MOJOK.CO – Gus Nur ternyata dai yang anak ’90-an.
Setelah cukup lama vakum dari pembicaraan, Gus Nur kembali mengguncang dunia silat lidah media sosial dengan sebuah penemuan fenomenal yang membuat tercengang. Di sebuah forum pengajian, dai yang pernah dikenal dengan “Dakwah Kubur”-nya ini memunculkan sebuah fakta mengejutkan mengenai arti nama Jokowi.
Dalam video yang beredar di YouTube, Gus Nur menyebutkan nama Jokowi punya urutan abjad yang jika dijumlahkan akan menghasilkan angka “83”. Rumusnya pun cukup sederhana. Huruf “JOKOWI” diurutkan saja, misalnya huruf “J”, ada di urutan ke-10 dalam abjad, huruf “O” ada di urutan ke-15, dan seterusnya. Lalu ketika sampai semua huruf sudah memiliki angka, semuanya dijumlahkan… lalu—taraaaaaa… hasilnya 83.
Hm, brilian. Saya yakin jika Stephen Hawking masih hidup, beliau akan menyesal tidak mampu menghasilkan rumus seperti ini.
Nah, dari angka tersebut Gus Nur lalu mencocokkan dengan urutan surat dalam Al-Quran yang TERNYATA tertuju ke surat Al-Muthaffifin. Surat mengenai kumpulan orang-orang yang curang.
So emejing! So esketing!
Terang saja rumus ini segera digunakan oleh warganet untuk balik menyerang Gus Nur, menggunakan pendekatan serupa untuk melihat jatuh di mana nama Gus Nur dalam urutan surat Al-Quran. Hasilnya? Yaelah, kamu itung aja sendiri, males amat seh.
Harus diakui sidang jemaat yang berbahagia, Gus Nur ini memang manusia langka yang meramaikan dunia per-“gus”-an belakangan ini. Tidak seperti Gus Tommy Soeharto yang mendapatkan gelar “gus” dari Forum Ulama Berkarya atau Gus Mus dan Gus Dur yang karena ogah dipanggil “Kiai”, Gus Nur mendapatkan gelar gus dari…
Beliau adalah contoh bagaimana gelar “gus” tidak bisa lagi dimonopoli oleh hubungan darah bapak dengan anaknya. Hebat, bukan?
Ibarat perjalanan meniti karier, Gus Nur benar-benar mendapatkan kepercayaan dari umatnya dari kerja kerasnya sendiri tanpa meminjam kebesaran nama besar keluarganya. Dan untuk yang satu ini, tanpa berniat untuk mengejek, saya sangat salut dengan beliau. Beliau adalah contoh bagaimana dengan kesungguhan, siapa pun bisa jadi apa pun yang diinginkan. Bahkan menjadi ulama tanpa belajar di pondok pesantren lebih dahulu.
Lho? Memangnya ilmu agama hanya bisa didapatkan dari pesantren? Ada banyak ulama hebat yang bisa dijadikan guru tanpa harus punya pondok pesantren kok. Jangan terlalu mengeksklusifkan pesantrenlah, seolah-olah kalau bukan dari pesantren, nggak punya ilmu agama mumpuni. Jangan gitu-gitu amat mikirnya.
Gus Nur sendiri memang mengakui bahwa beliau tidak bisa baca kitab kuning karena beliau tidak pernah mondok, tidak pernah mencicipi ngaji sorogan atau bandongan, tapi itu bukan berarti beliau tidak bisa ngaji sama sekali. Beliau bisa kok, beliau bisa menafsirkan beberapa ayat, beliau bisa mendoakan ke umatnya dengan suara-suara yang bikin baper, dan bahkan beliau bisa juga menyampaikan materi-materi agama dengan mudah dipahami. Paling tidak, semua hal mengenai prasyarat dan syarat menjadi seorang da’i beliau ini merasa punya lho.
