Selain 420 dan 86, Berikut Deretan Angka yang Perlu Dikenali di Belantika Narkotika Indonesia

Mari berkenalan dengan angka-angka yang dekat dengan dunia narkotika Indonesia.

Selain 420 dan 86, Berikut Deretan Angka yang Perlu Dikenali di Belantika Narkotika Indonesia MOJOK.CO

Selain 420 dan 86, Berikut Deretan Angka yang Perlu Dikenali di Belantika Narkotika Indonesia MOJOK.CO

MOJOK.COSeperti matematikawan yang berupaya semakin presisi dalam menghitung π, sebaik-baik itu jugalah kita harus memanfaatkan narkotika untuk kepentingan manusia.

Pada musim gugur 1971, lima anak SMA yang menamakan geng mereka The Waldos mendengar kabar bahwa ada ladang ganja tak terurus yang dulunya milik penjaga pantai. Berbekal peta harta karun sederhana, mereka pun berhimpitan di dalam Chevy Impala keluaran 1966, membakar lintingan ganja, dan menyusuri pantai Point Reyes, California, dengan kegigihan bak seorang botanis yang hendak menemukan genus tanaman baru.

Upaya pencarian mereka gagal. Namun, kegiatan kumpul-kumpul ceria ini menghasilkan sesuatu yang justru lebih murni dari pucuk ganja muda itu sendiri: sebuah gerakan kebudayaan. Mereka memperkenalkan ke seluruh dunia tiga angka biasa yang menjadi pengikat orang-orang yang memiliki hobi yang sama, yakni 420. Angka ini mereka baiat dari pukul 4:20 sore, waktu kesepakatan untuk bertemu dan memulai “petualangan”.

Bilangan itu pun diadopsi oleh penikmat ganja di seluruh dunia, menjadi penunjuk waktu untuk melinting, simbol di Hari Narkotika Internasional, dan merek dagang perusahaan-perusahaan ganja legal yang semakin menjamur. Sayang, tenarnya angka ini membuatnya hilang esensinya sebagai kode.

Pencarian internet sederhana akan menunjukkan dengan telak koneksi bilangan ini dengan ganja. Di negara-negara yang masih mengkriminalisasi besar-besaran pengguna narkotika, seperti di Indonesia, angka ini malah menjadi sinyal bagi penyidik untuk main tangkap. Pada 2017, setelah Marcello Tahitoe atau Ello tertangkap akibat kepemilikan narkotika, tato 420 di lengannya malah menguatkan persepsi publik tentang kekhilafan Ello.

Makanya, angka 420 sudah tidak seasyik ketika lima bocah SMA itu menemukan. Lagipula, di konteks Indonesia, sebenarnya ada beberapa angka yang lebih jitu, prominen, dan ajaib untuk menjelaskan narkotika dan kebijakan terhadapnya.

1961

Bagaimana cara menemukan pengguna narkotika di Indonesia? Tentu mereka akan menutupi kebiasaannya itu serapat mungkin. Makanya, metode identifikasi yang ditawarkan pemerintah semakin kreatif. Pengguna narkotika kemungkinan besar adalah manusia-manusia yang “sering keluar rumah sebentar kemudian kembali ke rumah” atau jiwa-jiwa yang “pupus norma atau nilai yang dulu dimilikinya”.

Namun, coba bertanya kepada masyarakat Indonesia zaman kolonial Belanda, jawabannya mungkin begini: “Tengok sadja yang sedang menghirup apiun di waroeng.” Pada abad ke-19, pemerintah Hindia Belanda memberikan konsensi untuk ladang opium, mengatur lisensi untuk tempat penjualannya, dan melegalkan orang-orang untuk mengonsumsinya (James R. Rush, 2007).

Ada pergeseran cara pandang yang cukup ekstrem sehingga candu yang dulunya disajikan untuk para priyayi sekarang malah dipakai sembunyi-sembunyi. Perubahan ini memang tidak terjadi dalam sekejap. Namun, sebagaimana layaknya kejadian-kejadian buruk terjadi, ada peristiwa politik yang mengawali.

