MOJOK.CO – Di Prancis, sekularisme adalah hal yang diperjuangkan dengan susah payah dan berdarah-darah.
Dulu, sewaktu saya tinggal di Indiana, Amerika, saya pernah mencoba beli wine di Walmart di sebuah supermarket. Setelah saya memilih wine yang saya inginkan, yang tentu saja paling murah harganya, saya lantas ke kasir untuk membayarnya.
Di meja kasir, saya sodorkan wine tersebut. Ditolak. Saya sodorkan SIM, untuk menunjukkan kalau saya cukup umur dan punya kapabilitas yang mumpuni untuk sekadar minum “wedang galak” tersebut. Tetap ditolak. Usut punya usut, ternyata masalahnya bukan di SIM atau umur saya. Saya tidak bisa membeli wine karena hukum di Indiana saat itu melarang supermarket menjual minuman beralkohol di hari Minggu.
Belakangan baru saya tahu bahwa hukum larangan alkohol di hari Minggu bukan hanya ada di Indiana. Banyak negara bagian lain yang memiliki ketentuan yang sama.
Awal hukum ini bersifat religius. Aktivis gereja Amerika tahun 1800-an memang menghendaki hari Minggu diperlakukan sebagai hari yang suci. Mereka meminta negara melarang aktivitas komersial dan hal-hal “immoral“, termasuk konsumsi alkohol. Dalam beberapa kasus, aktivis-aktivis ini bahkan sampai menyerang toko atau orang yang menjual alkohol dan —di mata mereka— merusak kesucian hari Minggu.
* * *
Dari 1800-an, mari kita melompat jauh ke masa kini, ke 2020, tahun di mana kita melihat lagi kasus yang serupa tapi tak sama. Seorang guru di menunjukkan karikatur Nabi Muhammad di kelasnya sebagai bagian dari pelajaran kebebasan berpendapat. Guru tersebut kemudian dipenggal oleh seorang remaja yang merasa tindakan guru tersebut menista Islam.
Pemuda yang menjadi pelaku pemenggalan tersebut akhirnya ditembak mati oleh aparat karena dianggap melawan ketika akan diamankan.
Buntut insiden tersebut, Prancis langsung bereaksi keras. Aparat menangkap orang yang dianggap radikal dan menutup masjid. Presiden Emmanuel Macron bahkan memerintahkan gedung pemerintahan untuk menampilkan karikatur kontroversial tersebut. Alasannya? Sekularisme dan kebebasan adalah nilai Prancis. Ia adalah hal yang diperjuangkan dengan sangat serius oleh bangsa Prancis selama berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun dengan perjuangan yang keras dan berdarah-darah. Maka, pemenggalan guru karena dianggap menista bukan hanya serangan terhadap guru tersebut, tapi juga serangan terhadap sekularisme Prancis. Macron merasa perlu untuk berdiri dan membela nilai tersebut.
Sikap Macron tentu saja langsung memancing reaksi keruh. Sejumlah pemimpin negara Islam menilainya sebagai provokasi. Tak sedikit tokoh muslim Indonesia yang juga mengecam sikap Macron tersebut. Sebagian bahkan menganggap sikap Macron dan prinsip sekularisme Prancis itu diskriminatif.
Argumen mereka sederhana. Kebebasan berpendapat ada batasnya. Bebas berpendapat bukan berarti bebas menghina. Setidaknya, bebas berpendapat tidak berarti bebas menghina figur suci. Nabi Muhammad adalah figur suci bagi umat Islam. Menghina Nabi dengan demikian adalah melanggar kebebasan dan mendiskriminasi warga muslim.
Terus terang, saya bisa paham tindakan Macron. Walau sejujurnya, agak susah bagi saya untuk menerima begitu sana logika pelarangan penghinaan figur suci.
Begini, tindakan Presiden Macron, yang pada titik tertentu memang cukup ekstrem, memang dirasa penting untuk menunjukkan bahwa negara tidak tunduk pada terorisme.
Kita bisa buat analogi. Malam Natal tahun 2000, Jamaah Islamiyah meledakkan bom di beberapa gereja di Indonesia yang pada akhirnya menewaskan 18 orang.
Sehari setelah itu, pejabat pemerintah mendatangi gereja-gereja dan tampil di televisi, mengatakan berulang-ulang, “Kita tidak takut.” Organisasi-organisasi kemasyarakatan Islam juga menawarkan bantuan dan perlindungan kepada gereja dan umat Kristen.
Kenapa kita melakukan hal demikian saat itu? Karena kita tahu dan sadar bahwa bom itu bukan hanya menyasar umat Kristen tapi juga menyasar tenun kebangsaan dan semangat toleransi.
Ketika pejabat kita berdiri di gereja dan bersolidaritas, mereka melakukan itu untuk menunjukkan dukungan terhadap kebinekaan Indonesia. Pejabat muslim datang ke gereja adalah hal yang cukup ofensif bagi kelompok teroris. Tapi itu perlu dilakukan untuk menunjukkan di mana negara berpihak.
