Saat Agama Menjadi Persoalan, Bukan Solusi

MOJOK.CO Adalah aneh ketika novel Indonesia tidak banyak merekam ketegangan beragama yang sebenarnya merupakan realitas sehari-hari dan lebih memberi porsi pada agama untuk tampil sebagai solusi.

Katrin Bandel, ahli sastra Indonesia asal Jerman, suatu kali di tahun 2004 pernah mengeluhkan jarangnya karya sastra yang melontarkan kritik terhadap agama tertentu atau yang mengangkat konflik yang berhubungan dengan agama sebagai tema, dalam arti konflik antarumat atau konflik batin. “Hal ini sebetulnya cukup mengherankan mengingat betapa pentingnya persoalan agama dan spiritualitas dalam keseharian kebanyakan orang Indonesia,” demikian tulis Katrin.

Dalam hampir dua dekade terakhir ketegangan dan konflik antaragama benar meningkat dan insiden kekerasan bernuansa agama terjadi di berbagai tempat. Memang agak mengherankan kenapa “agama sebagai tema, dalam arti konflik antaragama atau konflik batin” itu jarang diangkat. Di sisi lain, agama sebagai latar belakang atau sebagai solusi masalah bertebaran dalam banyak karya sastra populer seiring dengan meningkatnya minat beragama belakangan ini.

Novel Maryam karya Okky Madasari yang merupakan pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa 2012 barangkali merupakan jawaban terhadap keluhan Katrin. Pengarang perempuan ini mengangkat kasus pengusiran warga Ahmadiyah di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) sebagai tema novelnya. Jelas sekali dalam narasinya, agama diajukan sebagai pertanyaan daripada jawaban. Agama merupakan persoalan daripada solusi.

***

Ditulis dengan sudut pandang orang ketiga, novel dengan ketebalan 275 halaman ini menceritakan kehidupan Maryam Hayati, seorang perempuan ahmadi muda. Cerita bermula ketika Maryam yang telah sukses di Jakarta memutuskan untuk menengok orangtua di kampungnya setelah sekira tiga belas tahun tidak pernah pulang. Ia memang selama ini telah pergi dan putus dari keluarga dan komunitasnya ketika dipaksa orangtuanya untuk memilih “menjadikan suaminya sebagai ahmadi atau meninggalkannya”. Ia menolak keduanya.

Apa yang terjadi, ketika ia sampai di kampungnya, orangtua dan keluarganya sudah tidak ada. Rumahnya sudah dipakai oleh bekas pembantu bapaknya. Orang-orang kampungnya pura-pura tidak mengenalnya dan bahkan takut berhubungan dengannya. Dari cerita Jamil, yang menunggu rumahnya, ia jadi tahu keluarganya telah diusir dari kampung tersebut karena dianggap sesat.

Maryam sedih dan terpukul sekali. Ia merasa mengabaikan orangtuanya selama ini dan tidak tahu sama sekali di mana dan bagaimana keadaan keluarganya. Ia juga bingung mengapa hal itu bisa terjadi padahal selama ini hubungan mereka dengan tetangga dan warga kampung baik-baik saja. Keluarganya juga bukan penganut Ahmadiyah yang baru, tapi sudah generasi ketiga.

Memang ada perbedaan antara mereka dan mayoritas warga kampung dalam hal beragama. Tetapi, bagi warga kampung “yang penting tak ada lagi kelaparan. Semua orang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan. Setiap hal yang mereka lakukan untuk mempertahankan kehidupan. Termasuk dengan ber-Tuhan….” Jadi ketika kesadaran akan perbedaan itu muncul, yang keluar adalah “yang penting sama-sama Islam”. Demikian yang berlaku selama ini.

Maryam kemudian mencari keluarga serta warga kampungnya yang terusir. Ternyata setelah hidup di pengungsian, mereka dan termasuk keluarga Maryam membangun ekonominya kembali dan membeli tanah di luar kota Mataram, ibu kota NTB. Maryam bergabung kembali dengan keluarganya dan memutuskan untuk tidak kembali ke Jakarta. Ia ingin berdekatan lagi dengan orangtua dan adiknya setelah hari-hari yang hilang akibat pertengkaran dulu.

Ia mencoba kembali ke kampungnya lagi. Terutama dengan alasan mereka tidak bersalah dan rumah itu masih milik orangtuanya. Tetapi, ia kembali diusir oleh kiai dan kepala desa, yang merupakan teman masa kecilnya. Alasan mereka, orang Ahmadiyah sesat dan kampung butuh ketenangan dan kedamaian. Yang menyedihkan, orang-orang yang dulu mengenal dekat keluarganya hanya diam dan secara tidak langsung mendukung tindakan pengusiran itu.

