Sepuluh “Dosa” Dosen

Sepuluh “Dosa” Dosen

Sepuluh “Dosa” Dosen

MOJOK.COMendaftar “dosa” dosen. Dari Dosen killer, dosen player, sampai Willy Dosen. Haaa nga lucu.

Seorang dosen Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta berinisial TAW (40) ditangkap polisi di Majalengka, Jawa Barat akibat menyebar hoax di media sosial Facebook. TAW diduga merupakan anggota dari Muslim Cyber Army (MCA). Pihak UII membenarkan TAW merupakan seorang dosen. Namun, statusnya sebagai dosen tidak tetap atau dosen tamu.

TAW memang dosen tidak tetap, tetapi dia tetaplah seorang dosen. TAW jelas bukan dosen luar biasa, tapi bisa dipastikan ia dosen yang biasa di luar. Ia biasa di luar kampus entah di rumah atau warung telekomunikasi (warnet), menjalankan tugas yang bukan tugas utama dosen.

Karena satu dosen, nama baik sebagian besar dosen ikut tercoreng. Dosen memang agak berbeda dengan guru. Jika guru diberi gelar sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”, dosen sering disebut sebagai “pahlawan tanpa tanda terima”. Meski kesejahteraan dosen di negeri ini makin meningkat, sebagian dosen masih mengalami “kerjanya satu dos gajinya cuma satu sen” alias beban kerja tak sebanding gajinya.

Dosen juga manusia. Seperti profesi lainnya, pada dosen pun pasti ada “The Good, The Bad and The Ugly”. Di bawah ini ada setidaknya sepuluh “dosa” dosen yang perlu diketahui para mahasiswa dan masyarakat pada umumnya.

  1. Dosen Killer

Istilah ini telah populer sejak lama. Dosen killer adalah momok bagi para mahasiswa. Dosen killer sering kali definisikan sebagai dosen yang galak, jutek, banyak memberikan tugas, pelit memberi nilai, dan beberapa hal-hal negatif lainnya. Pada umumnya dosen killer merupakan dosen senior yang sudah usia lanjut. Cara mengajar di kelas juga menggunakan metode yang dianggap kurang fair dan jadul oleh mahasiswanya.

  1. Dosen Diktator

Istilah diktator maksudnya adalah “jual diktat, beli motor”. Dosen semacam ini pada awal kuliah membawa diktat atau bahan kuliah (sekarang mungkin buku), kemudian menyarankan dengan halus agar mahasiswa membeli diktat. Mahasiswa tentu dengan terpaksa membeli diktat dari dosen diktator tadi. Jika dosen itu mengajar banyak kelas dengan jumlah mahasiswa sekitar 40 orang tiap kelas, coba kalikan saja dengan harga bahan kuliah. Namun, seiring majunya teknologi, dosen diktator makin berkurang.

  1. Dosen Baper

Kemenristek dan Dikti memang telah membuat aturan bahwa seorang dosen di perguruan tinggi minimal harus lulusan S-2. Namun, masih banyak dosen yang cara mengajarnya jadul. Dosen yang menganggap dirinya serbatahu, salah satunya. Di era kini, yang menjadi pusat prmbelajaran adalah mahasiswa. Dosen hanya semacam fasilitator. Nah, dosen jadul umumnya akan kalah pinter dari mahasiswa. Ujung-ujungnya si dosen akan terjerumus baper dan memberi nilai kepada mahasiswa secara tak rasional.

  1. Dosen Banyak Nyangkul di Luar

Apa beda antara dosen dan peneliti? Dosen itu peneliti yang mengajar, sementara peneliti itu dosen yang malas mengajar. Dosen yang baik tentu selain mengajar juga rajin meneliti. Masalahnya jika dosen lebih banyak meneliti, menjadi konsultan di sana dan sini, baik proyek pemerintah maupun swasta, sehingga jarang mengajar. Inilah yang merugikan mahasiswa. Dosen yang lebih banyak mencangkul di luar biasanya menugaskan asistennya yang belum mumpuni untuk mengajar. Mahasiswa yang kuliah sekitar 14 pertemuan akan kecewa karena hanya bertemu dengan sang dosen tak lebih dari lima pertemuan.

