MOJOK.CO – Di jalan raya manusia tidak bisa pura-pura. Kamu tak bisa jadi orang lain. Di jalan raya lah watak asli seseorang bakal tampak sebanal-banalnya.
Negara yang hancur bisa dibangun ulang, tapi jika mentalnya yang hancur, leburkan sekalian, jadikan lepa, bikin negara lagi.
Soal apakah khilafah atau monarki atau demokrasi, kita rembuk bentuknya di tempat lain, jangan di sini. Indonesia tidak rusak, apalagi hancur, hanya menggelontor lepa-lepanya. Sebagian lapuk karena usia, sebagiannya karena digerogoti curut-curut nakalnya.
Bagaimana caranya? Kalau kita tanya Lao Tse, jawabannya akan sepadat dan enak kayak ketan urap: “perbaikilah bahasa!” Dugaan saya, Lao Tse menyatakan begitu karena dulu angkutan pedesaannya masih menggunakan keledai dan kuda, atau bagal dan pedati.
Andai beliau hidup pada masa kini, masa di saat manusia sesama manusia menyebut cebong dan kampret dengan entengnya, dia akan nambah satu addendum, satu syarat lagi: “perbaiki pula tata tertib lalu lintasnya!”
Mengapa harus memperbaiki bahasa? Saya tidak tahu, tapi mungkin karena bahasa menunjukkan jati diri kebangsaan. Bahasa adalah bagian dari kekuatan.
Lalu, mengapa tertib lalu lintas dibawa-bawa pula?
Nah, kalau tertib lalin ini berhubungan dengan kejujuran. Kekuasaan akan hancur tanpa kejujuran. Tak ada apa pun, baik negara dan apalagi rumah tangga, yang bisa jaya tanpa dilandasi oleh kejujuran (kecuali kalau sekadar main ular tangga).
Di mana letak orang jujur berada? Ya, di jalan raya, dong. Hanya di sanalah orang tampil polos, tidak pakai pencitraan atau drama-dramaan.
Di media sosial, seseorang bisa tampak lebih pintar dengan bantuan semacam Wikipedia; tampak lebih rupawan dengan aplikasi; tampak lebih bijak dengan kata-kata mutiara colongan yang tidak disebutkan sumbernya.
Di mimbar, seseorang bisa jadi seperti ulama hanya dengan kutip sana kutip sini dari hadis-hadis terjemahan yang ditelusuri dengan mesin pencari tanpa tahu sanadnya. Semua bisa palsu, namun di jalan raya kita adalah asli. Di sana, kamu tak bisa menjadi orang lain. Di jalan raya lah watak asli seseorang bakal tampak sejujur-jujurnya.
Jika orang sudah berlaku benar dan mau mengalah di jalan raya, internalisasi nilai akan jadi. Manusia akan menemukan kemanusiaannya kembali. Jaminan keselamatan akan tinggi, Jasa Raharja jarang terpakai, mobil Lakalantas jarang keluar, Pak Polantas bisa lebih tenang main kartu kalau lagi senggang.
Terus, setelah orang-orang jujur itu sampai di tujuan, mereka akan bekerja tanpa perlu mandor; staf departemen agama cukup takut kepada Tuhan saja, ndak perlu takut sama CCTV segala; para istri juga sudah percaya kalaupun suami pulang pagi. Bunga-bunga bermekaran dan Bumi akan berubah jadi miniatur surgawi.
Lalu kenapa sulit sekali mencapai kondisi seperti itu? Jawabannya karena kita masih suka melakukan kebiasaan-kebiasaan nggatheli di jalan raya. Dan inilah di antaranya:
Menyalakan sein padahal tidak mau belok
Ketika kamu tiba di perempatan, pertigaan, atau simpang lima, jangan menyalakan lampu sein kalau kamu mau jalan lurus. Sein hanya untuk yang mau belok atau pindah jalur. Ingat, lampu sein itu diciptakan buat yang di belakang dan di depanmu. Intinya, ia dibuat untuk orang lain.
Jika filosofi kode cahaya ini diamalkan oleh petinggi atau seleb politik, termasuk bupati, camat, gubernur, pejabat yang beres, mereka jelas paham tujuan kode-kode itu, bahwa ada kalanya kita melakukan sesuatu itu 97% untuk orang lain, 3% saja yang buat kita.
Bagi orang yang ada di belakang kita, lampu sein membuat kamu ibarat imam yang kasih kode kepada mereka, para makmum kamu. Jika kamu cuek atau ngawur, maka kamu adalah imam yang palsu.
Yeah, tentu saja kamu selamat karena sein itu nyatanya buat mereka, dan kemungkinan merekalah yang jadi korbannya.
