MOJOK.CO – Rawa Belong adalah surganya orang Betawi. Isinya cerita kepahlawanan Si Pitung hingga menjadi wujud Bhinneka Tunggal Ika ketika Imlek menjelang.
“Kenalin nih gue Sanwani, anak juragan kembang dari Rawa Belong.” Ujar Sanwani yang diperankan oleh Kasino dalam salah satu film Warkop DKI.
Sejak periode 70an, dan puncaknya di periode 90an hingga 2000an, Rawa Belong harum namanya sebab keberadaan pasar kembang yang pernah diklaim sebagai yang terbesar di Asia Tenggara. Di sana memang sebenar-benarnya pasar kembang, yang menjajakan beragam jenis dari penjuru Indonesia dan dunia. Bukan pasar kembang ala Jogja kini yang terkenal karena prostitusinya.
Mulanya pasar kembang di Rawa Belong sekadar bedeng-bedeng semi permanen dari bambu dan kayu. Kini, bangunan permanen dengan ratusan kios yang menjajakan bunga beragam bentuk, warna, dan aroma. Mulai dari bunga melati hingga tulip.
Si Pitung dari Rawa Belong
Jauh sebelum dikenal sebagai pusat penjualan kembang dan tanaman hias, Rawa Belong mula-mula dikenal lewat sosok Si Pitung. Dia adalah sosok atau kelompok yang dianggap pahlawan oleh masyarakat Betawi, tapi dicap sebagai rampok kejam buruan Belanda. Konon, hidupnya berakhir akibat peluru emas Belanda. Begitu setidaknya salah satu versi kisah perihal Pitung, meskipun banyak yang meragukan kisah versi yang ini.
Dalam kajian perihal Pitung yang beredar di khalayak, ada 2 versi besar dengan pendukung fanatiknya masing-masing. Dua versi ini memiliki banyak perbedaan yang signifikan. Perihal apa itu Pitung, misalnya. Versi pertama meyakini, Pitung adalah seorang pendekar yang berguru agama dan bela diri kepada Haji Naipin. Berbekal ilmu agama dan bela diri, dia merampok tuan tanah dan pengusaha zalim. Dia lalu membagikan hasil rampokan kepada masyarakat marjinal.
Pitung versi ini, lahir pada titimangsa 1866 di sebuah kampung bernama Pengumben. Dia wafat di usia 27 tahun setelah kena tembak Adolf Wilhelm Verbond Hinne, atau lebih dikenal dengan Schout Hinne, seorang polisi khusus berpangkat Onderschout (deputi) di Distrik Tanah Abang.
Versi kedua mempercayai bahwa Pitung adalah kelompok yang dibentuk Haji Naipin beranggotakan 7 orang yang diberi nama Pituan Pitulung. Tujuh orang ini terdiri dari beragam latar belakang. Mereka disatukan oleh keahlian bela diri dan kebencian terhadap penjajah dan tuan tanah yang bertindak semena-mena terhadap penduduk asli Jayakarta, atau wilayah yang oleh penjajah dinamakan Batavia dan Ommelanden.
Selain apa dan siapa itu Pitung yang menjadi pahlawan masyarakat Betawi, ada beberapa hal lagi yang membedakan 2 versi ini. Oleh sebab itu, perlu tulisan panjang untuk menjabarkan perbedaan keduanya, yang masing-masing pendukungnya memiliki sumber data kuat. Namun, 2 versi itu memiliki 1 titik temu. Titik temu itu bernama Rawa Belong. Baik versi pertama maupun kedua, meyakini sosok Pitung atau Pituan Pitulung berasal dari Rawa Belong dan banyak beraktivitas di sana.
Pertanyaan yang agak sulit dijawab
Kebetulan saya putra asli Betawi, asli Rawa Belong. Sejak lahir hingga usia 18 tahun 5 bulan 9 hari, saya tinggal di sana. Baik Bapak dan Ibu saya, juga lahir dan besar di sana. Pun begitu dengan kakek dan nenek saya dari pihak Bapak serta nenek dari pihak Ibu saya, berasal dari tempat yang sama.
Jadi, saya begitu terikat dengan Rawa Belong dan budaya Betawi, serta kisah-kisah yang membangun daerah di Jakarta Barat itu hingga kini. Meskipun kini saya sudah menetap di Kudus bersama istri dan seorang anak putri berusia 3 tahun 9 bulan 20 hari bernama Fathimah. Kepada Fathimah, saya sering menyebut Rawa Belong. Hingga sekali waktu, Fathimah ingin tahu tentang kampung halaman saya.