  1. Dosen Plagiat

Kasus plagiarisme sering kita dengar, baik di kampus negeri maupun swasta. Dosen yang ingin naik pangkat secara instan biasanya terjerumus pada dosa akademik ini. Ia tak segan mengambil hasil penelitian mahasiswa lalu diakui sebagai hasil peneliannya. Menulis di jurnal ilmiah atau media massa, namun sesungguhnya yang menulis adalah orang lain atau sering disebut ghost writer.

  1. Dosen Joki Mahasiswa Baru

Ada tiga jenis perguruan tinggi: PTS, PTN, dan UPN. PTS (Perguruan Tinggi Swasta), PTN (Perguruan Tinggi Negeri), dan UPN (Universitas Paling Negeri). Tiap tahun jurusan yang dianggap favorit jumlah antara yang mendaftar dan yang diterima sangat tak sebanding. Di situlah muncul niat melakukan kejahatan akademik. Dosen bisa terjerumus menjadi joki untuk mahasiswa baru. Si dosen tujuannya mendapat uang si calon mahasiswa ingin diterima di jurusan favorit. Ini tindakan kriminal. Namun, selalu saja niat busuk itu terbongkar.

  1. Dosen Mafia Nilai

Tahun lalu rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dinonaktifkan oleh Menristek dan Dikti karena melakukan pelanggaran akademik yang cukup fatal. Salah satunya adalah pemberian nilai kepada mahasiswa yang tak sesuai aturan. Mahasiswa yang hanya mengikuti beberapa kali kuliah bisa ikut ujian dan lulus. Belum lagi karya tulis akhir sang mahasiswa diduga mengandung plagiarisme. Rektor UNJ mendapat sanksi karena hal itu terjadi secara sistematis dan berlangsung sudah cukup lama. Nah dosen yang pelit memberi nilai dengan maksud mendapat imbalan tertentu dari mahasiswa (dengan japri) masih ada di kampus-kampus kita. Imbalan tentu saja macam-macam, bisa money, bisa juga body.

  1. Dosen Genit

Di setiap kampus tentu ada dosen yang genit. Mungkin masa remajanya atau masa nakalnya belum habis. Dosen jenis ini, baik masih bujangan atau sudah berkeluarga, mempunyai kecenderungan suka menggoda mahasiswa. Celakanya dosen ini kadang menggunakan “kekuasaan” yang dimilikinya untuk merayu mahasiswa. Dosen genit bisa merayu secara langsung maupun melalui telepon, SMS, atau WA. Dosen genit yang ceroboh biasanya ketahuan jejak digitalnya karena mahasiswa sering melaporkan “rayuan gombal” lengkap dengan bukti forensik ke jurusan atau dosen psikologi.

  1. Dosen Anggota Partai

Mengharapkan kampus steril dari politik sana saja mengharapkan di jalan raya tak ada pelanggaran lalu lintas. Apalagi di era multipartai saat ini, banyak dosen juga nyambi menjadi pengurus atau kader partai. Jika hal itu tak mengganggu saat dia mengajar tentu tak jadi masalah. Namun, tak sedikit dosen yang juga mencari konstituen di kampus. Yang parah, kadang saat di kelas sang dosen tak bisa membedakan antara dirinya yang dosen atau dirinya yang kader partai.

  1. Dosen Masuk Organisasi Radikal

Saat HTI dilarang secara resmi oleh pemerintah, ternyata banyak dosen yang terlibat. Upaya penindakan dosen yang mengarah ke gerakan “radikalisme dan terorisme” ada di tangan rektor. Rektor harus tahu setiap dosen dengan pemikiran yang kadang-kadang agak berbeda dari mainstream, pemikiran-pemikiran yang radikal itu ada di fakultas mana saja, jurusan mana saja, orangnya bisa siapa saja.

Dengan begitu, kita dapat melakukan pendekatan kepada dosen, kita dampingi, kita dalami, jangan sampai terjadi pemikiran dan tindakan radikal. Jangan sampai ada dosen yang tiba-tiba hilang tahu-tahu berada di Suriah atau dosen semacam TAW yang masuk The Family Muslim Cyber Army.

Demikianlah sepuluh “dosa” dosen yang perlu diketahui para mahasiswa dan masyarakat. Ingat kata Bang Napi, “Kejahatan (akademik) bisa terjadi karena dua hal. Karena ada niat dan kesempatan. Waspadalah.”

Exit mobile version