Prospek Printer 3D Masa Kini: Dari Mencetak Rumah, Jembatan, Hingga Jamban

Beberapa pihak berani memprediksi bahwa printer 3D akan menjadi sesuatu yang lumrah ditemukan di rumah-rumah.

Prospek Printer 3D Masa Kini: Dari Mencetak Rumah, Jembatan, Hingga Jamban MOJOK.CO

Ilustrasi printer 3D. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COSaat ini, printer 3D sudah diterapkan untuk prototyping benda-benda yang cukup visioner. Mulai dari mencetak rumah, jembatan, sampai jamban.

Pertengahan 2000, istri dari seorang agen mata-mata Amerika Serikat disandera di Cina. Dia didudukkan dan diikat di sebuah kursi. Mulutnya diisolasi. Sang mata-mata mencoba membebaskannya, tapi ikut tertangkap. Dia ikut diikat di sebuah kursi di hadapan istrinya. Ketika diinterogasi, dia menolak untuk membocorkan informasi yang mengandung berisiko tinggi dan membahayakan keselamatan banyak orang.

Dikira hanya gertakan, ternyata sang musuh kemudian menembak mati istrinya itu tepat di hadapannya.

Tak lama kemudian, datang seorang agen ganda hendak meneruskan interogasi. Agen ganda itu kemudian menyentuh kepala jenazah istri sang mata-mata yang masih terikat di kursi. Sang mata-mata itu marah. Dia tidak terima istrinya disentuh seperti itu. Tak disangka, agen ganda itu menyobek muka istrinya yang ternyata hanyalah topeng belaka. Rupanya, yang ditembak mati itu bukanlah istri sang mata-mata.

Itu adalah adegan di film Mission: Impossible III yang dibintangi Tom Cruise di tahun 2006. Selain soundtrack yang legendaris, adegan menyobek atau melepas topeng muka merupakan hal yang paling memorable dari waralaba film ini. Sebuah video dari CinemaBlend merangkum semua adegan disobek-sobek ini.

Selain Mission: Impossible, ada juga adegan menyobek muka di film lain yang tidak kalah seru: Spongebob Squarepants. Tepatnya di akhir episode “84a: Spy Buddies”.

Ceritanya, Spongebob, Patrick, Tuan Krab, dan Plankton sedang saling menyamar dan menebak siapa sesungguhnya yang baru saja membombardir Krusty Krab. Adegan saling menyobek muka ini berlangsung baik-baik saja hingga akhirnya Spongebob menyobek muka Squidward yang ternyata… tidak memakai topeng.

Topeng muka di film Mission: Impossible itu dicetak oleh printer 3D, satu teknologi yang belakangan ini semakin luas penggunaannya. Di pasaran domestik, printer 3D banyak dipakai untuk mencetak barang-barang berukuran kecil dan berbahan plastik.

Tetapi, tahukah kalian bahwa di luar sana, paduan teknologi printer 3D dan robotik sudah mulai digunakan untuk mencetak rumah, jembatan, hingga jamban? Material yang digunakan juga bukan cuma plastik.

Mari kita mulai dari yang terkecil.

Sebuah prototype bilik toilet lengkap dengan jamban telah dicetak tahun lalu dengan printer 3D. Berwarna putih dan disebut menyerupai teardrop atau titik air mata (agak sok-sok dramatis sih kalau melihat bentuknya), toilet ini dibuat dari limbah plastik dari rumah-rumah sakit di seluruh penjuru Eropa.

Oleh Nagami, studio asal Spanyol yang memproduksinya, toilet ini diberi nama The Throne (throne = singgasana… singgasana jamban? Lucu juga). Mereka memiliki visi bahwa di masa depan, ketika ongkos produksinya sudah turun signifikan, toilet-toilet ini akan diproduksi secara massal untuk diletakkan di daerah-daerah di mana fasilitas sanitasi yang layak masih terbatas.

Namun, saya jadi meragukan visinya ketika membaca bahwa prototype singgasana itu tadi justru diletakkan di pegunungan Alpen di Swiss. Sebuah lokasi yang kurang merakyat di salah satu negara terkaya di dunia. Piye, sih?