Pada awal 1961, sebanyak 73 perwakilan negara anggota PBB bertemu di New York. Mereka ingin menyatukan traktat-traktat internasional dan multilateral tentang narkotika yang sudah ada sebelumnya, serta mengontrol produksi bahan mentah narkotika. Pertemuan ini melahirkan Single Convention on Narcotic Drugs of 1961.

Sebuah perjanjian tidak bisa dikatakan tunggal tanpa melakukan generalisasi besar-besaran. Generalisasi penting pertama di dalam konvensi ini adalah cara menilai penggunaan narkotika. Mukadimah konvensi ini menyatakan bahwa adiksi narkotika adalah sebuah bentuk “kejahatan serius pada individu dan mengandung bahaya sosial serta ekonomi untuk kemanusiaan”, karenanya penggunaannya dibatasi hanya untuk kepentingan medis.

Begitu keras pandangan terhadap narkotika ini terbukti dari ketiadaan “label durjana” di konvensi-konvensi internasional lain yang mengatur hal-hal yang juga menyengsarakan. Misalnya, konvensi atas perbudakan, apartheid, dan penyiksaan. Bahkan dalam konvensinya, genosida hanya dikatakan sebagai “momok menjijikkan” atau odious scourge (Rick Lines, 2010).

Generalisasi kedua yang dilakukan adalah pengelompokkan narkotika menjadi golongan I sampai IV. Narkotika golongan I dan IV dianggap sebagai golongan narkotika yang mengandung dampak teramat buruk sehingga mendapatkan lebih banyak restriksi daripada golongan II dan III.

Akademisi menyatakan bahwa penggolongan ini banyak didasarkan pada ideologi kultural dan politik ketimbang bukti akademis tentang pengaruh narkotika terhadap kesehatan. Konvensi 1961 begitu anti dengan tiga narkotika mentah, yakni opium, koka, dan ganja, meskipun para pembuatnya tahu bagaimana ketiga tumbuhan ini telah digunakan selama ratusan tahun oleh berbagai budaya dan peradaban (David Bewley-Taylor dan Martin Jelsma, 2011).

Tidak mengherankan jika 58 tahun berselang, WHO mengeluarkan rekomendasi untuk menggolongkan ulang ganja dan zat yang terbuat dari tanaman ganja mengikuti bukti-bukti kesehatan terbaru tentang dampak buruk dan manfaat ganja untuk kesehatan (WHO, 2019).

Setelah melakukan generalisasi ini, 1961 juga memperkenalkan ketentuan pidana pada Pasal 36, bagi tindakan-tindakan yang menyebabkan seseorang jatuh ke dalam adiksi narkoba. Berangkat dari landasan hukum internasional inilah, Indonesia akhirnya memiliki legislasi narkotika pertama yang berbeda dari warisan Belanda pada 1978. Parlemen mengesahkan Single Convention 1961 menjadi UU Nomor 8 Tahun 1976 dan membuat UU No. 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika.

Konvensi 1961 menjadi landasan bagi banyak negara, dimulai dari Amerika Serikat, untuk mengumumkan war on drugs, sebuah slogan yang ditentang banyak ahli karena akibatnya terhadap overkapasitas penjara (Rully Novian, 2018), kenaikan angka transmisi HIV (Joanne Csete, 2016), dan pembunuhan vigilante di mana-mana (Human Rights Watch, 2017). Namun, di negeri +62, jargon ini malah diabadikan, plek-plekan tanpa terjemahan, menjadi sebuah lagu pada 2021.

