MOJOK.CO – Saya S3 di Bandung sementara istri PNS di Makassar dengan bayi 18 bulan. Inilah wujud jungkir balik rumah tangga yang nyata adanya.
Ada satu suara yang kini lebih sakral daripada azan Subuh dan notifikasi email promotor, yaitu tangisan bayi 18 bulan kami. Suara kecil itu bisa membangunkan dua orang dewasa yang sama-sama letih. Saya, mahasiswa S3 di Bandung, dan istri saya, PNS di Makassar.
Di jam satu dan tiga pagi, teori tentang “keluarga egaliter” diuji habis-habisan. Siapa yang bangun duluan? Yang S3 karena waktunya lebih fleksibel? Yang PNS karena besok bisa pulang sebelum jam kantor selesai? Atau kami sama-sama diam lima detik, berharap ada keajaiban?
Sebelum menikah, kami sepakat soal pembagian peran yang setara. Namun, hidup jauh lebih rumit dari rencana. Ada tiket Bandung-Makassar yang mahal, rapat kantor yang muncul tiba-tiba, revisi jurnal yang tak kenal ampun, dan popok yang punya kemampuan magis yaitu selalu habis tepat ketika saldo ATM ikut menipis.
Pelan-pelan kami belajar bahwa beban pengasuhan tidak hanya soal siapa yang lebih peka. Ini soal struktur sosial-ekonomi yang tidak pernah benar-benar memihak orang tua.
Dan lucunya, saat menulis ini pun saya sempat berhenti karena tangisan kecil dari kamar sebelah memaksa saya menunda beberapa menit. Ada jeda yang tak terlihat di antara kalimat-kalimat ini, berisi botol yang dipanaskan dan punggung kecil yang ditepuk sampai tenang kembali.
Kerja reproduksi yang disubsidi tubuh perempuan
Selama 18 bulan pertama menjadi orang tua membuat saya benar-benar memahami apa itu kerja reproduksi sosial. Semua kerja yang menjaga kehidupan berjalan, mulai dar mengandung, melahirkan, menyusui, menenangkan anak, memasak, sampoai mencuci, tidak pernah dianggap sebagai “kerja produktif.”
Yang dihitung sebagai kontribusi adalah angka kredit PNS, publikasi S3, rapat, dan laporan. Sementara kerja yang membuat semua itu mungkin justru disembunyikan di ruang privat rumah, lalu diberi label “kodrat.”
Istri saya bisa rapat seharian dan tetap dipanggil pertama saat anak rewel. Saya bisa menulis tugas S3 sampai larut dan tetap harus bangun kalau bayi menangis. Tapi di slip gaji atau KRS, semua itu tidak terlihat. Yang tercatat hanya “pegawai” dan “mahasiswa,” bukan “orang tua” dengan segala beban tak terlihatnya.
Ketika saya mengganti popok atau begadang, komentar yang muncul sering begini:
“Wah, bapaknya hebat, mau bantu istrinya.” Seolah pengasuhan adalah tugas alami ibu, dan ayah hanya hadir jika berbaik hati. Padahal itu tanggung jawab bersama.
Dan kami sadar, posisi kami masih relatif beruntung. PNS dan saya yang kuliah S3 sama-sama punya gaji tetap, akses pendidikan, dan jaringan bantuan. Banyak keluarga buruh pabrik, driver ojek online, pedagang kecil, atau pekerja kontrak yang jam kerjanya lebih kacau dan penghasilannya lebih rapuh. Mereka mungkin tidak punya waktu memikirkan istilah “reproduksi sosial,” karena setiap hari fokus memastikan makan hari ini cukup.
Jadi ketika kami mengeluh, itu bukan klaim bahwa hidup kami paling berat. Justru sebaliknya. Kalau di posisi kami yang lebih aman saja pengasuhan sudah seberat ini, bisa dibayangkan betapa brutalnya sistem ini bagi keluarga kelas pekerja lainnya.
Kapitalisme dan mimpi buruk “fleksibilitas” di balik mahasiswa S3
Karena berstatus mahasiswa S3, saya sering dianggap punya banyak “waktu luang.” Di imajinasi banyak orang, S3 berarti nongkrong di kafe sambil mengetik, membaca buku, dan bekerja dari mana saja. Di brosur, itu disebut fleksibilitas.