Pada tahun yang sama, di Amsterdam, Belanda, sebuah jembatan penyeberangan kanal diresmikan. Jembatan ini menggunakan stainless steel dan desain yang memadukan bentuk organik dan futuristik. Proyek jembatan sepanjang 12 meter ini sudah diinisiasi sejak tahun 2017 oleh MX3D, sebuah perusahaan asal Belanda.

Selain itu, jembatan ini dilengkapi sejumlah sensor yang memonitor perilaku material, kondisi fisik, dan sekitarnya. Data yang diperoleh akan dijadikan masukan dalam merancang jembatan yang lebih aman maupun proyek-proyek pembangunan lain selanjutnya yang menggunakan printer 3D.

Printer 3D juga sudah mulai digunakan untuk membangun rumah. Salah satu contoh yang menarik ada di Amerika Serikat.

Sebuah kolaborasi antara organisasi nirlaba bernama Mobile Loaves & Fishes (MLF) dan sebuah perusahaan teknologi printer 3D dan robotik ICON menggarap proyek pembangunan rumah untuk kaum tunawisma di kota Austin, Texas.

Mengutip channel Freethink, rumah-rumah itu dibangun di area yang khusus didedikasikan sebagai kampung tunawisma. Sejumlah fasilitas, seperti pusat kesehatan, pasar, lahan berkebun, dan lainnya, disediakan. Mereka juga diberi kesempatan untuk bekerja di bidang perawatan mobil, sablon, tukang kayu, dan pandai besi. MLF berharap, dengan semua fasilitas itu, para tunawisma bisa hidup dengan semangat baru.

Printer 3D ICON bisa mencetak rumah berukuran 40m2 dalam durasi total 24 jam. Ini dicetak utuh satu rumah, bukan menjadi beberapa bagian terpisah lalu dirangkai di akhir. Jadi, printernya memang berukuran besar.

Tapi memang, baru dindingnya saja yang bisa dicetak. Permukaannya bergelombang seperti anyaman. Material yang digunakan sejenis adonan mortar khusus. Setelah dinding kering, barulah bagian atap rumah itu digarap menggunakan teknik dan material konvensional.

Di sana, proyek perintis ini dinilai telah memberikan alternatif solusi untuk membangun rumah yang layak dalam waktu singkat dan harga lebih terjangkau, termasuk bagi mereka yang terpinggirkan. Dilihat dari skala makro, tentu saja proyek ini juga turut berpartisipasi dalam membantu mengentaskan kemiskinan.

Ketika menonton video proyek ini, saya kok tiba-tiba merasa terharu.

Inilah satu contoh paling humanis dari penerapan teknologi di masa kini. Ini maksudnya teknologi baru seperti printer 3D, AI, robotik, IoT, mata uang kripto, dan sederet lainnya.

Ketika sejumlah manusia berkompetisi memanfaatkan teknologi-teknologi itu untuk mengumpulkan kekayaan, ada orang-orang lain yang berinisiatif memanfaatkannya, justru bagi kaum tunawisma. Untuk menolong mereka yang mungkin sudah berada pada titik nadir di kehidupannya.

Saya tidak mengharapkan rumah yang dibangun oleh printer 3D ini bisa diterapkan di Indonesia. Apalagi untuk tunawisma. Tapi saya berangan-angan bahwa akan ada semakin banyak inisiatif untuk memanfaatkan sederet teknologi itu untuk memberikan solusi terhadap berbagai masalah sosial dan kemanusiaan di negara ini, meskipun dalam skala kecil. Bukan hanya sekadar FOMO dengan negara-negara maju.

Contoh sederhana untuk printer 3D ini ya saat bulan-bulan awal pandemi 2020 lalu. Sejumlah kampus seperti ITS, UGM dan lainnya serta komunitas 3D printing berinisiatif memproduksi face shield yang kemudian didistribusikan kepada tenaga-tenaga medis di rumah-rumah sakit.

Sebuah penelitian di tahun lalu menceritakan bahwa pada awalnya, printer 3D diciptakan untuk mengatasi sejumlah keterbatasan di dunia industri (pabrik) dalam membuat prototype produk. Seiring waktu, teknologi ini semakin matang dan harganya semakin terjangkau. Segmen pasarnya pun berkembang pesat. Printer 3D telah memungkinkan orang rumahan untuk menciptakan (dan menguji gagasan) produk mereka sendiri dengan cepat dan lebih murah.