Sama seperti Macron. Ia dan Prancis harus menunjukkan di mana mereka berpihak. Mereka harus menunjukkan bahwa nilai sekularisme mereka tidak akan tunduk oleh terorisme atau pemenggalan yang barbar.
* * *
Selain mengkritik sikap Macron, beberapa tokoh muslim Indonesia dan dunia juga mengkritik sekularisme Prancis. Kebebasan berpendapat tidak seharusnya menghina figur suci. Menghina Nabi berarti mendiskriminasi umat Islam. Logika ini memang cukup tidak logis.
Pertama, logika ini terkesan egois. Figur suci pada faktanya adalah suci hanya bagi mereka yang mengimani. Kalau tidak mengimani, figur suci “hanyalah” manusia historis biasa.
Di Argentina, ada semacam agama unik bernama Iglesia Maradoniana, sebuah kepercayaan yang meyakini dan memuja Maradona sebagai seorang dewa. Tak tanggung-tanggung, jumlah penganutnya mencapai ratusan ribu. Nah, lantas, apa iya kita harus melarang pelecehan terhadap Maradona? Mengulas kegagalan Maradona sebagai pelatih sepakbola, misalnya. Ada lagi agama di Vanuatu yang memuja Pangeran Philip (suami Ratu Elizabeth dari Inggris) sebagai dewa. Apa iya kita harus melarang koran-koran untuk memuat berita kritis dan melecehkan terkait Pangeran Philip?
Kita tentu bisa memperpanjang daftar suci ini, tapi inti poinnya sama: kalau kita minta orang suci dikecualikan dari kritik atau penghinaan, di mana kita akan meletakkan batasnya dan siapa yang akan meletakkan batas itu? Apa definisi orang suci? Politisi? Artis K-Pop? Bintang film?
Alasan kedua kenapa argumen tokoh-tokoh ini bagi saya tidak logis adalah karena penghinaan nabi bukan berarti diskriminasi terhadap Islam. Bahwa penghinaan terhadap seorang nabi adalah hal yang menyebalkan, namun tetap saja dalam kasus ini, tak tepat kalau kemudian hal tersebut dianggap sebagai sebuah diskriminasi terhadap Islam.
Mendiskriminasi Islam itu kalau hanya Nabi Muhammad yang dihina dan kalau negara Prancis ikut dalam penghinaan itu.
Pada kenyataannya, bukan hanya Nabi Muhammad yang dibuat karikatur, tapi juga figur suci dari agama lain. Bahkan kalau mau jujur, karikatur-karikatur figur suci dari agama lain jauh lebih ofensif. Faktanya juga, Prancis (seperti negara Barat lain) adalah salah satu yang relatif netral soal agama. Tingkat regulasi agama mereka relatif rendah. Memang ada Islamophobia dan diskriminasi terhadap minoritas, tapi dalam tataran institusi negara, Prancis cenderung membebaskan agama untuk berkembang dan berjuang sendiri.
Dalam konteks itu, ketika kita meminta Prancis untuk melarang penghinaan terhadap nabi atau figur suci lain, justru kita lah yang mendorong diskriminasi. Permintaan itu sama saja mendorong diskriminasi terhadap agama yang figur sucinya tidak termasuk dalam daftar “jangan dihina”. Permintaan itu juga berpotensi diskriminatif terhadap kelompok ateis yang tidak punya atau tidak peduli dengan figur suci.
* * *
Meskipun saya tidak terlalu bisa menerima logika pelarangan penghinaan figur suci, namun tetap saja saya bisa mengerti dari mana logika itu berasal. Beragama di Indonesia itu mudah sekali karena kita selalu dimanja. Umat beragama dikasih banyak libur. Perasaannya juga dijaga oleh pak polisi dan pentung ormas.
Semakin banyak pengikut suatu agama di Indonesia, semakin dijaga perasaan pemeluk agama tersebut. Tidak boleh dikritik. Tidak boleh jadi bahan bercandaan.
Segala perlindungan ini membuat kita merasa berhak atas perlindungan serupa di tempat lain. Semua penghormatan ini (yang barangkali diberikan tidak dengan ikhlas karena tidak menghormati berarti bisa masuk penjara) juga membuat kita merasa berhak dihormati di mana-mana.
Kita lupa bahwa apa yang kita anggap penting, bisa jadi tidak dianggap penting oleh orang lain. Kita lupa siapa yang kita anggap suci, buat orang lain mungkin hanya mitos. Kita lupa dunia tidak berputar hanya di sekitar kita.
Keramaian Macron dan penistaan nabi, dengan demikian, di satu sisi mencerminkan Islamophobia di masyarakat Prancis. Tapi di sisi lain, ia juga menunjukkan bagaimana kehidupan beragama kita di Indonesia yang sungguh memanjakan dan membuat kita gagap mengelola perasaan tersinggung.
BACA JUGA Emosi atas Karikatur Nabi Muhammad Bukan Bikin Kamu Berhak Penggal Kepala Orang Dong dan artikel Nathanael Gratias lainnya.