MOJOK.CO – Sebagai salah satu mahasiswa yang ikut aksi, saya akan jabarkan beberapa pledoi soal rusaknya halte bus Transjakarta.
Beberapa hari ke belakang, saya melihat penghakiman dari netizen tentang nasib naas halte bus Transjakarta yang terkesan tidak adil. Iya, halte yang terbakar dalam aksi protes menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja kapan hari itu.
Dari sana, tiba-tiba saya jadi teringat dengan nasib sial saya ketika didapuk menjadi pengurus BEM salah satu PTN Jabodetabek yang warna jasnya kuning itu. Kenapa sial? Karena awalnya saya pikir nggak bakal ada banyak kegiatan, ternyata malah muncul RUU aneh-aneh dari Senayan yang bikin repot.
Kembali ke soal penghakiman netizen soal kerusakan fasilitas umum, terutama halte bus Transjakarta, saya akan menjabarkan beberapa pledoi dari perspektif mahasiswa saat turun aksi.
Mari kita mulai dari dalil tudingan pertama, yakni, “Apakah provokator-provokator kampus ini kalau demo sengaja bikin rusuh?”
Well, nggak. Kami nggak mau ada rusuh.
Kamu boleh nggak percaya, tapi saya bisa yakinkan ini bukan klaim yang mengada-ada. Kami, mahasiswa, justru menghindari banget yang namanya rusuh.
Kalau kamu tanya kenapa, ya karena kami biasanya menyurati kantor kepolisian setempat untuk ngasih tahu bahwa kami mau demonstrasi. Berikut juga dengan detail lokasi demonstrasi dari mana ke mana, massa yang hadir kira-kira berapa orang, apa tuntutannya, identitas pendemo, dan seterusnya.
Karena undang-undangnya memang mengamanatkan kalau ada pihak mau demonstrasi, ya pihak itu harus kasih surat pemberitahuan resmi ke kepolisian. Inget ya, ini pemberitahuan bukan izin. Jadi surat ini nggak bisa ditolak.
Masak iya saya ngasih tahu polisi, lalu polisinya menolak untuk tahu? Kan nggak logis? Jadi sepanjang pemberitahuan sudah disampaikan ya itu artinya kewajiban kami selesai.
Bahkan saya, dan pengurus BEM kadang memberitahu polisi di lapangan saat mulai ada hal-hal aneh yang mulai terjadi di sekitar kami.
Intinya, karena kami ngurus orang demonstrasi, jadi kalau kami membentak atau menarik mahasiswa lain untuk kembali ke barisan, itu semua bukan dalam rangka untuk memancing emosi, tetapi justru untuk mencegah kerusuhan.
Kalau boleh jujur, sebenarnya ngurus maba sumbu pendek yang suka cari gara-gara nggak terlalu susah, walaupun kadang perlu agak bentak-bentak dikit biar didengar. Ya gimana ya, mengingat teriknya Jakarta sudah jadi faktor orang mudah tersulut, jadi kami harus responsif kalau udah mulai ada yang agresif juga.
Apalagi dalam pemberitahuan ke kepolisian sebelumnya, kami sudah nyetor nama salah satu anggota BEM untuk jadi penanggung jawab aksi. Lengkap bersama data dirinya. Jadi, ini faktor yang bikin kami males banget kalau demo sampai rusuh. Kasihan data-data teman kami yang sudah diserahkan ke kepolisian.
Ini belum dengan menimbang kalau sampai ada teman-teman kami yang sampai ketangkep polisi, masuk rumah sakit, atau terjebak di kerusuhan. Itu hal-hal yang bikin repot. Mulai dari nyari pengacara buat yang terciduk, nemenin di rumah sakit, nyari teman kami yang hilang, bahkan sampai harus begadang di kantor polisi.
Jadi sebenernya mahasiswa yang ngadain aksi sangat strict terhadap massa aksinya. Mendingan kita effort medisiplinkan massa aksi ketimbang ngurusin orang keciduk.
Beneran dah, lebih mending punya masalah sama maba tengil yang nggak mau diatur pas demo, daripada harus nungguin itu anak di polda. Serius.
Dalil tudingan kedua: “Terus rusuh biasanya kenapa? Sampai halte bus Transjakarta hancur begitu?”
Sependek pengalaman saya, faktornya bukan dari internal. Beneran banyak dari faktor eksternal.
Beberapa demo sebelum tolak Omnibus Law UU Cipta kerja, seperti demo tolak RUU KPK atau demo dukung RUU PK-S kadang berbarengan dengan pihak yang memiliki pandangan berseberangan.
Nah, sebenernya saya nggak masalah kalau ada beda suara di poin-poin tertentu saat di lapangan, toh itu juga hak mereka untuk demo. Nah yang jadi masalah, kadang dua massa yang punya sedikit perbedaan poin ini suka terprovokasi satu sama lain.
Saya sendiri pernah kena timpuk botol Aqua ukuran satu liter dari kelompok massa sebelah. Lumayan sakit sih. Tapi ketimbang ngamuk, saya milih baik sangka aja. Mungkin itu orang ingin kasih saya minum karena saya kebetulan haus.