Beberapa pihak bahkan berani memprediksi bahwa printer 3D akan menjadi sesuatu yang lumrah ditemukan di rumah-rumah di negara maju dalam dekade ini.

Jika kalian ingin menekuni desain produk atau merintis bisnis manufaktur kecil-kecilan apalagi untuk benda-benda yang sulit ditemukan di pasaran, bereksperimen menggunakan printer 3D bisa menjadi langkah awal untuk mewujudkannya.

Kalau googling dengan kata kunci 3d printing startup niscaya kalian akan menemukan sejumlah startup di seluruh dunia yang menciptakan produk-produk menarik memanfaatkan teknologi ini. Ada yang mencetak tulang manusia untuk implan, makanan, terumbu karang, dan sebagainya.

Saya jadi ingat seorang kawan di Jakarta. Selain berprofesi sebagai konsultan, dia memiliki side job sebagai DJ dan bereksperimen dengan musik elektronik. Bersama temannya, mereka mulai mencetak dan menjual kotak casing untuk modul instrumen musik genre ini. Menariknya, produk yang mereka beri nama vvoltt ini berbentuk seperti rangkaian papan lego.

Kalian bahkan tidak harus memiliki printer 3D karena sudah banyak jasanya di pasaran. Yang perlu kalian miliki adalah keahlian mengoperasikan aplikasi modeling 3D seperti Blender, 3ds Max, atau yang lain.

Untuk referensi contoh desain 3D, kalian bisa mengunduh file-file desain 3D yang tersedia di situs seperti Sketchfab atau yang lain. Tapi, perhatikan jenis lisensi masing-masing file-nya ya.

Kalau jadi desainer 3D, menurut situs indeed, rerata gajinya di Indonesia sekarang Rp3,3 juta dengan angka tertinggi yaitu Rp4,3 juta. Yah, belum terlalu besar, ya.

Ada satu contoh terakhir nih penerapan printer 3D untuk prototyping benda yang cukup visioner.

Pada 2018, sekelompok ilmuwan dari MIT yang dipimpin oleh Neri Oxman membangun struktur fisik setinggi lima meter yang diberi nama Aguahoja. Dalam bahasa Spanyol, agua berarti ‘air’ dan hoja bermakna ‘daun’.

Berbentuk seperti titik air, Aguahoja ini dicetak menggunakan material yang berasal dari, dan akan terurai kembali secara alami ke, alam. Tepatnya, sejenis komponen molekul yang ditemukan di dalam 5.740 daun yang berguguran, 6.500 kulit apel, serta 3.135 kulit udang.

Kalian bisa menonton videonya di sini.

Proyek itu merupakan eksplorasi di area teknologi, biologi, dan arsitektur. Tujuannya adalah menemukan alternatif material baru yang tidak merugikan alam untuk digunakan dalam kehidupan manusia di masa depan.

Jadi speechless. Maklum, saya lulusan akuntansi, sih. Ilmu pasti bukan, tapi mau disebut ilmu sosial kok rasanya ngambang ya.

Di Indonesia sendiri, kabarnya, pabrik printer 3D pertama akan dibangun di Jakarta oleh Inspira Academy. Melansir detikINET, mereka menargetkan produksi 500 printer per bulan pada 2022. Selain dipasarkan secara ritel, mereka juga berencana memasarkan printer-printer itu ke institusi pendidikan, sepaket dengan kurikulum dan program pembelajaran serta sertifikasi bagi siswa.

Bagus ya, tapi kok, lagi-lagi, di kota yang itu-itu aja.

Sementara itu, menilik marketplace, harga printer 3D di Indonesia saat ini berkisar mulai dari Rp2 sampai Rp3 jutaan. Tapi itu untuk mencetak benda berukuran kecil dan menggunakan material plastik.

BACA JUGA Suka dan Duka Tinggal di Rumah Kontainer Berukuran 6 x 2,4 Meter Persegi dan ulasan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Suryagama Harinthabima

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version