Dalam kenyataannya, fleksibel berarti jam kerja yang merembes ke seluruh hidup. Revisi bisa datang kapan saja, email jurnal mampir dini hari, dan deadline muncul seperti pop-up iklan. Hari yang terasa tidak produktif langsung memunculkan rasa bersalah, seolah bermain lebih lama dengan anak adalah bentuk pembangkangan akademik.
Istri saya, sebagai PNS, hidup dalam logika serupa. Di atas kertas, jam kerja selesai 16:30. Namun, rapat sering datang di luar jam resmi, pekerjaan administratif ikut pulang ke rumah, dan ada ekspektasi samar bahwa dia harus selalu “siap” kapan saja dibutuhkan.
Kapitalisme membungkus semua ini sebagai profesionalisme. Yang tidak dihitung adalah biayanya di rumah. Anak yang lebih sering melihat orang tuanya menatap layar karena tugas S3 dan rapat PNS daripada menatap wajahnya, pasangan yang saling membalas “aku juga capek,” dan beban pengasuhan yang akhirnya berhenti di satu pihak. Biasanya ibu.
Di titik itu, kami melihat bahwa runtuhnya mimpi keluarga egaliter bukan karena pasangan “kurang berusaha”. Semua karena jam kerja dan mekanisme produksi nilai memang tidak memberi ruang untuk adil. Pekerja ideal menurut sistem adalah mereka yang seolah tidak punya anak, tidak punya tubuh yang bisa sakit, dan tidak punya kebutuhan selain bekerja.
Negara senang punya PNS, tapi absen di kamar bayi
Istri saya PNS. Di spanduk dan pidato, PNS dipuji sebagai “abdi negara.” Tapi, ketika kami kebingungan membagi waktu antara kantor, studi, dan pengasuhan, terasa sekali bahwa negara hadir dalam bentuk slip gaji, tapi lenyap di kamar bayi.
Kebijakan yang benar-benar ramah keluarga seperti penitipan anak yang layak, jam kerja yang realistis untuk orang tua muda, skema kerja fleksibel yang bukan hanya nama. Masih lebih sering jadi bahan seminar ketimbang kenyataan. Cuti melahirkan ada, tapi setelah itu? Pertanyaan “siapa jaga anak?” dibiarkan menggantung di langit-langit ruang tamu.
Akibatnya jelas. Kantor menuntut produktivitas, kampus menuntut publikasi dan kelulusan tepat waktu, dan bayi tetap butuh susu jam tiga pagi. Kalau ada orang tua yang kewalahan, yang disalahkan biasanya: orangnya. “Kurang manajemen waktu.” “Kurang dewasa.” “Kurang bersyukur.”
Padahal, mungkin bukan kita yang kurang dewasa. Mungkin sistemnya yang memang tidak pernah dirancang untuk makhluk bernama orang tua.
Bandung-Makassar: Mobilitas mahasiswa S3, tiket promo, dan prekariat
Ritme hidup kami diatur oleh dua titik di peta: S3 di Bandung dan PNS di Makassar. Di antara keduanya, ada kursi pesawat ekonomi yang menjadi saksi banyak renungan eksistensial: pulang sekarang atau nanti, lama di sini atau di sana, uang cukup atau cukup-cukupan.
Bolak-balik Bandung-Makassar bukan cuma urusan kangen. Itu juga soal berapa banyak tabungan yang harus dikorbankan, tugas S3 yang harus ditunda, dan beban pengasuhan yang sempat saya ambil alih sebelum kembali ke Bandung. Setiap perjalanan adalah kompromi.
Kapitalisme suka dengan narasi mobilitas. Kuliah di kota lain, PNS di daerah, “membangun jaringan” ke mana-mana. Tapi ada biaya sosial dari mobilitas itu yang jarang dihitung. Anak yang tumbuh dengan jarak, dan pasangan yang terbiasa mengurus banyak hal sendirian. Itu semua digolongkan sebagai “konsekuensi pribadi.”
Sekali lagi, kami sadar, bisa bolak-balik Bandung-Makassar saja sudah termasuk privilese. Banyak keluarga baru yang sekadar mudik setahun sekali saja harus berpikir berkali-kali karena gaji habis duluan untuk sewa rumah, cicilan, dan harga beras.