Di video klipnya, para pejabat pemerintah membentuk formasi segitiga, mengayun-ayunkan tangan kanan seperti pemilik kontrakan mau menagih setoran, dan menghentakkan kaki begitu ogah-ogahan hingga mampu membuat hati pelatih Paskibra mana pun hancur. Pada lirik terakhir, seraya mengacungkan kepalan tangan kanan ke atas, mereka menganjurkan: let’s war. Seakan-akan lupa bahwa setiap perang, bahkan pada benda mati sekalipun, tetap akan menimbulkan korban.

127

Sebuah cerita pendek Haruki Murakami menghadirkan seorang penulis bernama Junpei yang bercerita tentang seorang dokter perempuan. Sebongkah batu yang ditemukan dokter ini pada suatu hari di sungai kering berbentuk mirip sekali dengan ginjal. Dia mengambil batu itu untuk dijadikan penindih kertas di kantornya.

Setiap pagi setelah itu, batu berbentuk ginjal itu berpindah tempat. Terkadang di atas kursi putarnya, di dekat pot bunga, di lantai. Perpindahan ini membingungkan si dokter. Perhatiannya jadi teralih. Dia tidak lagi rutin mengunjungi pusat kebugaran, teman-temannya ditinggalkan, nafsu makannya menghilang. Sekali waktu, setelah putus dengan kekasih gelapnya, dokter itu memutuskan untuk menyudahi semuanya. Dia melemparkan batu itu ke laut. Tapi, esok paginya, batu itu kembali menyambutnya di kantor.

Cerpen berjudul “Batu Berbentuk Ginjal yang Berpindah-pindah Setiap Harinya” ini punya kemiripan dengan peraturan utama di Indonesia terkait narkotika yang berlaku saat ini, Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Para legislator, sama seperti Junpei, memperlakukan narkotika sebagai benda hidup yang memiliki kesadarannya sendiri.

Terdapat 38 pasal di dalam Bab XV UU Narkotika tentang ketentuan pidana dan hanya satu di antaranya yang memperkenankan pelakunya direhabilitasi. Pasal 127.

Inilah tiga angka yang membuat tersangka bersyukur pada Tuhan-nya, keluarga menghembuskan napas lega, dan sesama tahanan mencurigai bahwa orang yang baru masuk nyatanya artis ibu kota. Angka ini, meski tidak selalu, memberikan harapan baru selain jeruji penjara yang dingin dan karatan.

Persoalannya, sebelum angka 127, ada 111, ada 112, dan bahkan 114. Ini bukan hanya pelajaran berhitung, tetapi menggambarkan sekuens pasal yang mungkin dikenakan sebelum 127.

Pasal 127 terpenuhi jika seseorang terbukti menyalahgunakan narkotika bagi dirinya sendiri. Namun, sebelum digunakan, seseorang tentu perlu untuk memiliki/menyimpan/menguasainya. Tindakan memiliki/menyimpan/menguasai adalah unsur dari pasal 111 (jika narkotikanya golongan I tanaman) dan 112 (jika narkotikanya golongan I bukan tanaman).

Namun, sebelum memiliki/menyimpan/menguasai, tentu orang itu harus membeli/menerima narkotika itu. Tindakan membeli/menerima adalah unsur pasal 114.

Dengan demikian, seseorang yang bertujuan untuk mengonsumsi narkotika untuk dirinya sendiri akan dengan mudah, dan sering terjadi, mendapatkan pasal selain 127. Pasal-pasal ini memiliki bobot hukuman berbeda. Sementara pasal 127 memiliki ancaman hukum maksimal empat tahun penjara/rehabilitasi, dan pasal 114 bisa mengiring orang itu ke hadapan regu tembak. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa meskipun narkotika yang ditemukan beratnya di bawah gramatur pemakaian narkotika untuk diri sendiri, pasal 127 hanya digunakan 29%, dan hanya 8.2% yang mendapatkan vonis rehabilitasi (Albert Wirya, dkk., 2016).

