MOJOK.CO – Adalah pungli, yang membuat saya malas wisata di kampung sendiri, Sumatera Utara. Saya lebih nyaman melancong jauh ke Pulau Jawa.
Sebagai orang Sumatera Utara, ada sebuah kondisi yang justru membuat saya tidak nyaman wisata di daerah sendiri. Adalah banyaknya pungli, yang membuat saya tidak betah. Celakanya, saya justru mendapatkan kenyamanan ketika berwisata ke Pulau Jawa, tepatnya di Gunungkidul, DIY.
Soal Sumatera Utara, siapa yang nggak kenal Danau Toba? Danau ini adalah salah satu ikon pariwisata kenamaan di Sumatera Utara. Selain Danau Toba, kamu bisa menikmati banyak tujuan wisata seperti Bukit Holbung, Bukit Cinta, Bukit Sipolha, Air Terjun Efrata, Air Terjun Sikulikap, Aek Sijorni, dan masih banyak lainnya. Keindahan alamnya juga nggak main-main. Ini wujud cintanya Tuhan pada umat manusia.
Tapi sayang, keindahan alam yang tersedia memang gratis. Namun, pada kenyataannya, pelancong tetap harus merogoh kocek cukup dalam bisa menikmatinya. Bagi saya pribadi, sebenarnya nggak masalah jika ada regulasi yang jelas. Misalnya aturan soal tiket masuk sampai tiket parkir. Namun kenyataannya, tempat wisata di Sumatera Utara itu nggak jauh dari yang namanya pungli. Hal inilah yang membuat saya justru nyaman wisata ke Pulau Jawa.
Baca halaman selanjutnya.
Pungli yang membuat warga Sumatera Utara menjadi resah
Pungli yang saya rasakan saat wisata di Sumatera Utara
Ada banyak “teknik pungli” yang ada di Sumatera Utara. Salah satunya, ketika kamu sedang wisata ke daerah tertentu, ada saja “oknum” yang muncul entah dari mana. Mereka menyuruh kamu berhenti lalu meminta sejumlah uang. Masalahnya, mereka ada banyak dan berada di titik yang berbeda. Jadi, bisa saja kamu sampai 3 atau 4 kali ketemu pungli seperti ini.
Alasan mereka nggak kalah kreatif. Misalnya untuk kebersihan, keamanan, uang masuk, dan sebagainya. Miris sekali karena hal ini yang membuat saya malas untuk berwisata di tanah kelahiran sendiri dan memilih melancong jauh ke Pulau Jawa. Belum lagi gaya mereka saat meminta uang yang lebih mirip seperti preman, daripada petugas resmi.
Beberapa tahun yang lalu saya memutuskan kalau liburan ke Pulau Jawa saja. Keputusan itu saya ambil setelah sering kena palak oleh pemuda setempat saat berwisata ke Tapanuli Selatan.
Setiap berjalan beberapa langkah ada tiket yang harus dibayar
Saya dan keluarga mengalami pungli ketika wisata ke Aek Sijorni, yang berada di Kecamatan Sayur Matinggi, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Kami hendak bersenang-senang menikmati pemandangan alam. Mengawali dengan memarkir mobil di area bawah, kemudian kami semua berjalan ke atas.
Sebelum berjalan lebih jauh, kami membayar sejumlah uang di pintu masuk. Saat itu, kami merasa sudah membayar untuk semua tiket masuk. Ternyata, baru berjalan beberapa meter, ada lagi oknum yang meminta uang masuk. Begitu seterusnya hingga 4 atau 5 kali. Setelah itu, kami memutuskan untuk berhenti dan memilih pulang.
Kami sangat menyayangkan karena oknum seperti ini merusak citra masyarakat sekitar. Sangat mungkin pelancong berpikir bahwa oknum-oknum ini pasti penduduk sekitar tempat wisata di Sumatera Utara. Padahal, ya belum tentu. Hal-hal seperti ini yang membuat kami lebih memilih Pulau Jawa sebagai destinasi wisata.