Kalau kami yang relatif punya akses saja sering merasa jungkir balik, bagaimana dengan keluarga yang hidup di ujung upah minimum dan kerja harian? Di titik ini, semakin jelas bahwa urusan pengasuhan tidak bisa dilepaskan dari struktur ekonomi yang memaksa banyak keluarga hidup dalam mode bertahan, bukan berkembang.
Keluarga egaliter: Berenang melawan arus
Dalam banyak nasehat rumah tangga, konflik soal pembagian tugas sering dianggap masalah karakter. Suami kurang peka, istri terlalu sensitif. Dari luar, gesekan kecil kami mungkin terlihat seperti itu juga. Padahal, sebagian besar muncul karena kami sedang berenang melawan arus.
Arus itu sudah hafal rumusnya:
Ibu = pusat rumah tangga sekaligus penjaga anak.
Ayah = pencari nafkah yang “turun tangan kalau sempat.”
Kami mencoba merombak pola lama itu. Misalnya menegosiasikan siapa yang bangun malam, cuci piring, mengurus imunisasi atau dokter. Kadang tertib, kadang berantakan, dan sering baru dibahas setelah emosi turun. Saya dianggap fleksibel sebagai mahasiswa S3 dan istri PNS.
Keluarga egaliter bukan rumah tanpa konflik. Justru banyak percakapan tidak nyaman yang harus dilakukan agar beban tidak otomatis jatuh ke satu pihak. Bagi kami, ini bagian dari upaya kecil agar kelelahan struktural itu tidak diwariskan ke generasi berikutnya.
Dan kami sadar, posisi kami bukan yang paling berat. Banyak keluarga lain bertarung tanpa rumah layak, tanpa jaminan kerja, tanpa akses kesehatan yang memadai. Kalau ada yang lebih berhak marah pada sistem, mereka duluan.
Tulisan ini bukan ingin bilang hidup kami paling susah. Kami ingin menunjukkan bahwa bahkan keluarga kelas menengah dengan pendidikan dan pekerjaan tetap pun bisa retak di bawah logika sistem sekarang.
Di antara bayi, disertasi, dan kapitalisme
Bayi 18 bulan kami tentu belum paham kapitalisme. Kosakata terbaiknya masih “mama”, “baba”, dan beberapa bunyi lain yang mirip nama partai.
Tapi dia melihat. Dia melihat ayahnya menyapu lantai dan ibunya rapat lewat laptop. Dia melihat ibunya mengganti popok sementara ayah menatap layar penuh tulisan, lalu beberapa jam kemudian gantian. Anak saya melihat bahwa di rumah ini, kerja tidak otomatis dibagi berdasarkan jenis kelamin, tapi berdasarkan kemampuan dan kesepakatan hari itu.
Apakah itu akan cukup untuk melahirkan manusia yang kritis dan cinta kesetaraan? Tidak ada jaminan. Di luar rumah, dia akan bertemu sekolah, media, dan lingkungan yang barangkali masih memuja pola lama.
Tapi setidaknya, kami sedang mencoba membuat satu ruang kecil yang tidak sepenuhnya tunduk pada logika patriarki dan kapitalisme. Kami membuat ruang di mana pengasuhan tidak dicap sebagai “kodrat perempuan,” dan ayah bukan tokoh tamu yang hanya muncul di akhir pekan.
Kalau suatu hari ada yang bertanya kenapa kami sering terlihat lelah, mungkin jawabannya bukan sekadar, “Karena punya bayi 18 bulan.” Jawabannya kira-kira begini: kami lelah karena sambil meninabobokan anak, kami juga sedang melawan sistem yang lebih suka keluarga rapi patriarkis daripada keluarga yang berantakan tapi jujur berusaha adil.
Sisanya? Kami cicil pelan-pelan, berdua.
Seperti cicilan KPR, cicilan motor, dan draft artikel jurnal yang entah kenapa selalu minta revisi tepat di hari ketika bayi susah tidur.
Penulis: Muhammad Ifan Fadillah
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Ketika Suami Menawarkan Diri Jadi Bapak Rumah Tangga dan cerita menarik lainnya di rubrik ESAI.
