di kampung-kampung dan desa-desa di wilayah Jogja.

Keluwesan dan kecairan warga Jogja, yang relatif tidak begitu fanatik terhadap salah satu ideologi, mempunyai fungsi penting dalam menjaga keharmonisan kontestasi wacana ideologi-ideologi tersebut, sehingga dominasi dan hegemoni salah satu ideologi tidak kentara dan cenderung bias. Jarang ada ideologi yang lebih menonjol dalam dinamika masyarakatnya. Semuanya relatif berdiri sejajar dan harmonis. 

Sri Sultan sendiri mampu hadir untuk memecahkan dan menetralisir konflik yang terjadi. Sebagai Gubernur Jogja, beliau juga mampu menata kembali keseimbangan dan keharmonisan antar-ideologi yang hidup di tengah masyarakat. Bagi sebagian besar warga Jogja, Sri Sultan adalah kunci menyelesaikan konflik seperti ini.

Posisi kuat keraton dan Sri Sultan

Di sinilah juga kadang terlihat keunikan warga Jogja di tengah zaman yang sangat modern ini. Masyarakatnya masih memandang keraton sebagai pusat segalanya. Dalam beberapa peristiwa keraton masih memiliki daya pikat dan wibawa, yang membuat warga takjub, takut, tunduk, dan terkadang memang memasrahkan keraton sebagai puncak pengambil keputusan permasalahan sosial. Jika Raja telah menitahkan perintah, berarti itu sudah keputusan istimewa. Hal itu bukan saja berarti perda atau fatwa. Bagi warga Jogja itu adalah sabda.

Posisi keraton dan Sri Sultan yang masih sangat kuat di Jogja, yang terkadang saking kuatnya dapat berdiri netral tanpa terpengaruh ideologi-ideologi yang ada, mampu menjadi penyeimbang dalam kontestasi ideologi tersebut. Posisi gubernur sebagai kepala daerah yang juga relatif netral dari ideologi partai politik misalnya, memungkinkan juga untuk memosisikan diri di tengah kemelut sebagai pengurai masalah, dan karena netralitas politiknya tersebut, warga juga tidak melihat adanya agenda atau tunggangan politik di balik setiap keputusannya. Dalam kasus jilbab ini, pernyataan gubernur dipandang bukan sebagai sikap politik, namun lebih ke sikap dan jalan kebudayaan. 

Sisi “istimewa” Jogja sebagai daerah non-demokratis dan tanpa pilgub memang menggelitik. Kepentingan politik jadi tidak bisa membonceng beberapa keputusan kepala daerah begitu saja. Warga juga jadi tidak perlu menaruh curiga terkait agenda parpol pendukung dalam setiap sikap Sri Sultan sebagai gubernur. Misalnya, kelenturan warga dalam meredam kasus pemaksaan jilbab dan dilegitimasi oleh sikap “budaya” pemimpin daerahnya. 

Coba bayangkan jika isu seperti ini terjadi di provinsi lain, DKI Jakarta misalnya, apalagi menjelang tahun politik seperti ini. Bukankah kita sudah sama-sama lelah makan gorengan agama dan politik?

BACA JUGA Asyiknya Menjadi Intoleran dan Membakar Rumah Ibadah Orang Lain dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Paksi Raras Alit

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version