MOJOK.CO – Banyak pelamar kerja mengeluhkan aturan skor BI Checking sebagai syarat bekerja. Benarkah kebijakan ini memberatkan? Siapa yang diuntungkan dari kebijakan ini?
Belakangan ini, ramai betul perbincangan soal beberapa perusahaan menolak pelamar kerja karena skor BI Checking yang tidak mumpuni. Celakanya, dan yang membikin sebagian orang kaget, adalah fresh graduate sudah memiliki pinjaman dan skor BI Checking yang kurang baik. Kemudian, perusahaan yang mereka incar tentu saja tidak mau menerima.
Akhirnya, persoalan tersebut menghasilkan perbincangan liar dan melebar. Seperti misalnya:
“Lho, orang (mencari) kerja untuk memenuhi kebutuhan, termasuk melunasi utangnya. Kok ditolak karena BI Checking segala?”
Nggak sedikit juga yang ngedumel:
“Punya pinjaman, kan, urusan personal. Kok, perusahaan ikut campur?”
Ada juga yang berkomentar singkat, “Halah, ribet.”
Saat lanjut membaca komentar serupa lainnya, seperti yang sudah-sudah, hanya bisa tersenyum. Segala komentar dan asumsi yang mencuat, bagi saya, sah-sah saja. Toh, sumbernya dari ketidaktahuan, kan? Boleh jadi juga karena edukasi-informasi terkait hal tersebut belum diterima dengan baik oleh banyak kalangan, khususnya para pelamar kerja.
Tujuan dari skor BI Checking yang perlu pelamar ketahui
Begini. Sebagai pewawancara yang, mau nggak mau, suka atau nggak, patuh terhadap aturan serta kebijakan perusahaan, sedikit banyaknya saya jadi mahami alasan terkait persoalan BI Checking. Apa yang dituju oleh perusahaan dari skor BI Checking pelamar kerja dan lain sebagainya.
Sebelumnya, saya juga nggak akan menyangkal bahwa, iya, status pelamar kerja sebagai debitur adalah termasuk ranah personal. Mau melalui pinjol, bank atau badan resmi serupa, sampai pengajuan kasual ke teman tongkrongan dengan menyampaikan, “Ada 100 ribu dulu, nggak? Nanti gue ganti,” semua tetap sama. Intinya, ini adalah masalah personal. Perusahaan tidak memiliki wewenang untuk melarang (calon) karyawan untuk melakukan pinjaman. Di sisi lain, dan sulit memungkirinya, kita sulit untuk mengontrolnya.
Poin yang menjadi sorotan utama adalah, ketika skor BI Checking bersih (bisa diartikan sebagai tidak ada pinjaman sama sekali atau proses pembayaran cicilan lancar) menjadi syarat dalam melamar sampai diterima bekerja. Sebaliknya, ketika skor BI Checking buruk, langsung ditolak dan menjadi tolok ukur utama.
FYI, sebelum sampeyan megap-megap heboh sekaligus tantrum, nggak semua posisi yang dibutuhkan di suatu perusahaan menerapkan syarat BI Checking, kok. Ada perusahaan yang mencantumkan syarat tersebut untuk semua posisi yang dibutuhkan. Ada juga yang hanya untuk posisi tertentu. Bahkan, masih banyak perusahaan yang nggak menjadikannya sebagai salah satu syarat. Selain itu, perusahaan yang menerapkan syarat BI Checking, sebagian besar di antaranya yang masih berkaitan dengan perbankan atau jasa keuangan.
Baca halaman selanjutnya:
Apa, sih, tujuan dan kelemahan dari skor BI Checking?
Perusahaan ingin melihat apa, sih, dari skor BI Checking pelamar kerja?