Sebagaimana Junpei yang menganggap batu berbentuk ginjal itu bisa berpindah-pindah sendiri, seperti itu jugalah legislator kita membayangkan bagaimana seseorang mengonsumsi narkotika. Mereka berharap sebungkus sabu itu hadir begitu saja di dalam tubuh seorang pengguna, tanpa pernah dibeli sebelumnya, dan tidak untuk berada di dalam kekuasaan orang itu.

Maka lain kali, jika kita mendengar figur publik berkoar-koar tentang bagaimana pengedar harus dipenjara sedangkan pengguna direhabilitasi, kita patut membaca pernyataan ini dengan kejelian seorang mahasiswa sastra yang bermalam-malam menginap di perpustakaan, membolak-balik sekeping novel, mengulas semua metafora dan simbolisme yang ada supaya bisa lulus kuliah. Hemingway pernah berkata kalau penulis yang baik mampu untuk menulis secara minimalis dan para pembaca akan mampu untuk menginterpretasikan sendiri apa yang disembunyikan oleh sang penulis. Dalam konteks UU Narkotika, mungkin para legislator menghendaki pembaca untuk menemukan makna keadilan lain di balik 127.

Satu lagi kesamaan UU Narkotika ini dengan cerita Junpei. Junpei menuliskan bagaimana pada suatu hari batu berbentuk ginjal lenyap dan sang dokter sadar bahwa benda itu tidak akan kembali. Sama seperti mimpi para utopis: suatu hari nanti narkotika akan lenyap dari peradaban.

Kapan dan bagaimana narkotika bisa hilang dari peradaban? Bahkan Murakami, yang sudah pernah menulis tentang hujan ikan makarel dan monyet pencuri nama perempuan, akan kesulitan untuk membayangkan skenario ini.

86

Sebelum dipopulerkan oleh sebuah stasiun televisi swasta untuk membuat pihak yang berkuasa “enak dipandang”, angka 86 atau delapan-enam atau lapan-nam telah menjadi kode bagi sesama anggota polisi untuk bersepakat. Sandi tersebut, bersama dengan deretan angka lainnya, lahir ketika moda komunikasi utama adalah walkie-talkie dan sambungan radio. Saat itu, para perwira harus menyampaikan maksud dengan cepat dan presisi. Salah menyetel frekuensi radio atau ambigu sedikit saja dalam membuat pesan, penjahat bisa lari.

Karenanya, susunan angka-angka—kadang dipadu dengan huruf—menjadi kunci. Daripada mengatakan “Eh, jangan cepat-cepat ngomongnya,” mereka tinggal berbisik 8-14. Daripada menyatakan “Ssst, ini sedang ada pertemuan terlarang lho,” mereka bisa menggumamkan 5-1. Daripada mendeklarasikan, “Sekarang saya pun mengerti perintahmu, instruksimu, arahanmu… dirimu,” mereka tinggal berkata 8-6. Kode-kode ini dijelaskan di Tim Pokja Lemdiklat Polri lewat buku Bahan Ajar Teknologi Informasi dan Komunikasi Polair untuk Pendidikan Pembentukan Tantama Polair (2020).

Di kasus narkotika, medan komunikasi 86 diperluas. Ada kesepakatan-kesepakatan yang tidak cukup melibatkan sesama anggota kepolisian.

Namun, sebelum sampai ke sana, kita perlu beralih ke sebuah lembaga lain yang tidak ada hubungannya dengan kepolisian, hukum, atau narkotika. Lembaga ini adalah Pusat Bahasa (sekarang dikenal sebagai Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa) yang sejak 2008 melakukan salah satu pekerjaan paling rumit, untuk mengelompokkan kata-kata dengan kesamaan makna. Mereka menerbitkan satu buku yang sangat penting di Indonesia, yakni Tesaurus Bahasa Indonesia.

Pada Tesaurus Bahasa Indonesia tahun 2008, mereka meramalkan begini: “mengerti v menerima, memafhumi, mengetahui, memahami, memaklumi.”