Sayangnya, satu hal saja yang beliau tidak punya dan itu justru yang paling penting. Apa itu? Adab. Baik adab mengritik pemimpin maupun adab menggunakan ayat-ayat kitab suci dalam berdakwah. Seperti yang beliau tunjukkan saat bikin rumus cocoklogi nama dan urutan surat kitab suci.
Saya akui, beberapa orang melihat pondok pesantren sebagai wadahnya ilmu-ilmu agama yang canggih. Bagaimana mempelajari gramatikal bahasa Arab, ilmu tafsir, sampai dengan ilmu falak. Segala perangkat ilmu agama sepertinya ada di sana. Akan tetapi satu aspek penting yang sering dilupakan adalah di pesantren semua ilmu itu dilandasi dengan adab terlebih dahulu.
Bukankah Nabi Muhammad hadir di Mekah pada mulanya bukan membenahi kemajuan ilmu pengetahuan masyarakatnya, namun persoalan adabnya lebih dahulu?
Hal-hal semacam inilah yang setahu saya menjadi salah satu alasan kenapa banyak kiai lebih memilih memondokkan putranya ke pondok pesantren lain—bukan di pondok pesantrennya sendiri. Seperti Gus Mus yang dipondokkan ke Pesantren Krapyak, Gus Dur dipondokkan ke Pondok Tegalrejo Magelang, bahkan profesor sekaliber Quraish Shihab yang notabene bukan gus sih, tapi habib, pada masa kecilnya pernah dipondokkan jauh ke Pondok Darul Hadis al-Faqihiyah di Malang.
Pada titik ini, niat mengirimkan anak ke pesantren di tempat yang jauh bukan hanya soal mencari ilmu agama, akan tetapi juga mendidik agar menjadi pribadi yang tidak merasa spesial. Sebab dengan berada di pesantren lain, seorang putra kiai tidak akan mendapatkan keistimewaan yang bisa diperoleh seperti ketika ia bisa mondok di pesantrennya sendiri.
Seorang putra kiai akan hidup sebagai seorang santri biasa di lingkungan yang jauh dari tempat ia biasa dikenal sebagai gus. Di tempat baru ia bukan siapa-siapa. Ia hanya santri biasa yang dipukuli kalau tidak ngaji atau ditakzir kalau melanggar aturan pondok. Mereka dipaksa hidup sederhana, pada perkembangannya hilang sudah label-label kehormatan bapaknya (beserta alasan seorang gus dipanggil gus), ketika berhadapan dengan teman-teman santrinya ia juga sama rentannya untuk dikerjai bahkan sampai di-bully dengan teman santri-santri yang lain.
Itulah kenapa, tidak sedikit gus (setidaknya yang saya kenal langsung) pada dasarnya cukup risih dengan panggilan itu. Bukan apa-apa, panggilan gus adalah sebuah beban yang mengerikan. Seseorang dipanggil kiai itu masih mending, ia muncul karena kemampuannya sendiri, tapi seseorang dipanggil gus itu muncul bukan dari upaya sendiri, melainkan muncul karena prestasi si “bapak”. Ini jelas bukan citra yang benar-benar menyenangkan.
Ada cukup banyak gus yang sampai enggan dipanggil gus, dan lebih memilih dipanggil mas atau kang saja. Bukan apa-apa, ada perasaan tidak nyaman ketika capaian yang dihasilkan oleh orang lain (meski dalam hal ini adalah bapaknya sendiri) harus dilekatkan pada si anak. Memang betul, ini panggilan penghormatan, tapi siapa sih yang nyaman ketika situ dihormati bukan karena kemampuan situ sendiri? Rasanya seperti dapat piala di mana situ nggak pernah ikut lombanya, ya nggak sih?
Hal ini yang mungkin jadi jawaban, kenapa cukup banyak gus yang jauh lebih bersajaha jika yang bersangkutan pernah mondok (nggak semua sih—saya tahu, tapi beberapa gus yang saya kenal seperti itu). Alasannya sederhana, karena beliau-beliau ini pernah juga jadi santri biasa. Tahu rasanya, pernah mengecap pahit-pahitnya.