Pertama, dalam rangka mengurangi, sekaligus menghindari ketidaknyamanan manajemen dan/atau staf direksi saat ada penagih melalui telepon atau datang langsung ke kantor. Jika kalian anggap ini termasuk hal sepele, wajar, atau punya niatan normalisasi, lebih baik urungkan pikiran tersebut. Hal ini bisa menjadi bumerang bagi karyawan. Apalagi jika penagih sudah ada di tahap meneror. Serius, ini akan sangat menyebalkan sekali dan berpotensi bikin ramai seisi kantor.
Kedua, untuk posisi tertentu yang sangat rentan dengan kerahasiaan data, apalagi masih berkaitan dengan penagihan melalui telepon atau secara langsung, hal ini akan menjadi salah satu syarat. Sederhananya, masa, sih, mau menagih cicilan, tapi karyawan belum menyelesaikan tunggakannya? Jika sampai nasabah mengetahuinya, hal ini juga bisa jadi bumerang bagi perusahaan dan pekerja itu sendiri.
Ketiga, menjawab asumsi berseliweran di media sosial yang menyatakan bahwa, “Perusahaan ingin melihat, dari pinjaman yang diajukan oleh pelamar kerja, apakah yang bersangkutan cukup bertanggung untuk membayar secara rutin sesuai perjanjian atau malah sebaliknya, cicilan yang berakhir dengan status tunggakan. Gitu aja nggak tanggung jawab, apalagi sama kerjaan. Terus, nanti kalau fraud dengan alasan mau bayar cicilan, gimana?”
Asumsi tersebut bersifat 50:50. Tergantung sudut pandang penilaian dari masing-masing perusahaan. Alias, bisa iya, bisa juga tidak. Ya, namanya juga asumsi dan/atau kekhawatiran, kan.
Kelemahan yang muncul
Bagi saya, penerapan syarat skor BI Checking pun bukan tanpa kelemahan. Apalagi jika menjadikannya sebagai syarat mutlak tanpa pertimbangan lainnya. Sederhananya, pelamar kerja potensial dan memiliki kompetensi sesuai kebutuhan bisa lepas begitu saja tanpa pertimbangan mendalam. Jika sudah demikian, apa nggak sayang budget perekrutannya, tuh, Bos?
Pertanyaan saya, jika memang skor BI Checking menjadi syarat mutlak lolos atau tidaknya pelamar kerja, buat apa HRD atau rekruter susah-payah melakukan proses screening CV, wawancara, probing, psikotes, sampai melaju ke tahapan berikutnya? Buat apa, hayo? Kalau memang demikian, sejak awal ya langsung meminta BI Checking saja. Kemudian infokan lolos atau tidaknya berdasarkan skor BI Checking-nya.
Jika memang mau mencantumkan syarat skor BI Checking pada info lowongan kerja, mungkin akan lebih baik menjadikannya bahan pertimbangan, bukan sebagai penentu hasil akhir. Agar proses seleksi karyawan tidak flat, tidak menyia-nyiakan kandidat potensial, dan budget rekrutmen bisa tepat guna.
Ada sebuah win-win solution yang bisa menjadi pilihan. Jadi, kalau memang masih ragu dengan hasil skor BI Checking kandidat yang kurang mumpuni, perusahaan bisa mendiskusikannya dengan pelamar lalu membuat kesepatakan. Misalnya, apakah memang bersedia melunasi cicilan atau tidak. Menanyakan terlebih dahulu kendalanya di mana dan seperti apa. Kamu bisa memilih opsi ini jika kandidat memang potensial dan sesuai kebutuhan perusahaan.
Terakhir, apakah bersedia jika mengakhiri kontrak seandainya ada hal-hal yang terjadi dan termasuk ke dalam kategori tidak menyenangkan. Nggak perlu memaksakan, sih, apabila memang memang memberatkan bagi salah satu pihak dan tidak terjadi kesepakatan. Yah, ketimbang nggak membikin nyaman, kan.
Penulis: Seto Wicaksono
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 5 Jenis Utang Positif yang Perlu Kalian Tahu dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI