Sebelum Listrik PLN Masuk Kampung Saya: Lebih Baik Nyalain Diesel daripada Mengutuk Kegelapan

Sebelum Listrik PLN Masuk Kampung Saya: Lebih Baik Nyalain Diesel daripada Mengutuk Kegelapan

Sebelum Listrik PLN Masuk Kampung Saya: Lebih Baik Nyalain Diesel daripada Mengutuk Kegelapan

MOJOK.COListrik PLN baru masuk kampung saya pada 2017. Sebelum itu, peradaban listrik memang sudah dikenal, tapi via diesel dan genset.

Banyak sekali orang yang tidak percaya kalau kampung saya baru dialiri listrik PLN pada tahun 2017. Btw, itu setahun setelah saya wisuda sarjana di salah satu kampus di Jogja.

Beberapa menanggapi dengan pertanyaan, “Rumah kamu ndeso banget, po?” Atau yang ajaib, ada yang bertanya, “Itu masih di Indonesia?”

Agak repot menjawabnya. Apalagi jika yang bertanya itu hanya mengenal peradaban di Pulau Jawa. Yang di kota-kota pulak. Wajar kalau kemudian segala sesuatu selalu diukur dengan kacamata orang Jawa (kota). Standar keadilan sosial pun kebanyakan dinilai dari situ.

Contohnya ya orang-orang gampang ngeluh kalau ada pemadaman beberapa jam saja. Level kemarahan pun biasanya meningkat kalau pemadaman tanpa pemberitahuan. Heleh, amatir!

Ha mbok sabar wong bayar pajaknya juga sama. Di kampung saya, dulu sebelum 2017, saya dan tetangga-tetangga biasa banget bergelap gulita selama berhari-hari. Terutama kalau dieselnya lagi ngadat. Nggak perlu sampai ngadat deh, solar lagi langka aja, kampung saya bakal gelap gulita berhari-hari.

Sebelum kamu bertanya-tanya, kok ada daerah seperti itu, maka tidak ada salahnya kalau saya mesti memperkenalkan diri dulu ke Anda-Anda semua.

Jadi gini. Meski saya memiliki nama “Jawa” banget dan ada unsur nama presiden di situ, saya sebenarnya ber-KTP luar Jawa, salah satu kabupaten di Sumatra (saya nggak berani nyebut karena agak sensitif).

Kemelaratan telah membuat orang tua saya menyeberangi lautan untuk sampai di sebuah pulau impian bernama Sumatra itu. Yak betul, saya adalah anak kandung dari program transmigrasi zaman Orde Baru.

Gagap teknologi dari kampung saya dengan kota-kota di Jawa pada akhirnya jadi pengalaman tak terlupakan bagi saya. Apalagi ketika saya merantau ke Jawa, belasan tahun silam.

Hal pertama yang saya kagumi di Jawa adalah, kok bisa ya di sini ngecas hape atau nyolokin sesuatu ke stop kontak listrik seenaknya? Padahal di kampung saya dulu, saya harus menunggu jam 6 sore untuk mendapat pasokan listrik. Waw, ajaib bener ini Jawa.

Di Jawa sini, orang bisa menikmati listrik 24 jam non-stop, dan itu sesuatu yang biasa. Di kampung, saat saya kecil, untuk belajar saja keluarga saya harus menggunakan aki (accu). Iya, aki buat mobilmu itu kalau di rumah saya, ya dipakai untuk nyalain lampu dan tipi.

Tanpa listrik PLN, setiap rumah di kampung saya harus memiliki (setidaknya) dua bongkah aki. Jadi sudah jadi pemandangan umum kalau keluarga saya setiap beberapa hari sekali ke tempat pengecasan aki di luar kampung, agar malamnya tidak gelap gulita.

Aki itu hanya bisa digunakan beberapa jam saja. Setelah pukul 9 malam, lampu yang menyala dari aki harus segera dimatikan dan saya disuruh untuk tidur. Haya mahal jeh ngecas aki itu.

Nasib baik lantas datang ketika beberapa dari kami bisa iuran untuk beli mesin diesel. Itu terjadi sekitar tahun 2000. Satu diesel, bisa untuk daya listrik sekitar 30-an rumah. Lumayan banyak.

Memang sih suaranya mengganggu, kayak mesin selepan padi. Namun mau apa dikata, suara gemuruh diesel itulah yang bikin suasana kampung saya jadi lebih hidup. Jalanan jadi agak terang karena lampu-lampu rumah jadi makin banyak yang bisa dinyalakan.

Dari sana, orang-orang lantas mulai menanam tiang untuk kabel di depan rumahnya. Beberapa warga yang mampu, akhirnya mulai berani membeli tipi. Sebelumnya, di satu kampung hanya ada 2 kotak tipi: di balai desa dan rumah seorang warga.

Saya ingat dulu jalan kaki melewati jalan-jalan gelap pakai senter untuk sekadar menonton. Kedatangan diesel mengubah cara kami menikmati indahnya kehidupan malam.

Ya maklum, daya diesel jauh lebih kuat daripada aki. Yang kalau dipaksain nyalain tipi pakai aki, gambar di tipi bisa goyang-goyang ala video klip “Unintended” (Muse) versi low budget. Dengan diesel, tayangan tipi pun jadi stabil gambarnya.

Akan tetapi, “surga diesel” itu pun hanya bertahan dari jam 6 sore hingga pukul 10 malam. Setelah itu kami harus bergelap ria lagi. Maklum, solar itu mahal. Belinya juga jauh dari kampung.

Nah, bagi orang-orang mampu, mereka akan membunyikan diesel pribadi yang dayanya tidak sebesar diesel patungan warga kampung. Dan ketika itu terjadi, rasanya mungkin seperti sedang ada pasar malam kalau di Jawa.

Dari awal 2000-an lalu beranjak ke 2009, kampung saya mengalami sedikit kemajuan. Rumah-rumah mulai dipasangi sekering. Itu bisa terjadi karena Pemerintah Desa berhasil mendatangnya diesel raksasa yang bisa menerangi ratusan rumah.

Meski itu bukan listrik PLN, saya tetap saja bersyukur karena rumah sudah memiliki tagihan listrik bernota. Kabel yang dipasang pun sudah sebesar kabel listrik dari PLN. Jam hidup listrik pun bertambah menjadi jam 6 sore hingga jam 6 pagi.

Pada masa itu saya mulai jamak merasakan kehidupan orang kaya, kayak punya blender misalnya. Iya, blender. Alat sederhana itu, seolah jadi penanda kampung saya mulai akrab dengan peradaban listrik.

Memangnya kampung saya ini ada di pedalaman hutan? Kok sampai listrik PLN nggak nyampai? Ya tidak juga sebenarnya.

Kampung saya berada di jalur strategis yang menghubungkan kilang perusahaan minyak, perusahaan besar btw. Tiang listrik pun membentang sepanjang jalan raya, tak terlalu jauh dari kampung saya. Cuman memang, tiang-tiang litrik itu pasokan listriknya nggak ada satu pun yang masuk kampung saya.

Padahal kalau dipikir-pkir lagi, provinsi saya itu menjadi salah satu provinsi dengan tingkat percepatan ekonomi terbaik di Indonesia. Nyaris mustahil menemukan kemiskinan seperti standar amil zakat. Ironisnya, listrik PLN di kampung saya malah baru masuk empat tahun lalu.

Sebenarnya, keinginan warga kampung saya mendapat aliran listrik PLN itu sudah dari dahulu kala. Sayangnya, di daerah kampung halaman saya ini, ada perusahaan minyak yang menguasai jalur listrik PLN di situ. Dan perusahaan itu enggan berbagi listrik dengan warga sekitar.

Kalau kamu belum pernah dengar bagaimana negara lebih dengerin perusahaan kaya raya ketimbang rakyatnya… ya warga kampung saya merupakan salah satu saksi hidupnya. Kebutuhan listrik PLN, digunakan sebesar-besarnya untuk rakyat perusahaan.

Dengan pilihan sulit semacam itu (rakyat kecil mana bisa melawan perusahaan besar, Bos), ya orang-orang di kampung saya akhirnya berusaha kreatif dan tidak bergantung pada fasilitas yang memanjakan. Bertahan hidup dengan nrimo ing pandum. Pakai aki, pakai diesel.

Untungnya, kehidupan sekarang sudah jauh lebih baik. Kini tanpa suara diesel, lampu-lampu rumah sudah bisa menyala pakai listrik PLN. Suara speaker masjid juga lantang menggema. Saya pun mbatin, “Wah, sudah Jawa banget ini kampungku.”

Hingga pada suatu hari, kampung kami sempat dikejutkan karena ada pemadaman listrik PLN lebih dari dua belas jam. Konon, di pusat pembangkit listriknya ada kerusakan. Butuh beberapa jam atau bahkan sehari lagi untuk menyala.

Sebenarnya kami bisa saja menyalakan genset atau diesel. Cukuplah sekadar untuk mengisi daya laptop. Masalahnya, di kampung saya mati listrik sama dengan hilang sinyal. Jadi itu ya sama saja kalau kebutuhan warga kampung saya adalah WFH atau kuliah daring.

Apalagi, karena empat tahun sudah terbiasa dengan listrik PLN, kami jadi agak kurang persiapan kalau mau nyalain diesel (kadang stok solar juga nggak ada). Pada akhirnya kami pasrah aja nunggu listrik PLN kembali nyala.

Beberapa tetangga pun jadi ikut mengeluh karena bermacam kebutuhan rumah tangganya kini bergantung pada listrik PLN. Ada kulkas, mesin cuci, pompa air, dan lainnya. Sesuatu yang tak akan mereka keluhkan sebelum 2017, alias sebelum listrik PLN masuk kampung saya.

Ketika mendengar keluhan-keluhan itu, saya kembali mbatin, “Wah, sudah Jawa banget ini kampungku.

BACA JUGA 7 Tips Menghemat Biaya Listrik dan tulisan Sarjoko lainnya.

Exit mobile version