Pergeseran kata dari “mengerti” sampai menjadi ‘memaklumi’ sekalipun sekilas menyiaratkan arti yang sama, ternyata memiliki implikasi yang berbeda. Sementara “mengerti” umumnya digunakan untuk kesepakatan yang bersifat netral, ‘memaklumi’ biasanya menyiaratkan ketentuan-ketentuan yang sebenarnya jauh dari ideal.

Di kasus narkotika, kode 86 pun menjadi pemakluman bahwa: “Hukumnya sudah begini tapi kan kita sama-sama tidak mau saudara/anak/teman/kerabat kamu dipenjara, marilah kita mencari jalan tengah.” Jalan tengah ini biasanya dibangun dengan dasar Soekarno-Hatta di kertas merah.

Sebuah survei yang dilakukan pada 2007-2008 terhadap 1106 orang menunjukkan bahwa 60% tersangka narkotika mendapatkan kekerasan dari penyidik. Sebagian dilakukan supaya tersangka mengambil “jalan damai” ([1] Davis, S.L, 2018). Kedamaian ini dicapai dengan berbagai cara, baik itu mengganti pasal menjadi pasal rehabilitasi (pasal 127), mengalihkan tersangka/terdakwa ke lembaga rehabilitasi, memberikan asesmen terpadu yang seharusnya menjadi hak semua orang yang tertangkap karena kasus narkotika, dan bahkan dibebaskan atau dihentikan kasusnya.

Praktik-praktik 86 ini pun diakui oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai salah satu komponen biaya ekonomi yang dikeluarkan oleh pengguna narkotika. Di dalam banyak kasus, kejadian 86 bukan sebuah negosiasi yang berjalan netral: pihak tersangka/terdakwa dan keluarga tidak berada di dalam posisi tawar-menawar yang setara dan mendapatkan tekanan untuk akhirnya menerima kesepakatan 86 (Arinta Dea, 2019).

Penggunaan 86 ini mengaburkan makna keadilan bahkan bagi orang-orang yang menggeluti dunia hukum. Apakah secara moral pengguna narkotika yang ditahan salah jika dia menyuap oknum kepolisian sedangkan keadilan bagi mereka sendiri sudah terlanggar dengan ancaman kriminalisasi? Apakah insentif gelap yang selama ini membiayai sistem peradilan pidana kita? Apakah mungkin mencapai dekriminalisasi pengguna narkotika jika kultur 86 masih merajarela?

Pertanyaan-pertanyaan ini memang perlu untuk diurai satu-satu. Tanpa upaya yang giat untuk terus mempertanyakan keadilan, kita cuma akan bisa garuk-garuk kepala ketika mendengar curhatan teman atau keluarga kita yang tertangkap perkara narkoba, menelan ludah karena tidak bisa membayangkan bagaimana mendapatkan uang yang diminta oleh mafia peradilan, sembari membeo, “Siap, 86!”

-40

Sementara tiga bilangan sebelumnya menunjukkan momentum politik, pasal tumpang-tindih, dan kesepakatan tak tertulis, angka terakhir ini mengisyaratkan kengerian, karena itu perlu dituliskan dalam bentuk negatif.

Pada 2008, dua lembaga menjalin kesepakatan untuk melakukan penelitian. Badan Narkotika Nasional menyewa jasa Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia untuk melakukan riset yang, seperti diumumkan di kata pengantarnya, punya tujuan cukup mulia. Mereka ingin berhitung tentang berapa banyak penduduk yang menggunakan narkoba dan berapa besar kerugian yang ditimbulkan dari penggunaan narkotika ini. Kerugian paling final tentu saja adalah kematian.

Bagaimana kita bisa menyimpulkan bahwa seseorang meninggal akibat narkoba? Lebih spesifik lagi: apa dasar untuk menyatakan bahwa seseorang meninggal hanya karena penggunaan narkoba saja dan bukan karena fungsi organ yang menurun akibat gaya hidup, kondisi genetik, dan pertambahan usia? Seberapa siap data-data mortalitas yang dimiliki lembaga kesehatan dan catatan sipil Indonesia untuk menyajikan angka kematian kelompok yang selama ini selalu menutup-nutupi identitas mereka?

