Sebuah Panduan untuk Membubarkan DPR dengan Baik dan Benar

membuabarkan dpr

MOJOK.COMembubarkan DPR, kendati tampak mustahil, namun sejatinya tetap bisa dilakukan.

Kekacauan terjadi di dalam gedung DPR. Kelompok teroris yang menamakan diri Aliansi Pembebasan Militan alias APEM menyerbu gedung DPR dan menyandera seluruh anggota dewan yang ada di dalam.

Suasana di luar gedung amat heboh. Orang-orang menonton dari luar gedung DPR tanpa berani masuk dan menolong para anggota dewan yang sedang disandera. Polisi dan tentara disiagakan. Kemacetan mengular karena mobil-mobil berhenti sebab semua orang penasaran ingin melihat apa yang terjadi.

Kecuali para penjual kopi keliling yang tetap santai dan selow menjajakan kopinya, semua orang tampak harap-harap cemas mengamati situasi.

“Pak, tolong. Di dalam gedung, para teroris meminta uang tebusan yang sangat besar,” kata seseorang sambil tergopoh-gopoh kepada seorang penumpang taksi yang kebetulan ikut berhenti tak jauh dari gedung DPR. “Kami sekarang sedang berkeliling untuk menggalang bantuan.”

“Wah, berani juga itu teroris. Apa ancaman mereka?” tanya si penumpang.

“Mereka bilang, kalau uang tebusannya tidak segera diserahkan dalam dua jam, mereka akan menyiram seluruh anggota dewan dengan bensin untuk kemudian membakarnya.”

“Baiklah. Saya ikut patungan kalau begitu. Berapa orang-orang pada nyumbang?”

“Rata-rata nyumbang satu liter, Pak.”

***

Anekdot di atas tentu sudah pernah kita baca entah di mana. Sebuah anekdot sederhana yang menggambarkan betapa muaknya masyarakat kepada DPR.

Hampir setiap tahun, memang ada saja tingkah aneh para anggota DPR yang bikin kita pengin pindah negara ke Honduras atau Guatemala. Ada yang ketahuan nonton bokep saat sidang, pun ada juga yang jadi “bintang” bokep di luar sidang. Dari nilep duit yang nilainya “cuma” miliaran, sampai mega korupsi yang nilainya sampai triliunan. Yang paling anyar, tentu saja polemik terkait pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang dianggap penuh dengan permasalahan.

Berbagai ulah aneh (dan menjijikkan) tersebut memang kemudian memunculkan endapan tuntutan untuk membubarkan DPR. Banyak masyarakat yang menganggap bahwa tidak adanya DPR justru akan membuat negara jauh lebih baik.

“DPR bubar wae, urusan negoro ben tak urusi aku karo cah-cah.” begitu bunyi meme yang beredar di media sosial.

Sebagai sebuah lembaga yang sering menjadi pemuncak klasemen lembaga terkorup, tak berlebihan jika DPR terus mengalami tingkat penurunan kepercayaan dari rakyat.

Setiap tahun, selalu saja ada usulan dan celetukan untuk membubarkan DPR. Nah, setahun terakhir ini, usulan pembubaran DPR kian menguat, utamanya tentu saja karena pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja.

Usulan pembubaran DPR ini tentu saja menarik. Maklum, selama ini, pembubaran DPR lebih sering hanya menjadi wacana belaka. “Bubarkan DPR! bubarkan DPR! bubarkan DPR!” tapi toh pemilu tetap berlangsung untuk memilih anggota dewan periode berikutnya.

Sebagai orang yang punya rasa ingin tahu yang tinggi, saya selalu penasaran, sebenarnya bisa nggak sih DPR benar-benar dibubarkan?

Saya sudah tanya Doraemon, Naruto, hingga rumput yang bergoyang, gimana sih cara membubarkan DPR, tetapi ternyata semua diam, tetapi semua bisu, tinggal aku sendiri, terpaku menatap langit.

Untung saya punya banyak senior ahli politik yang agak encer otaknya. Dari mereka, saya jadi tahu kalau ternyata ada peluang untuk membubarkan DPR. Kata senior-senior saya itu, setidaknya ada empat cara yang bisa dicapai untuk membubarkan DPR.

Dekrit Presiden

Secara konstitusi, sebagai negara dengan sistem presidensial, presiden memang tidak memiliki wewenang untuk membubarkan DPR (parlemen) dan begitu pula sebaliknya. Ini adalah konsep keseimbangan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif. Tapi tunggu dulu, dalam sejarahnya, ada dua presiden Indonesia yang tercatat pernah berupaya membubarkan parlemen, satunya berhasil, sedangkan satunya gagal.

Kasus pertama adalah Presiden Soekarno. Pada 1959, Presiden Soekarno membubarkan Konstituante pemilu 1955 dengan menerbitkan Dekrit Presiden. Selain itu, Soekarno juga menghendaki pergantian undang-undang dasar dari UUD Sementara 1950 diganti kembali menjadi UUD 1945.