Yah, seandainya saja pemerintah setempat mau mendengar banyak keluhan dari pelancong yang sering menjadi korban pungli. Tapi, sepertinya ini adalah rahasia umum yang sangat sulit sekali untuk diberantas.
Mau healing tapi malah berakhir jadi pusing, ke Pulau Jawa saja
Niatnya healing, eh malah jadi pusing. Niatnya mau wisata dan bersenang-senang, kita malah harus adu mulut dengan oknum pungli di sana. Kalau kamu iseng menanyakan kejelasan dari uang yang mereka minta, eh mereka malah naik darah.
Mereka suka sekali meninggikan suara ketika ditanya mengapa banyak sekali pungutannya. Daripada berakhir dengan berkelahi tentu kebanyakan orang memilih untuk diam saja dan membayar sejumlah uang tersebut.
Apalagi jika sudah jauh-jauh berangkat dari Kota Medan menuju lokasi wisata. Tentu sayang kalau harus pulang begitu saja. Kebanyakan tempat wisata di Sumatera Utara memang terletak di beberapa daerah sekitarnya. Dan biasanya membutuhkan waktu berjam-jam perjalanan dari pusat kota menuju ke sana. Hal inilah yang membuat Pulau Jawa menjadi lebih menarik.
Namun sayangnya, bukannya bahagia, malah hanya akan berakhir kecewa. Ini seperti budaya yang akan sulit untuk dihilangkan, keserakahan ini jadi ciri rendahnya SDM di beberapa tempat. Bagaimana mau promosi wisata kalau masyarakatnya sendiri bikin citra buruk daerahnya?
Membandingkan dengan wisata pantai di Gunungkidul yang murah meriah
Tepat sebelum pandemi melanda, saya sempat mengunjungi Pulau Jawa, tepatnya di DIY dan Gunungkidul. Tentu deretan pantai di sana selalu menjadi primadona. Oleh karena itu, saya nggak mau ketinggalan untuk bisa menikmati wisata alamnya. Saya sebagai orang daerah yang sering terkena pungli tentu kaget bukan main.
Sesampainya di sana, hanya ada satu pos jaga yang mengharuskan saya membayar uang masuk sebesar Rp10 ribu. Awalnya saya skeptis, karena saya kira bakalan ada beberapa pintu lain di depan nanti. Tapi ternyata tidak, sungguh ekspektasi saya terbanting begitu hebatnya. Dengan uang semurah itu saya bisa menikmati banyak pantai di Gunungkidul.
Saya pun memutuskan untuk mengunjungi Pantai Pok Tunggal. Dan di sana saya cukup membayar parkir motor saja tanpa biaya masuk lainnya. Sungguh di luar nalar, karena saya seperti tertampar dengan realita. Bahwa orang Gunungkidul punya pantai sebanyak dan sebagus ini tapi mereka gak serakah.
Begitupun ketika saya pergi ke Pantai Jetis di Purworejo. Masih di Pulau Jawa. Saya hanya membayar parkir motor saja tanpa ada uang masuk dan sebagainya. Sudah bisa main-main air, pantai bersih, juga terasa sekali kearifan lokal di sana. Saya bisa mengatakan bahwa saya lebih nyaman dan tertarik untuk mengeksplorasi lebih banyak tempat wisata di Pulau Jawa.
Siapa yang harus mulai berbenah?
Malu rasanya jika keindahan alam di Sumatera Utara dikenal justru tercoreng pungli yang merajalela dan turis pindah ke Pulau Jawa. Sudah sepantasnya wisata daerah bangkit dan dikenal oleh masyarakat luas. Bukan hanya mengandalkan turis lokal saja, alangkah senangnya jika bisa dikenal hingga mancanegara.
Tapi sayangnya, sebagai masyarakat kecil, saya bisa apa?
Penulis: Nur Mar Atushsholihah Siregar
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 3 Salah Paham terkait Sumatera Utara yang Perlu Diluruskan dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.