Beberapa waktu lalu, saat saya dan Fathimah bersiap tidur sementara istri saya masih asyik di dapur, Fathimah bertanya: “Aba, Rawa Belong itu apa?”
Sebetulnya jawabannya gampang saja, karena kini Rawa Belong itu adalah sebuah wilayah yang berada di Jakarta Barat, yang sebagian besar wilayahnya kini masuk Kelurahan Sukabumi Utara, Kecamatan Kebon Jeruk. Jawaban menjadi tidak lagi gampang karena pertanyaan lanjutan dari Fathimah menggunakan kata “kenapa”, bukan lagi “apa”. “Kenapa namanya Rawa Belong, Aba?”
Teori di balik nama Rawa Belong
Saya lantas menceritakan 3 teori di balik penamaan Rawa Belong. Teori bikinan kompeni berlatar tanah partikelir yang dikelola Van Blommesterjin. Lidah lokal sulit melafalkan nama itu, lantas berubah menjadi Blomen, lama-lama berubah menjadi Belong. Karena wilayahnya berawa, jadilah area tanah partikelir yang dikelola Van Blommesterjin disebut Rawa Belong. Bagi saya ini teori yang lemah. Itu saya sampaikan ke Fathimah.
Teori kedua, perihal kedermawanan seorang pria bernama Balong, Bang Balong. Dia memang tinggal di daerah berawa yang kini menjadi Rawa Belong. Bang Balong tuan tanah lokal Betawi, dikenal dermawan, rajin membantu siapa saja yang membutuhkan. Karena kedermawanannya itu dia menjadi terkenal, dan daerah tempat Ia tinggal pada akhirnya disebut daerah seperti namanya. Kisah ini cukup baik dan menarik, tetapi lagi-lagi, saya kurang percaya dengan teori ini.
Teori ketiga terkait toponimi penamaan Rawa Belong, adalah teori yang lebih bisa saya percaya. Untuk lebih meyakinkan teori ketiga ini, saya kembali membuka referensi yang saya miliki dan terutama Jakarta tempo dulu. Belasan buku lama di rak buku saya buka kembali. Saya juga menambah referensi dengan membeli belasan buku bertema Jakarta lainnya lantas membaca itu semua selama lebih 3 bulan belakangan.
Teori yang saya percayai
Pada mulanya ia hanya segaris area sepanjang sekira 25 hingga 50 meter dengan beberapa warung kopi dan jajan ringan. Tak jauh dari garis ini, ada banyak rawa-rawa yang secara alamiah sudah terbentuk ribuan tahun lalu.
Salah satu rawa, berbentuk unik. Ia membentuk balong, sebuah kawasan berair sangat dalam, sampai-sampai hingga kawasan itu diurug, tak ada yang tahu berapa kedalamannya karena saking dalamnya. Dari sinilah nama Rawa Belong berasal. Namun tak diketahui banyak orang.
Di ujung selatan garis ini, berdiri tempat parkir kuda untuk alat transportasi yang menghubungkan Tanah Abang dan Kebayoran. Sedang di ujung utara garis ini, tersambung ke jalan yang menghubungkan Kebayoran dengan Kebon Jeruk hingga terus ke Grogol dan Tangerang.
Kondisi ini membikin Rawa Belong menjadi segitiga emas strategis. Jalur ekonomi antara pusat Batavia dan wilayah Ommelanden. Di sekitar garis sependek itu, sebelumnya sudah banyak berdiri perkampungan yang dihuni mayoritas etnis Betawi. Mulai dari Pengumben, Sukabumi Ilir, Kemandoran, Palmerah, Kemanggisan, Kampung Rawa, dan beberapa perkampungan lainnya.
Para jawara dari kampung-kampung itu sering kongkow-kongkow di segitiga emas untuk sekadar menikmati kopi bersama, hingga saling beradu kemampuan bela diri. Karena seringnya mereka berkumpul di sana, pada akhirnya saat keluar kampung mereka lebih sering menyebut asal mereka dari Rawa Belong.
Nah, dari sinilah awal mula Rawa Belong terkenal di dunia luar. Pada akhirnya, banyak kampung-kampung di sekitar membentuk konfederasi. Pada akhirnya, dari wilayah hanya sepanjang kurang dari 50 meter, tempat tersebut berkembang menjadi area seluas lebih dari 200 hektare.
