[MOJOK.CO] “Wilayah kekuasaan Bu Susi itu bukan cuma pantai selatan, tapi 2/3 wilayah Indonesia.”
Setiap ada isu reshuffle kabinet Jokowi, hampir selalu ada demo menuntut pengunduran Susi Pudjiastuti. Seperti template baku adanya aroma politisasi yang sangat kental. Begitu reshuffle diumumkan, tidak pernah ada nama perempuan tersebut sebagai sosok menteri yang digantikan. Artinya apa? Kesaktian Ibu Susi sepertinya memang mulai jauh mengungguli mitos yang selama ini hidup, Kanjeng Ratu Kidul. Makhluk astral yang dipercaya banyak nelayan menjaga laut selatan Pulau Jawa.
Dilihat dari ‘cakupan wilayah kekuasaan’ pun Ibu Susi unggul jauh. Bayangkan, dia berdiri kokoh mengawal 2/3 wilayah Indonesia. Sementara Kanjeng Ratu Kidul hanya nyempil, seperti ngontrak di pantai selatan. Ya, kadang-kadang saja jalan ke pantura. Kalau sudah seperti itu, harapan nelayan cantrang untuk tidak lagi khawatir ketika melaut terpaksa dipendam lagi.
Walaupun dalam beberapa hari ini Ibu Susi seperti terpukul mundur karena kengototannya dipaksa untuk mengendur, tapi jejak betapa urat takutnya yang sudah putus bertebaran di banyak pernyataan yang dikutip media.
Sesekali komentar pedasnya seperti pisau cukur yang hendak menyasar koleganya yang berkumis, kau-tau-siapa, orang yang pernah menghendaki investasi asing diijinkan masuk (lagi) ke laut Indonesia.
“Menangkap ikan itu urusannya orang Indonesia. Masak nangkap ikan saja kita mesti nyuruh asing?”
Bagi sementara nelayan, dia tetaplah mempunyai cacat bawaan. Maksud baiknya tidak kunjung dipahami nelayan.
Mengapa dia tidak mau berkompromi soal penggunaan alat tangkap, seperti idola mereka jauh sebelum ini, Kanjeng Ratu Kidul? Apa kamu pernah mendengar Kanjeng Ratu Kidul melarang penggunaan cantrang, yang sangat mungkin jaringnya mengenai prajuritnya yang tengah patroli? Tidak kan?
Ngomong-ngomong, secara komersil nelayan terbagi menjadi dua, yakni nelayan besar dan nelayan kecil. Soal besar kecil secara komersial, ini juga terkait dengan pernyataan Ibu Susi tahun 2017 silam. Menurutnya, demonstrasi atas kebijakan pelarangan cantrang bukan dimainkan oleh para nelayan kecil. Ada 700 lebih perahu cantrang dengan kapasitas besar, hanya dimiliki oleh 48 orang saja. Dari sejumlah “nelayan besar” tersebut, sebagian besar merupakan pejabat dan pengusaha besar.
Sedangkan menurut logika para pendukung, sejak kebijakan larangan penggunaan alat tangkap tersebut diterapkan-diperpanjang-diterapkan-diperpanjang, alih-alih turun, populasi cantrang justru naik pesat. Jika di tahun 2015 hanya ada 5.781 cantrang, maka di tahun 2017 meningkat menjadi 14.357 cantrang.
Kenaikan sebesar 148% hanya dalam tempo 2 tahun begitu mencengangkan. Hanya ada 3 kemungkinan kenaikan drastis tersebut dapat terjadi; Pertama, petugas pencatatnya tidak teliti. Kedua, membanjirnya pemodal seiring dengan turunnya jumlah kapal asing. Ketiga, meroketnya daya beli nelayan.
Kemungkinan kesalahan pencatatan terlalu naif kalau dijadikan sandaran analisis. Jika melihat besarnya jumlah demonstran yang tergabung dalam aliansi penentang kebijakan tersebut, dapat dipastikan jumlah nelayan yang menggunakannya memang banyak.
Demikian juga dengan kemungkinan membaiknya kemampuan nelayan sehingga mereka mempunyai cukup uang untuk menambah armada cantrang. Untuk informasi, kenaikan Nilai Tukar Nelayan, alat ukur daya beli nelayan, di tahun 2017 sebesar 0,76%. Memang ada surplus, tapi kenaikan sebesar itu baru sekedar untuk menambah uang jajan.
Jadi, apakah sinyalemen Ibu Susi soal protes kebijakan pelarangan bukan dimainkan oleh nelayan kecil terkonfirmasi?
Ini kalau dijawab “ya” dan “tidak” seperti membawa Mojok menjalani konsekuensi dianggap corong Jokowi, media sok satir atau ah sudahlah.
