MOJOK.CO – Banyak pihak yang marah saat Mahfud MD sebut ada provinsi garis keras di Indonesia. Lalu masalah hoax di Jawa Tengah soal isu kebangkitan PKI dilupakan.
Saya bukan cebong. Jangankan mencebong, mendukung Jokowi dengan “ringan” pun saya tidak.
Kalau boleh jujur, saat pilpres kemarin, dengan suka hati saya mencoblos kedua kandidat karena saya kasihan dengan keduanya. Daripada menimbulkan iri dengki ketika salah satunya kalah, mendingan saya pilih semuanya kan?
Dan secara umum, ketika melihat cebong dan kampret berantem, saya sih santai-santai saja. Tapi belakangan ini, saya kok jadi gemes sendiri ya? Permulaannya adalah Mahfud MD yang menyatakan bahwa provinsi yang memilih capres dan cawapres 02 adalah provinsi garis keras. Beberapa provinsi yang disebut adalah Jawa Barat, Aceh, hingga Sumatera Barat.
Pernyataan itu bak bola panas bergulir ke mana-mana. Di dunia maya, pernyataan ini menjadi topik terhangat di kalangan netizen melek politik. Dan setelahnya, pernyataan ini bahkan sampai dibahas di sebuah program televisi dan ditonton seantero negeri.
Melihat topik ini begitu panas sampai dibahas di TV dengan Mahfud MD menjelaskan pernyataannya secara langsung, saya sampai terkesima.
Begini, sejujurnya, saya merasa apa yang diungkapkan Mahfud MD memang beresiko. Cuma yang membuat saya heran adalah bagaimana topik ini bisa diungkit sedemikian besar sedangkan yang lebih parah tidak.
Saya bandingkan kasus ini dengan kasus saat Jawa Tengah dikaitkan dengan PKI secara langsung ataupun tidak langsung (dengan konotasi negatif) baik di kalangan politisi atau pendukung politisi.
Dan menurut pengamatan saya, rasanya kasus Jawa Tengah punya gaung yang terlampau kecil disbanding isu “provinsi garis keras” yang dilempar Mahfud MD. Malah gaungnya di masyarakat saat itu bukan soal Jawa Tengah yang “dimarjinalisasi”, tapi soal kekhawatiran yang makin liar soal hantu PKI. Artinya, perasaan orang Jawa Tengah yang dilabel demikian tak pernah jadi pusat bahasan.
Saya masih inget banget kok, saat itu banner yang isinya imbauan akan bahaya laten PKI bertengger di mana-mana. Bahkan, saya yang tinggal di pedesaan pun bisa menikmati banner itu terpasang di jalanan yang kanan kirinya adalah sawah yang lebih banyak serangganya ketimbang manusianya.
Tak bisa dipungkiri, beberapa tahun lalu, sejak Jokowi menjabat, isu bahaya laten kebangkitan PKI memang menyeruak luar biasa. Dan tak jarang, isu itu dikaitkan dengan Jawa Tengah. Pelakunya bahkan kadang lintas kubu.
Sedih banget, kan? Kasihan sekali kawan-kawan Jawa Tengah kita itu. Tapi secara umum, isu itu lebih sering dipakai untuk menyerang petahana yang asalnya kebetulan dari Jawa Tengah.
Bahkan saking ajaibnya, sampai ada yang minta mantan Walikota Solo itu tes DNA untuk membuktikan dirinya PKI atau bukan. Dikiranya, DNA orang keturunan PKI itu bentuknya palu arit apa yak? Astagfirullah (secara literal, mata saya muter-muter disko ketika baca hal itu pertama kali).
Gini lho, kalau PKI pernah besar di Jawa Tengah, itu memang fakta sejarah. Sama faktanya dengan DI/TII di Jawa Barat dan juga GAM di Aceh. Itu fakta. Bukan positif, tapi juga tak negatif. Orang yang mengabaikan fakta sejarah ini adalah orang yang patut ditertawakan.
Tapi fakta bisa diberi predikat dan atau ditaruh dalam konteks dan sinyal-sinyal negatif. Dan fakta, ketika sudah diberi sematan-sematan negatif, maka ia tak lagi hanya berfungsi sebagai fakta. Ia juga bisa digunakan untuk mempropagandakan sesuatu.