Tragisnya, di kampungnya yang baru di pinggiran Kota Mataram, mereka kembali diusir. Seperti semula, mereka juga memiliki hubungan baik dengan tetangga dan warga kampung, tetapi hal ini seperti tak berarti apa-apa. Orang-orang diam saja ketika massa dari kampung lain mengusir mereka. Alasan massa bahwa mereka sesat bekerja dengan efektif dan jitu untuk memuluskan pengusiran dan kekerasan yang mengiringnya. Polisi, mereka memilih mengungsikan warga Ahmadiyah daripada menghalau massa yang menuntut pengusiran.

***

Tema novel ini jelas menarik dan aktual. Okky berhasil merekam perasaan-perasaan dan dilema-dilema psikologis tokoh-tokohnya yang menderita diskriminasi, prasangka, dan akhirnya kekerasan aktual berupa pengusiran. Kehilangan hak beragama, hak atas harta benda, dan akhirnya hak atas kehidupan itu sendiri. Narasinya terhindar dari menjadi semacam laporan reportase.

Okky juga cukup seimbang dalam melukiskan karakter keagamaan. Misalnya dalam meneropong orientasi keagamaan, dengan jelas dikemukakan bahwa Ahmadiyah, sebagai konsekuensi logis dari pemahaman keagamaannya, memang cenderung eksklusif. Mereka hanya salat dan mengaji di masjid sendiri dan dalam hal perkawinan, hanya akan kawin-mawin dengan sesama ahmadi. Pelanggaran atas itu sama saja dengan keluar dari Ahmadiyah.

Di luar bahwa ada alur cerita yang terasa tidak logis, Okky adalah pencerita yang lincah. Ia tak suka bergenit-genit dengan kata dan kalimat. Bahasanya lancar dan sederhana. Dalam melukiskan peristiwa-peristiwa tertentu, ia berhasil mengundang keharuan dan simpati pembaca pada tokoh-tokoh ceritanya yang menjadi korban dan menderita.

Sebagai penulis perempuan, perspektif perempuannya juga terasa sangat kuat. Bahwa tokoh utama novel ini adalah Maryam telah menunjukkan kecenderungan ini. Perempuan dan anak adalah korban dalam setiap konflik dan kekerasan. Sebagai contoh, dalam perkawinan antaragama, termasuk dalam hal perkawinan antara ahmadi dan non-ahmadi, si perempuanlah yang harus mengikuti suaminya. Itulah sebabnya ia akhirnya bercerai dengan suaminya, Alam, karena selain alasan belum punya anak, juga karena orangtua suaminya selalu menuntut dia untuk keluar dari Ahmadiyah. Hal ini juga terjadi pada adiknya, Fatimah yang keluar dari Ahmadiyah karena mengikuti suaminya. Artinya, ia harus tercerai dari orangtuanya.

Perspektif perempuan ini sangat terasa dalam bagian ketika ayahnya meninggal dan berwasiat untuk dimakamkan di kampungnya. Warga kampung menolak dengan alasan ayahnya bukan penduduk kampung itu lagi dan sesat. Akibat penolakan itu, terjadi perkelahian antara warga Ahmadiyah dan warga kampung. Perkelahian yang tak seimbang karena warga kampung jauh lebih besar jumlahnya. Maryam kemudian berdiri dengan kokoh dan berteriak keras meminta perkelahian dihentikan. Ia mengalah tidak akan memakamkan ayahnya di sana dan mengatakan akan membawa jenazah ayahnya ke Mataram. Karena teriakan itu, perkelahian pun berhenti.

Novel ditutup dengan sebuah surat yang ditulis dan dikirim oleh Maryam. Surat itu demikian bersahaja dan mengharukan, menceritakan penderitaan mereka selama tinggal di transito, lalu bertanya-tanya kapan mereka bisa kembali ke kampung sendiri. Kampung tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan.

Surat itu ditujukan kepada “Bapak”. Tidak dijelaskan siapa “Bapak” ini, apakah Bapak Presiden, Bapak Gubernur, Bapak Bupati, Bapak Kepala Desa, Bapak Tuan Guru. Siapa pun bapak itu, dia pasti laki-laki. Dan dengan itu jelas, kekerasan ini berawal dan beroperasi karena ego patriarki.

Baca edisi sebelumnya: Kurang Piknik Jiwa dan Raga dan tulisan di kolom Iqra lainnya.

Exit mobile version