Kampung pemberontak
Hingga periode 70an, mayoritas penduduk beretnis Betawi. Pendatang masih sedikit. Salah satu sebabnya adalah banyak yang mengenal Rawa Belong sebagai kampung pemberontak. Baik kepada penjajah Belanda lewat jawara-jawaranya, juga kepada pemerintah Orba lewat simpatisan Masyumi dan PPP. Ini menyebabkan daerah tersebut dipandang sebelah mata dalam pembangunan sehingga gagal menarik pendatang.
Semua itu berubah setelah aspal dan listrik masuk. Saya tahu ini dari bapak saya yang saya sapa abah.
“Duluan listrik ape aspal di sini, Bah?” Tanya saya kepada abah, 2 bulan lalu saat saya mudik.
“Aspal dulu, tahun 77. Dua tahun lagi baru listrik. Aspal aje kagak semua, separo-separo dulu. Dari Gang Adam sampe Gang Salam duluan, terus baru Madrasah Dua sampe Madrasah Satu dua tahun berikutnye, bareng ame listrik.”
Bagian paling menarik menurut saya pada obrolan pagi itu, “Dulu kampung kite berape kali tuh pernah kemarau panjang. Sampe 9 bulan juga pernah. Tapi aer kagak pernah kering. Ada terus. Bening. Ngape kampung kite dinamain Rawa Belong ye emang banyak rawe di hini.” Iya, abah sering mengganti huruf S dengan huruf H kalau sedang menyebut sini atau sono.
“Yang gede-gede aje kalo diitung-itung ada 9 tuh.” Abah lantas menyebut nama ke enam rawa itu.
“Elu percaya kagak, kali di deket Baiturrahman aernye bening dulu?” Belum sempat saya jawab, abah melanjutkan, “Kagak lama setelah aspal ame listrik masuk, tu kali langsung butek. Emang gitu konsekuensi pembangunan, ada manfaat, ada mudharat. Bererot (berbondong-bondong) dah tuh pendatang masuk.”
Abah menambahkan bahwa proyek pengaspalan jalan berbarengan dengan pengaspalan di beberapa wilayah lain di Jakarta. Itu proyek besar yang diberi nama Proyek MH Thamrin. Menurut abah, karena MH Thamrin dianggap pahlawan terbesar Betawi, itu yang dijadikan alasan. Bisa jadi sih, kalau secara formal begitu mungkin.
Warna baru bagi Rawa Belong
Salah satu etnis yang banyak berdatangan usai aspal dan listrik masuk adalah pendatang dari etnis Tionghoa. Kedatangan mereka memberi warna baru. Warna yang ceria berdasar ingatan masa kanak-kanak saya.
Di Rawa Belong, tepat di garis yang mula-mula menjadi titik keramaian, setiap menjelang Imlek, kemeriahan begitu terasa. Ratusan pedagang dadakan berdatangan membanjiri. Mereka menjual bermacam keperluan Imlek. Dagangan utama yang menjadi ciri khas adalah ikan bandeng berukuran raksasa. Ikan-ikan bandeng berukuran setara manusia balita berjajar sepanjang Jalan Rawa Belong.
Selain etnis Tionghoa, kami masyarakat betawi juga menjadi pembeli ikan-ikan bandeng itu. Ibu saya, tiap kali Imlek, pasti membeli ikan bandeng. Ibu kemudian mengolahnya dengan cara dipindang. Dan kami semua di rumah menyantapnya dengan riang gembira, seolah kami juga ikut merayakan Imlek.
Begitulah kira-kira kepingan-kepingan kecil yang membentuk Rawa Belong versi saya. Tentu ada banyak kepingan-kepingan lain yang kelak pada akhirnya bisa membentuknya secara utuh.
Tulisan ini, pada mulanya sekadar sebuah pertanyaan seorang anak berusia 3 tahun sesaat sebelum tidur. Sebuah pertanyaan yang pada akhirnya menuntun saya mencari tahu asal usul kampung halaman saya, yang sebagian kecilnya saya tulis di sini, dan sebagian besarnya saya tulis dalam catatan-catatan harian saya yang hampir tiap malam saya ceritakan kepada anak saya.
Penulis: Fawaz
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Kamu Bilang Jakarta Keras? Sini Maen Dulu ke Tanjung Priok dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.