MOJOK.CO – Dulu, waktu ikut senam SKJ, kamu pasti rasanya bangga banget, kan, kalau hafal gerakan, apalagi sampai disuruh maju ke depan dan jadi contoh teman-temanmu???
“Kalau mau sehat kita harus gerak, jangan duduk terus.”
Begitulah kalimat yang dilontarkan Menteri Kesehatan Nila Moeloek dalam rapat Komisi IX DPR yang berlangsung kira-kira hampir setahun lalu. Dalam rapat yang membahas penanggulangan defisit keuangan BPJS Kesehatan itu, Nila mengajak seluruh peserta untuk melakukan senam selama 30 menit, eksklusif dipandu langsung oleh dirinya.
Nasihat “kalau sehat, kita harus gerak” tadi mengingatkan saya pada perbedaan ekstrem yang saya alami hari ini dengan saya di dua puluhan tahun yang lalu. Dulu, setiap hari Jumat, saya datang ke sekolah dengan baju olahraga di pagi hari, berbaris di lapangan tengah, merentangkan tangan, lalu ikutan senam SKJ bersama guru dan semua murid, mulai dari kelas 1 sampai kelas 6.
Sekarang, setiap hari Jumat, yang saya lakukan nggak ada unik-uniknya: bangun kesiangan, mandi kelamaan, masuk kantor terlambat, mikirin kerjaan—sambil sesekali nulis tebakan di Twitter, lalu pusing menimbang-nimbang apakah akhir minggu bakal saya habiskan dengan pulang ke kampung halaman atau mendingan tidur sepanjang hari di kasur kosan.
Sungguh tidak sporty sama sekali.
Senam SKJ di hari Jumat, zaman dulu, adalah permata. Maksud saya, dari 6 hari sekolah, saya paling suka hari Jumat. Selain karena pulangnya lebih awal, Jumat juga mengizinkan saya untuk menikmati sekolah dari luar kelas. Melakukan senam SKJ bersama-sama membuat saya jadi bisa melihat teman-teman dari kelas lain, dan dalam keadaan tertentu, melihat gebetan dengan lebih jelas.
Ah, nggak usah pura-pura kaget begitu. Waktu SD, kamu pernah mengalami cinta monyet, kan? Saya juga pernah. Melihat si laki-laki di luar kelas dan ikut bergerak untuk olahraga membuat saya merasa kian kepincut. “Ih, macho banget!” kata saya dalam hati, walaupun saat itu saya sebenernya nggak ngerti “macho” itu apa.
Ah, tapi, apa sih gunanya senam SKJ untuk masa depan? Kan nggak ada!
Tunggu dulu—saya punya cerita. Senam SKJ menjadi salah satu materi ujian praktek di SD. Saya ingat menghafal setiap gerakannya satu per satu meskipun saya sangsi apakah ini bakal berguna untuk mendongkrak kehidupan saya di masa depan.
Saya dapat nilai bagus, tapi ya sudah—tidak ada piagam khusus yang memudahkan saya masuk SMP dan SMA incaran saya, apalagi universitas. Tapi, siapa sangka, bertahun-tahun kemudian, saya dapat kesempatan magang di salah satu kantor BUMN yang setiap Jumat mengadakan…
…senam SKJ bersama-sama!!!
Saya mungkin payah mengingat kebaikan-kebaikan mantan yang akhirnya jahat rumus-rumus fisika, tapi nyatanya saat itu saya malah masih hafal-hafal saja gerakan senam SKJ walaupun sudah bertahun-tahun lamanya. Saya yang biasanya minder pun jadi percaya diri karena bisa bergerak dengan tepat, seperti mbak-mbak infrastruktur instruktur senam di depan.
Maksud saya, ayolah, dulu waktu SD dan ikut senam SKJ, kamu juga pasti rasanya bangga banget, kan, kalau hafal gerakan, apalagi sampai disuruh maju ke depan dan jadi contoh teman-temanmu???
Nilai magang saya terbilang lumayan, dan saya tidak bisa tidak menduga keaktifan saya saat senam SKJ memengaruhi.
Sekarang, di beberapa sekolah, senam SKJ bersama masih dilakukan. SKJ sendiri sudah punya versi yang lebih baru. Tapi, nggak semua sekolah konsisten melakukannya setiap minggu—ada yang hanya sebulan sekali, persis kayak siklus menstruasi.
Pun demikian di instansi pemerintahan dan BUMN. Tempat magang saya mungkin beruntung karena masih bisa senam SKJ setiap Jumat. Tapi, di kantor lain, ada yang Jumatnya habis seperti saya: bangun kesiangan, mandi kelamaan, masuk kantor terlambat, mikirin kerjaan—sambil sesekali nulis tebakan di Twitter, lalu pusing menimbang-nimbang apakah akhir minggu bakal saya habiskan dengan pulang ke kampung halaman atau mendingan tidur sepanjang hari di kasur kosan.
Tuh kan, mau diulang berapa kali juga memang nggak sporty.
Kementerian Kesehatan melalui riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013 pernah menyebutkan bahwa orang Indonesia “terancam” tiga penyakit tidak menular, seperti diabetes, gagal jantung, dan strok, yang seluruhnya dipicu oleh satu hal: kurang gerak.
Sebuah studi internasional bahkan menunjukkan hasil mengejutkan, seperti dikutip dari CNN Indonesia. Penyakit “kurang gerak” ini telah menghantui hampir seluruh penghuni Bumi. Tercatat, uang sebesar 884 triliun rupiah telah habis digunakan penduduk dunia untuk pergi berobat gara-gara penyakit kurang gerak tadi.
Bayangkan! Bayangkan—berapa kali lipat gaji UMR Jogja, coba, 884 triliun rupiah itu???
Dilansir dari Kumparan.com, ahli kesehatan menilai bahwa kita semestinya bisa bergerak aktif minimal 30 menit sehari, dalam 3 hingga 5 kali dalam satu minggu. Artinya, benar kata Menteri Kesehatan kita: lakukan dulu senam 30 menit sebelum melanjutkan rapat yang mengharuskan seluruh pesertanya duduk-duduk saja selama lebih dari 3 jam. Lah sekarang, kalau senam SKJ di sekolah saja sebulan sekali, gimana bisa memenuhi standar itu?
Lagian, itu senam SKJ atau perayaan hari jadian, deh, kok sebulan sekali???
BACA JUGA Senam Artistik di MRT Itu Sudah Betul, Kok Malah Di-Bully atau tulisan Aprilia Kumala lainnya.