Baru jadi perkara kalau yang kena timpuk itu abang-jago-kampus. Perlu dua-tiga orang berkepala dingin untuk menahan bang jago ini supaya nggak cukup edan buat masuk ke kerumunan massa sebelah buat nyari siapa yang nimpuk.
Itu, pertama. Kedua, selain massa yang berbeda, massa penyusup itu sering banget ada. Kalau bukan orangnya yang kita temui, kadang peralatannya tahu-tahu ada di sekitar massa aksi.
Saya pernah nggak sengaja nemuin trash bag isinya lima botol Aqua berisi bensin. Untung saat itu aksi udah mulai bubar.
Dengan gaya abang jago, saya langsung ngomel-ngomel ke korlap aksi kampus lain. Sambil ngotot menanyakan siapa yang bawa bungkusan berbahaya yang saya temukan itu.
Anak-anak kampus lain yang saya lapori juga kaget. Soalnya, bensin sebanyak itu nggak mungkin bisa masuk KRL. Kalaupun mau dibawa naik bus rombongan atau naik motor, pasti sudah ketahuan sejak awal ketika kumpul di kampus.
Jadi yang bawa siapa, tetap jadi misteri sampai sekarang. Satu hal yang jelas, nggak mungkin kalau mau bakar ban perlu bawa bensinnya sebanyak itu. Bensin sebanyak itu mah rasa-rasanya bisa buat bakar rumah orang. Tapi at least bensinnya murni sih, jadi lumayan juga kalau buat tambah-tambah bensin pulang.
Selain peralatan absurd kayak bensin itu, saya juga pernah nemu orang pakai almamater kampus saya, jas kampus warna kuning. Anehnya, posisi orang itu agak jauh dari rombongan. Pemandangan yang sangat janggal sih itu.
Selain posisinya yang terpisah terlalu jauh, orang itu juga bawa tas piknik dan mukanya boros parah. Beneran kayak abang-abang mendekati usia akil-balig kedua lah. Karena penasaran, orang mencurigakan itu saya hampiri. Anehnya dia sama sekali tidak kenal saya.
Saya curiga karena ada mahasiswa ikut aksi tapi nggak mengenal pengurus lapangannya siapa. Ketika saya berhasil menangkap pundaknya dan tanya, “Anak mana lu?” tahu-tahu orang ini langsung kabur.
Dari pengalaman-pengalaman itu, makanya saya nggak kaget-kaget amat dengan yang namanya provokator aksi. Apalagi untuk aksi mahasiswa di Jakarta yang sudah pasti disorot media nasional dan internasional begini.
Dalil ketiga: “Mahasiswanya sih caper dan agresif sama aparat. Jadi rusuh kan? Fasilitas publik kayak halte bus Transjakarta jadi rusak kan?”
Oke, emang bener ada juga beberapa mahasiswa yang suka caper sama aparat. Itu harus diakui, saya juga nggak tahu kenapa ada teman-teman saya yang model begitu. Bagi saya, kalau emang orangnya benar-benar melakukan kekerasan, ya udah sih tangkap aja.
Persoalannya adalah ketika aparat bereaksi berlebihan. Misalnya mahasiswa lagi duduk-duduk agak jauh dari area bentrok, tapi tetap kena tangkap pula. Masih mending kalau cuma ditangkap doang, kadang sampai kena tindakan represif dulu sebelum ditangkap.
Asal kamu tahu aja, setiap aksi kami selalu membagi barisan yang terbagi jadi tiga golongan. Pertama, yang panikan. Kedua, abang jago kampus. Ketiga, mahasiswa biasa-biasa aja.
Korlap aksi dan konco-konconya pasti auto-pusing kalau udah bentrok, karena fokusnya jadi pecah. Terutama buat narik-nariki abang jago kampus yang kadang suka nyerang balik aparat buat lepasin temennya.
Pada momen-momen chaos kayak gini, ketika korlap berusaha menurunkan tensi, para perusuh yang entah dari mana, biasanya mulai bikin situasi makin panas. Atau, malah bikin api berbahan bakar fasilitas publik di belakang garis aksi. Dalam kasus ini, seperti api yang membakar halte bus Transjakarta itu.
Nah, karena koordinator lapangan udah sibuk ngurusin keamanan teman-temannya, pada akhirnya menertibkan perusuh itu jadi soal UAS yang nggak bisa terjawab. Akan ada dilema besar di benak korlap. Antara nyelamatin teman sendiri atau nyelamatin nasib fasilitas umum kayak halte bus Transjakarta itu.
Masalahnya, hal semacam ini sayangnya sering luput disorot media. Seolah-olah, yang namanya demo mahasiswa itu pasti rusuh, apalagi kalau di Jakarta. Lalu substansi yang dipermasalahkan malah dilupakan untuk sementara waktu.
Dari hal tersebut, kadang saya suka iri dengan pejabat atau aparat yang dibiayai duit negara. Ketika melakukan kekerasan atau tindakan melawan hukum bisa dengan enteng disebut “oknum”, sementara ketika demonstrasi mahasiswa begini, saat beneran ada segelintir orang yang (entah mahasiswa atau bukan) bikin provokasi, kami tak bisa menggunakan cara yang sama.
BACA JUGA Demo UU Cipta Kerja Rusuh Aja Nggak Digubris, Apalagi Damai dan tulisan Muhammad Hida Lazuardi lainnya.