Yang artinya, beliau pernah menjadi umat yang ia ceramahi ketika yang bersangkutan jadi dai. Pernah jadi umat yang ia nasihati sendiri. Pernah jadi umat yang ia tegur sendiri. Hal-hal yang kemudian mendidik para gus ini jadi lebih memiliki adab ketika sedang ceramah atau menegur seseorang.
Bahkan, ketika yang bersangkutan sudah menjadi kiai pun, orang-orang macam ini akan selalu bersahaja. Salah satu teman saya misalnya, yang saat ini dipercaya mengasuh salah satu pondok pesantren di Jawa Timur, sering kali mengeluhkan bentuk penghormatan santri-santrinya sendiri yang menurutnya jadi berlebihan.
Hal yang diakui malah membuatnya tidak nyaman. Asal situ tahu saja, teman saya ini kuliah sembari mondok di salah satu pondok mentereng di Jogja. Kehidupannya selama sekolah dan kampus, ya biasa-biasa aja. Nggak mungkin ada teman kampusnya yang ujug-ujug cium tangannya mentang-mentang teman saya ini gus. Biasa aja.
Teman saya ini kemudian cerita, kalau setiap dirinya lewat depan rumahnya sendiri di daerahnya, semua santri yang sedang berada di depan halaman rumah, seketika itu juga akan menghentikan aktivitasnya. Sak-dek, sak-nyet.
Berdiri mematung dan hanya berani melihat ke bawah. Mau itu ada yang sedang main bola, nyapu, bersih-bersih, bahkan sampai ada yang tadinya lari ngebut ke kamar mandi buat boker, semua akan menghentikan gerakannya. Benar-benar seperti lagi main “jadi patung” tapi yang ikutan main satu sekolah gitu.
Dan kiai muda ini selalu bilang ke santri-santrinya, “Sudahlah, kalau aku lewat mbok kalian tetep biasa aja ya? Kalau mau lewat, ya lewat aja, nggak usah rikuh begitu.”
Barangkali baginya, ia tidak ingin dihormati karena sejak duduk di bangku sekolah sampai dengan kuliah ia hidup bersama teman-teman santrinya yang senasib. Tidak punya kedudukan, tidak memiliki keistimewaan sehingga ketika dianugerahi keistimewaan mempunyai umat (dalam bentuk santri-santri), ia tidak ingin mendapatkan hormat yang berlebihan dari mereka. Hal ini tanpa disadari membentuk karakter teman saya ini jadi lebih berhati-hati dalam bertindak karena sadar bahwa dirinya tidaklah istimewa-istimewa amat meskipun faktanya ia betulan jadi kiai.
Hal semacam inilah yang saya pikir perlu dipikirkan kembali oleh Gus Nur. Bukan apa-apa, saya yakin ilmu agama beliau memang mumpuni meski nggak pernah mondok, hanya saja sangat disayangkan ketika kemampuan beliau tidak dibarengi dengan kematangan emosinal dalam menafsirkan dan menggunakan ayat-ayat kitab suci dalam dakwahnya. Hal yang malah digunakan untuk memprovokasi dengan cocoklogi rumus bikinan sendiri. Sebab, kalau mau marah-marah sendiri sih nggak apa-apa, tapi kalau marahnya ngajak-ngajak orang pakai kitab suci kan beda urusannya, Gus.
Btw, terlepas dari itu, saya jadi penasaran kalau pakai rumus dari Gus Nur ini, “MOJOK” diartikan jadi apa ya?
M = 13
O = 15
J = 10
O = 15
K = 11
Hasilnya = 64
Surat At-Taghabun, “Hari Diperlihatkannya Kesalahan-kesalahan”.
Nyuoh, kuapokmu kapan, Jok!