Kasus kedua berakhir dengan kegagalan, yakni presiden keempat Indonesia, K.H Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang pernah mengeluarkan dekrit serupa pada 23 Juli 2001 dini hari. Dalam dekrit itu, terdapat tiga poin utama yang diterbitkan Gus Dur yaitu pembekuan DPR-MPR, pengembalian kedaulatan ke tangan rakyat dengan mengambil tindakan menyusun badan untuk penyelenggaraan pemilu dalam waktu setahun, serta menyelamatkan gerakan reformasi total dari unsur-unsur orde baru dengan cara membekukan Partai Golongan Karya (Golkar).

Kala itu, dekrit yang dikeluarkan Gus Dur justru mendapat kecaman dari sejumlah pihak, salah dua di antaranya adalah Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri serta Ketua MPR Amien Rais.

Hasilnya, DPR-MPR lah yang kemudian justru menggelar sebuah sidang istimewa yang menggulingkan Gus Dur dari jabatannya sebagai presiden. Sidang istimewa tersebut sekaligus menetapkan pengangkatan Megawati sebagai Presiden ke-5 RI serta Ketum PPP Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden melalui jalur voting.

Secara legal, memang tidak ada wewenang apapun yang dimiliki oleh presiden untuk melakukan hal tersebut. Berbeda dengan UUDS 1950 yang parlementer, UUD 1945 menyatakan bahwa hubungan DPR dan presiden adalah sejajar. Secara politis, harus terlebih dahulu diciptakan kondisi politik yang kemudian dapat melegitimasi tindakan tersebut, seperti adanya keadaan darurat yang memaksa presiden untuk membubarkan DPR. Untuk itu, jelas dibutuhkan dukungan dari militer.

Pembubaran DPR oleh DPR itu sendiri

Cara ini hampir mustahil terjadi, tapi juga tidak ada larangan yang menghambat cara ini secara konstitusional.

Mayoritas (bahkan mungkin semua) anggota DPR tentu tidak akan setuju mengenai pembubaran lembaga mereka sendiri. Lha gimana, sudah habis biaya kampanye yang banyak, belum sempat balik modal, eh, kok malah bubar.

Dengan fakta tersebut, tentu kita nggak bisa terlalu berharap pembubaran DPR dengan cara ini. Perlu ada penggembosan dari kalangan DPR sendiri untuk selanjutnya menyatakan mosi pembubaran DPR. Selama masih ada kalangan anggota DPR yang tidak menyetujui pembubaran ini, maka DPR tidak dapat bubar secara institusional.

Kudeta Militer

Andaikata kondisi darurat politik terjadi sebab kegaduhan kebijakan DPR, karena rakyat terus-terusan ngotot menuntut bubarkan DPR, maka militer punya kemungkinan untuk mengambil langkah sepihak dengan atau tanpa perintah presiden untuk memaksa DPR agar membubarkan diri.

Ini adalah cara tangan besi yang sepertinya juga sangat susah terjadi jika dilihat dengan keadaan kekinian militer kita yang cenderung lebih berpihak pada DPR dibandingkan pada demonstran yang menuntut DPR.

Tapi tentu saja kemungkinan ini bisa saja terjadi jika keadaan memang sudah genting. Tentara kan memang dari rakyat untuk rakyat. Katanya tentara dan rakyat itu manunggal. Katanya sih begitu.

Rakyat “menduduki” gedung DPR dan mengusir anggota DPR

Sepertinya inilah cara yang paling masuk akal yang mungkin bisa ditempuh bersama untuk mewujudkan cita-cita “mulia” membubarkan DPR.

Kalau memang rakyat kompak total, maka cara ini bisa ditempuh. Rakyat hanya harus menyiapkan logistik untuk memboikot dan menyandera gedung DPR dalam waktu yang sangat lama. Mungkin sebulan, dua bulan, tiga bulan, atau malah sampai setahun. Nanti selama menduduki gedung, rakyat bisa memanfaatkan segala fasilitas yang ada. Mic rapat yang sering dimatikan mendadak bisa digunakan untuk berkaraoke semalam suntuk. Atap gedung DPR yang lebar dan luas itu bisa digunakan untuk jemur pakaian dan kerupuk gendar. Ruang-ruang anggota dewan yang pasti adem dan nyaman itu bisa dibikin minimarket lokal untuk memenuhi kebutuhan orang-orang yang menduduki gedung. Pokoknya semuanya dimanfaatkan.

Kalau memang rakyat ingin pembubaran DPR terjadi, maka terjadilah, sebab sesungguhnya kekuasaan itu memanglah ada di tangan rakyat, to?

Nah, itulah empat cara yang mungkin bisa diupayakan bila ingin membubarkan DPR.

Tentu saja tulisan ini sama sekali tidak bertujuan untuk provokasi. Tulisan ini saya tulis semata untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan rakyat semata, juga sebagai pengingat kepada anggota DPR yang terhormat, jika selalu ada jalan untuk menumbangkan kesewenang-wenangan.

Merdeka!

BACA JUGA 3 Kebiasaan Anggota DPR yang Efektif Cegah Penyebaran Corona dan tulisan Thariq Munthaha lainnya. 

Exit mobile version