Seni Mengajari Anak Melawan Body Shaming di Lingkungan Pertemanan

MOJOK.CO – Body shaming pada anak bisa terjadi kapan saja. Jika anak tidak dibekali cara untuk melindungi dirinya sendiri, yang ada, justru dia merasa rendah diri.

Beberapa minggu terakhir ini saya dan suami saya, Nino, mendampingi anak kami, Ayesha (10 tahun) melawan perundungan yang dia terima di sekolahnya. Ini masalah laten sih, bukan cuma sekali ini saja dia jadi korban bullying, dan nggak cuma di sekolah yang sekarang saja.

Kami pindah dari Surabaya ke Frankfurt karena Nino mendapatkan hibah penelitian post-doctoral dari Yayasan Alexander von Humboldt. Di sini, dia bekerja sebagai peneliti institusi penelitian pendidikan di bawah Universitas Goethe. Kami senang ketika Ayesha dengan mudah diterima di Grundschule (setara Sekolah Dasar) di sini, tapi sekaligus juga cemas, apakah dia bisa diterima dengan baik oleh teman-temannya?

Perawakan Ayesha memang lebih kecil dari teman-teman sebayanya. Di Indonesia pun dia sudah paling kecil di kelas. Bisa dibayangkan kan, perbedaan fisiknya dengan anak-anak di Jerman sini. Kalau pemain sepak bolanya saja rata-rata dua meteran, ya, bisa diperkirakanlah anak SD di sini tingginya seberapa.

Suatu hari dia pulang sekolah sambil mewek. Dia cerita kalau ada temannya yang mengejeknya karena dia kecil. Reaksi pertama saya adalah ikutan mangkel. Ini kejadian byang pertama kali selama berada di sini. Haduh, udah di negara maju kok ya tetap ada beginian.

Ketika Ayesha sebut nama si tukang bully. Saya sampai kelepasan bilang, “Udah dikasih nama dengan arti bagus gitu kok kelakuannya jahat.’”

Kedengarannya wajar kan? Namun sedetik kemudian saya ingat catatan di buku The Danish Way of Parenting, yang saya terjemahkan—bagi yang belum baca, beli gih, celetukan saya tadi sudah termasuk menghakimi si pelaku bully. Ini tidak akan menyelesaikan masalah dan malah kesannya tidak apa-apa mengejek balik tukang bully. Padahal maksud saya sebenarnya hanya ingin agar Ayesha merasa lebih baik, bahwa dia sudah selalu berbuat baik, sesuai nama yang dia sandang.

Hari-hari berikutnya, saya selalu menanyakan perkembangan ‘kasus’ ini. Tapi Ayesha selalu bilang, “Nggak papa kok, nggak ada yang perlu dicemaskan.” Lalu suatu hari Ayesha pulang dengan membawa bendera Indonesia yang dibuat dari manik-manik. Ternyata M (sebut saja begitu ya) yang membuatkan bendera ini untuk Ayesha. “Kita berteman sekarang,” kata Ayesha. Saya menarik napas lega. Ah, anak-anak memang begitu, kemarin bertengkar, hari berikutnya sudah baikan.

Tapi kedamaian ini ternyata tidak berlangsung lama. Dua hari yang lalu Ayesha mewek dalam perjalanan ke sekolah. Kali ini yang dicurhatin Ayahnya. Katanya si M kumat lagi merundung, sampai Ayesha males masuk sekolah.

Nino, seperti biasanya, lebih rasional daripada saya. Setelah mendengarkan cerita Ayesha, dia menjelaskan bahwa apa yang dialami Ayesha adalah body shaming. Ini tidak hanya dialami oleh orang yang badannya kecil saja, tapi juga orang dengan bentuk badan yang lain.

Ayesha kaget, “Masak yang tubuhnya udah tinggi bisa kena body shaming juga?”

Nino menerangkan, semua yang dianggap ‘tidak normal’ bisa kena body shaming. Bisa karena terlalu pendek, terlalu tinggi, terlalu kriwil, hidung pesek, gigi tonggos, wajah penuh bintik, dan lain sebagainya.

Sesampai di rumah, saya juga cerita kalau saya dulu dirundung karena terlalu pendek dan terlalu putih. Ayesha tambah melongo, “Kok bisa?”

Nino menambahkan bahwa si perundung hanya ingin orang tersebut merasa malu pada tubuhnya. “Tapi kenapa?” tanya Ayesha. “Kok bisa, orang jadi jahat kayak gitu?” tambahnya.

Kemudian Ayesha menebak sendiri, “Mungkin di rumah, anak ini selalu diejek ya, jadinya di sekolah ngejek teman lain biar merasa lebih baik. Mungkin di rumah dimarah-marahi terus…”

Ayesha merasa mendingan setelah tahu dia tidak sendiri menjadi korban perundungan. Nino melanjutkan, “Apa kamu merasa malu kalau kamu nggak setinggi teman-temanmu?”

Ayesha sudah paham bahwa perawakan tubuhnya yang kecil bukan sesuatu yang seharusnya membuatnya malu. “Aku tahu harusya aku nggak perlu malu. Tapi aku tetep sedih pas dibilangin kayak gitu.” Nino berempati, “Iya, Ayah ngerti rasanya.”

Kami menekankan bahwa tidak ada yang salah dengan bentuk tubuh kita. Kalau pun ukurannya dianggap tidak normal, bukan sesuatu yang seharusnya membuat kita malu. Ini kami tekankan pada Ayesha, karena tahu bahwa perundungan ini mungkin akan terjadi lagi di masa depan.

Yang penting, Ayesha mengerti bahwa yang dilakukan perundung itu salah, dan seharusnya mereka yang merasa malu. Nino juga pernah tanya, kenapa kira-kira teman sekelasnya itu melakukan body shaming ke dia. “Mungkin dia iri karena kamu pintar di kelas?” Ayesha mengiyakan, “Bisa jadi.”

Lalu, Nino bilang, setiap orang pasti punya kelebihan dan kekurangan. Nggak usah malu mengakui kekurangan, dan bersyukurlah pada kelebihan yang kita punyai.

Tidak ada rumusan baku untuk menghadapi perundungan seperti ini. Dan kasus seperti ini juga bukan yang akan langsung selesai dalam satu waktu. Ini langkah-langkah yang kami lakukan:

Pertama, dengarkan cerita anak. Sampaikan kalau Anda senang bahwa si anak mau bercerita pada Anda. Dengarkan sampai selesai, jangan ikut emosi duluan.

Kedua, berikan empati, jangan meremehkan. Kalau anak menangis, biarkan dia mengeluarkan emosinya. Jangan meremehkan, “Duh, cuma gitu aja nangis.” Pasalnya, sekali Anda meremehkan apa yang dirasakan anak, dia nggak akan cerita atau percaya lagi pada orang tuanya.

Ketiga, bantu anak untuk menguraikan apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana menghadapinya. Beri dia sikap positif terhadap dirinya.

Keempat, kalau terjadi perundungan fisik atau perundungan verbal yang parah, dorong anak untuk membicarakan dengan gurunya.

Perkembangan terakhir, kemarin sepulang sekolah saya tanya ke Ayesha lagi. Dia bilang, “Biasa aja, Ma. Dia mau ngapain aja udah nggak penting buatku.”

Exit mobile version