Sialnya, dalam setiap hiruk pikuk seperti demonstrasi meminta legalisasi cantrang. Netizen yang tidak paham duduk perkara pun ikut turun gelanggang. Nelayan? Bukan! Lihat jaring? Belum pernah! Naik sampan? Mabuk! Makan ikan? Sebatas pecel lele. Ini yang biasanya sulit dipahamkan soal perikanan berkelanjutan.
Faktanya, nelayan di pantura memang sangat mengandalkan cantrang. Terlepas apakah kapal tersebut milik mereka sendiri, koperasi, pengusaha kecil atau bahkan pengusaha besar. Cantrang bagaimanapun juga telah mereka gunakan dalam kurun waktu yang sangat panjang.
Awalnya, cantrang yang merupakan alat alternatif pengganti pukat harimau (trawl) yang dilarang sejak tahun 1980, memang ramah lingkungan. Jaringnya tidak sepanjang, serapat, tanpa pemberat dan tanpa ditarik dengan menggunakan mesin seperti sekarang. Tapi ingat, ini Indonesia, Bung! Negeri dimana motor bebek pun dapat dipermak menjadi Harley.
Pemberangusan yang dilakukan Menteri KKP terkait maraknya pelanggaran cantrang, mulai dari modifikasi ukuran mata jaring hingga ukuran kapal, pada akhirnya membuat banyak kepala daerah menjadi sumuk, gerah dan cekot-cekot. Mereka sering ditodong para nelayan untuk menjadi kepanjangan tangan menghadapi Menteri KKP.
Gawatnya pula, pilkada serentak sudah di depan mata dan puncaknya, pemilu 2019 pun sudah tak begitu lama. Kurang panas apa coba, gelanggang politik Indonesia? Loh, emang apa hubungan cantrang dengan segala kontestasi politik itu?
Ehm, gini ya, di dalam politik, menganggap enteng suara mereka jelas kekeliruan besar. Jumlah suara rumah tangga nelayan kawasan pantura bukanlah jumlah yang sedikit. Mereka, kalau terlanjur kecewa, dapat menjadi kontributor utama kekalahan inkamben. Bayangkan kalau mereka mengatakan ke koleganya Warung Ndas Manyung di Semarang, ”Terserah sih kalau mau milih Ganjar lagi, tapi maap–maap ya, kalau tidak ada setoran ndas manyung lagi”. Ini sebuah ancaman yang mengerikan sekali.
Bakal panjang rentetannya kalau nelayan kecewa. Ini akan sedikit berbeda dengan pengabaian atas suara para petani kendeng, yang sampai saat ini terus melawan pendirian pabrik semen. Secara jumlah memang sangat jauh jika dibandingkan dengan jumlah nelayan pantura. Bisakah mereka mengatakan hal yang sama seperti nelayan pantura? Kalau yang terjadi justru Warung Ndas Manyungnya bilang, “Loh ya nggak apa-apa. Kami bisa dapat setoran beras dari Delanggu kok, Mas.”
Penundaan penerapan kebijakan pelarangan cantrang dalam jangka waktu tidak terbatas, beberapa saat setelah para nelayan menggeruduk Jakarta, seperti menjadi penanda bahwa suara nelayan masih diperebutkan. Bukan untuk kesejahteraan nelayan, bukan pula untuk perikanan berkelanjutan.
Tidak mudah menjadi Ibu Susi di hari-hari ini. Terjepit di antara “para gajah” yang berlari di udara yang penuh debu. Gubernur Ganjar yang seharusnya menjadi partner kerja dan pendukung paling militan di Jawa Tengah pun, di beberapa kesempatan minta penerapan cantrang ditunda. Di sisi lain, jadi nelayan kapal cantrang pun tidak mudah, terutama saat mengatakan bahwa cantrang tidak merusak.
Melihat sepak terjang Ibu Susi untuk menegakkan kedaulatan laut kita serta upayanya untuk membangun perikanan berkelanjutan. Kita patut menduga kalau beliau adalah Kanjeng Ratu Kidul Ver 2.0. Penguasa dari dunia ghaib yang selama ratusan tahun membuat kita dipaksa bijak dalam memanen hasil laut.
Hadeeee, ini tulisan kok lama-lama malah ngambang seperti cantrang tanpa pemberat, ya?
Eh tapi, jika akhirnya Ibu Susi seperti berjuang sendirian kayak sekarang. Ingatlah baik-baik pepatah Indian kuno cabang pantura, “Ketika pohon terakhir ditebang, ketika sungai-sungai diracuni dan ketika ikan terakhir habis ditangkap dengan cantrang, barulah manusia akan menyadari jika dia tidak dapat memakan uang.”