Pastinya, pertanyaan-pertanyaan ini juga menghantui peneliti-peneliti kita. Mereka mungkin berpikir sangat keras, melampiaskan frustasi dengan scrolling tanpa batas di media sosial—eh, itu kan adiktif juga—sampai menemukan sebuah cara yang sungguh di luar dugaan. Tim peneliti bertanya kepada sampel pengguna narkotika tentang teman mereka, sesama pengguna, yang meninggal tahun lalu. Laporan penelitian tidak menunjukkan kalau mereka bertanya lebih spesifik tentang apakah kematian itu betul karena penggunaan narkoba atau overdosis. Yang mereka sebutkan hanya:

“Nilai median jumlah teman sesama pengguna yang masih hidup sebanyak 10 orang. Teman pecandu suntik lebih sedikit dibandingkan pecandu lainnya. Ditanyakan pula teman sesama penyalahguna yang meninggal dunia terkait narkoba selama tahun lalu. Jumlah median teman narkoba yang meninggal ada sebanyak tiga orang.”

Keterangan tersebut tercantum dalam Laporan Survei Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia: Studi Kerugian Ekonomi dan Sosial Akibat Narkoba, tahun 2008. Laporan tersebut dibuat oleh Badan Narkotika Nasional dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia.

Dari pertanyaan sederhana ini, tim peneliti memperkirakan ada 5% pengguna narkotika yang meninggal setiap tahunnya, sehingga di 2008, mereka memproyeksikan 14.894 orang meninggal. Jumlah ini dibagi 365, dapatlah angka 40,8 orang yang dinyatakan meninggal tiap tahunnya.

Angka inilah yang kemudian diulang-ulang oleh segelintir elite untuk menjalankan hukuman mati, menembak mati tersangka tanpa proses peradilan, menambah anggaran lembaganya, mengalihkan perhatian masyarakat dari pandemi COVID-19 yang tak tertangani. Statistik perkiraan ini dikutip oleh Presiden, Ketua MUI, Menkopolhukam, Mendagri, Panglima TNI, Kepala Daerah.

Dari tahun ke tahun, perhitungannya selalu begitu. Eh, terkadang ada juga sih variasinya. Jumlahnya kadang-kadang bisa jadi 30, 50, atau 60. Tidak stabil tergantung brief yang diberikan oleh staf mereka—karena kalau kita asumsikan bahwa pejabat-pejabat ini betul membaca laporannya secara utuh, tentunya mereka juga akan paham kelemahan angka proyeksi ini.

Beberapa ahli epidemologi dan kesehatan masyarakat mempertanyakan metode yang akhirnya menghasilkan angka 40 sampai 50 orang meninggal tiap harinya ini. Mereka menggarisbawahi beberapa hal: ketidaktransparanan detail penelitian; proses sampling yang dipakai tidak representatif; tidak memperhatikan jenis dan dosis narkotika yang digunakan; inkonsistensi definisi tentang ketergantungan obat; dan metode yang tidak reliabel untuk menentukan kematian akibat narkotika.

Di negara lain, perhitungan jumlah kematian biasanya lebih serius. Uni Eropa, misalnya, mengukur kematian akibat narkoba dari data statistik dan estimasi kematian akibat keracunan atau overdosis narkotika. Dari metode ini mereka menemukan bahwa pada 2017 diperkirakan paling tidak ada 8.238 kematian akibat penggunaan narkotika. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan Indonesia yang mengestimasi 11.071 orang meninggal pada 2017, padahal populasi seluruh Uni Eropa hampir dua kali lipatnya Indonesia.