Contoh, mengatakan “perempuan itu pakai cadar” adalah hal yang netral-netral saja. Tapi mengatakan “perempuan itu pakai cadar” sambil bibirnya dimiring-miringin, matanya disipitin, dan tangannya bersedekap jengkel, jelas tak lagi netral. Orang yang mengatakannya mungkin sedang memberi pesan negatif ketika mengucapkan kalimat itu.
Makanya, mengaitkan Jawa Tengah dan orangnya dengan PKI jelas sangat beresiko. Sebab, PKI itu bukan sekedar P, K, dan I.
PKI bukan lagi sekadar Partai Komunis Indonesia yang hanya salah satu partai di masa lalu. PKI dalam alam pikiran orang Indonesia secara umum adalah istilah dengan konotasi yang sangat negatif dan membuat orang yang terkait dengannya bahkan “pantas dibasmi.”
Nah, kalau dipikir-pikir, orang Jawa Tengah itu sakitnya bisa jadi berkali lipat atas labeling ini.
Pertama, ada yang menyebut provinsinya basis PKI sampai hari ini. Kedua, banyak yang menuduh putra daerahnya, yakni Jokowi, sebagai PKI. Ketiga, partai yang mengakar di sana pun sering dituduh secara asal sebagai PKI. Dan keempat, pelakunya kadangkala adalah lintas kubu (meski isu itu lebih banyak merugikan petahana).
Tapi uniknya, saya lihat mereka tak begitu reaktif seperti reaksi yang diterima Mahfud MD. Ada kejengkelan memang, tapi tak berlarut-larut. Sebagai orang Jogja yang budayanya sama dengan Jawa Tengah versi mataraman, saya sih menduga mereka aslinya mangkel alias jengkel. Tapi memang sudah adat untuk tidak menunjukkan kejengkelannya serta merta.
Mereka memilih cara tersendiri untuk menunjukkannya, yaitu dengan tidak percaya pada gelontoran isu-isu PKI. Dan mereka juga justru jadi resisten pada hoax PKI yang disematkan ke mereka yang memilih Jokowi.
Bahkan, bisa jadi mereka simpatik dan merasa senasib sepenanggungan dengan petahana yang sama-sama dimarjinalisasi dengan sebutan PKI, anti islam, dan sejenisnya. Lalu—terlepas soal status provinsi “kandang banteng”—77% orang Jawa Tengah tetap memilih Jokowi meski dituduh ini itu.
Mungkin nih, kalian para politisi dan pendukung politisi perlu belajar sebelum melempar isu PKI dan sejenisnya yang sangat murahan itu.
Di Jawa Tengah sana yang merupakan salah satu provinsi terbesar di Indonesia, rakyatnya terbukti tidak mempan dengan isu PKI dan bisa jadi justru ilfeel dengan politisi yang memakai isu politik identitas sejenis.
Kalian juga perlu belajar soal karakter orang Jawa Tengah yang mangkelnya diam-diam tapi mematikan. Jadi kalian akan susah ngerti kalau mereka lagi jengkel. Itu kalau kalian tertarik menang di sana ya? Kalau tidak sih silakan abaikan saran ini dan teruslah mem-PKI-kan orang secara asal.
Balik lagi soal provinsi garis keras, pada akhirnya saya merasa wajar dan maklum ketika teman-teman dari provinsi yang disebut dengan label itu menjadi kesal. Tapi untuk teman-teman kampret (ini untuk kampret ya bukan kalian dari Jabar, Sumbar, dan sejenisnya), kalian juga perlu berlaku adil.
Kalian juga sama lucunya kok dengan cebong. Masih ingat kan dengan kasus “Tampang Boyolali” di mana orang Boyolali yang protes malah disebut PKI segala?
Jadi kalau ingin menegakkan keadilan dan “akal sehat”, saya persilakan untuk sama-sama menuding kubunya sendiri, selain saling tuding satu sama lain. Karena keadilan dan akal sehat itu sejatinya lintas kubu.
Dan sebagaimana kalian marah ke Mahfud MD yang menyebut “provinsi garis keras”, saya yakin kawan-kawan yang marah juga harus berlaku adil terhadap tuduhan PKI tak berdasar ke orang-orang Jawa Tengah, khususnya mereka yang memang tak memilih 02.