Mengingat pentingnya angka ini, penghitungan atasnya tidak boleh main-main. Angka kematian bisa menjadi dasar untuk menyatakan apakah kebijakan narkotika Indonesia selama ini sudah tepat atau belum. Perlu ada metode penghitungan yang lebih akurat, berbasis literatur, dan melibatkan kelompok masyarakat sipil yang mampu menjangkau lebih banyak pengguna narkotika. Sebab, kalau semata-mata meminta responden bernostalgia tentang lingkungan pertemanan mereka, sungguh tidak dibutuhkan ahli kesehatan masyarakat ataupun uang penelitian ratusan juta rupiah. Fitur memorialised accounts dari Facebook cukuplah sudah.

Epilog: Narkotika itu soal berhitung, bukan menghafal

Sejak empat ribu tahun yang lalu, manusia menemukan bahwa jumlah keliling sebuah lingkaran dibagi dengan diameternya selalu menghasilkan angka yang sama. Angka yang dikenal sebagai phi (π) itu dimulai dengan 3,14… dan terus berlanjut.

Karena sifatnya yang tetap dan tak terhingga, penemuan angka ini selalu dijadikan sebuah lomba. Matematikawan mulai menghitung π dengan menggambar poligon di dalam dan luar lingkaran sehingga bisa didapatkan bahwa π pasti akan lebih besar dari jumlah luas poligon di dalam dan lebih kecil dari poligon di luar lingkaran. Semakin banyak sisi poligon, semakin akurat nilai π yang didapatkan. Pada 1630, seorang matematikawan, Christoph Grienberger, menggambar poligon dengan 1040 sisi dan berhasil mendapatkan 38 digit angka π. Kemudian Newton datang, dengan kalkulusnya, dan menemukan metode baru untuk membuat perhitungan π menjadi lebih mudah.

Perlombaan kuat-kuatan kemampuan berhitung ini nyaris berakhir. Bukan karena akhirnya ditemukan digit terakhir dari π, melainkan akibat ulah seorang fisikawan bernama Edwin J. Goodman, M.D., yang mempromosikan sebuah legislasi ke Parlemen Indiana untuk mematok nilai π sebesar 3.2. Legislasi ini hampir saja lolos jika tidak ada intervensi dari profesor matematika dari Universitas Purdue (David H. Bailey, 1996).

Kejadian yang dikenal sebagai Indiana Pi Bill ini mungkin akan membuat guru matematika geleng-geleng kepala. Dogma guru matematika yang baik adalah bukan untuk menuntut siswa menghafal rumus, melainkan menimbulkan rasa keingintahuan darimana rumus itu berasal. Hal yang sama rasanya berlaku di kebijakan narkotika. Ketimbang merapalkan bilangan yang itu-itu saja, jauh lebih berfaedah untuk mengetahui muasal angka-angka itu dan, apabila memungkinkan, mengubahnya menjadi perhitungan yang lebih baik.

Beberapa perkembangan baik terjadi belakangan ini. Ada dorongan yang semakin besar untuk merevisi UU Narkotika dan menghilangkan pasal-pasal yang tumpang tindih. Sekelompok orang sedang mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk menarik aturan bahwa golongan I narkotika tidak boleh digunakan untuk kepentingan kesehatan.

Tahun ini, Kelompok Kerja untuk Penahanan Sewenang-Wenang (Working Group on Arbitrary Detention) mengeluarkan laporan tentang kebijakan narkotika dan merekomendasikan agar negara-negara anggota PBB melakukan dekriminalisasi untuk penggunaan, kepemilikan, pembelian, dan penanaman narkotika untuk penggunaan pribadi.

Dengan demikian, tulisan ini harapannya akan menjadi usang dengan sendirinya. Deretan angka-angka baru, yang lebih baik, kiranya bisa menghiasi belantika narkotika di Indonesia. Seperti matematikawan yang berupaya semakin presisi dalam menghitung π, sebaik-baik itu jugalah kita harus memanfaatkan narkotika untuk kepentingan manusia.

BACA JUGA 5 Makanan yang Punya Efek Setara Narkoba dan tulisan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version