Jadi, ingatlah: Setiap orang adalah pemimpin dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Kalau kamu kasubbag atau kabag di instansi pemerintahan, ngasih kode orang kalau gerakanmu bakal ke kiri untuk masuk masjid, tapi ternyata kamu masuk ke rumah makan di seberangnya, itu juga tak kalah ngawurnya.
Menyalakan atau tidak lampu sein itupun ada pertanggungjawabannya, apalagi… kalau kendaraan yang kamu pakai ternyata plat merah punya negara.
Gampang main serobot marka
Secuil pun, nyerobot itu enggak ada baik-baiknya. Setan saja tidak menyerobot, ia hanya merangsang orang melakukan penyerobotan, seperti merayu sepasang kekasih yang belum menikah untuk bergelap-gelapan layaknya orang menikah, menggiring mereka berdua agar menyerobot larangan adat dan agama.
Ingat: setan hanya membukakan resleting, bukan mereka berzina.
Di depan ada tikungan tajam ke kiri, markanya jelas putih nyambung, plang “dilarang mendahului” sudah terpasang, setan hanya nyuruh kamu nginjak pedal gas dan menyalip supaya kamu—setelah sampai di rumah—bisa bercerita, “semua tikungan sudah saya booking semua!”
Ketika kamu benar-benar melakukan itu lalu cipika-cipiki dengan semacam tronton, kamu pun akhirnya cepat sampai ke rumah, tapi yang ada sakitnya: rumah sakit.
Dari sudut pandang yang lain: Saat sedang taat-taatnya berada di garis terdepan di suatu pertigaan, sabar menunggu kendaraan yang terus melintas di hadapan, tiba-tiba sebuah motor menyejajarimu, mendahului, menggunting jalanmu, meninggalkanmu dalam keadaan tertegun dan terpaku.
Di dalam struktur pemerintahan, bahkan dalam kehidupan secara umum, orang macam ini selalu ada contohnya. Yang kerap seperti begitu di jalan, punya kecenderungan mental yang sama di mana saja—bahkan sampai urusan kantor.
Tipenya sama, hanya beda medan saja. Kalau di jalan dia nyerobot ruas dan lajur orang, di kantor bakal nyerobot jatah dan uang jajan. Tidak semuanya begitu? Baik, tidak semuanya, tapi besar kemungkinan 11-12 kalau kamu bikin polingnya.
Nyerobot di kantor membuat kita cepat sampai, kalau enggak ke “meja makan”, kalau apes “meja hijau”. Sedangkan di jalan? Menyerobot dapat membuat kita cepat sampai—kadang—ke tempat tujuan, kadang ke sisi-Nya.
Tidak nyalakan lampu jalan pada malam hari
Salah satu arogansi di jalan raya adalah berjalan di malam hari tanpa nyalakan lampu.
Dikiranya, dengan cara begitu dia ingin mendaku: aku mampu beli motor, meskipun tak mampu beli bohlam. Atau, jangan-jangan dia ingin dianggap punya mata eksternal, mata setajam lensa Sony A6300 yang mampu melihat objek dalam situasi sangat rendah cahaya.
Mungkin, mata seseorang memang setajam pisau yang dapat mengiris marka jalan dalam kegelapan, tapi motor/mobil dipasangi lampu itu sebagai bahasa/kode, bahwa ada objek bergerak di jalan raya. Jadi, itu bukan hanya buat kamu saja, tapi juga untuk mereka. Kamu enak, mereka juga.
Jika kebiasaan ini terbawa-bawa ke kantor, mungkin juga ke medsos, hasilnya adalah orang yang mengukur semua kemampuan orang lain disesuaikan dengan dirinya sendiri, terutama di dalam melihat dan membuat sudut pandang.
Kalau dimasukkan ke dalam satu kata kunci, maka kata itu adalah “arogan”. Hadirin sekalian, ingatlah bahwa orang lain itu butuh lampumu untuk memastikan bahwa yang datang dari arah depan itu kamu, bukan walang sangit.
Sikap arogan lainnya adalah mengambil hak pejalan kaki. Pandangan seperti ini bertolak dari konsep superioritas dan senioritas. Kalau superioritas menganggap bus lebih besar daripada sepeda motor, tapi jika memakai cara pandang senioritas, maka pejalan kaki jelas lebih senior.
Sebab sebelum semua kendaraan bermotor berada di jalanan, merekalah yang paling berhak mendapatkan jalan. Sebab, orang berjalan kaki sudah ada ketika konvoi-konvoi motor gede yang suka mengklaim jalanan punya mereka karena ngerasa bayar pajak paling mahal.
Minta prioritas? Bolehlah, tapi kalau kamu bukan ambulans, bukan menteri, bukan mobil damkar, cuma rombongan yang kebelet makan di restoran saja minta priotitas sampai segitunya, masa iya rakyat disuruh lapang dada menerima di saat dada mereka sesak oleh urusan sembako dan agraria?
Ngeri membayangkan orang yang suka begini di jalan kalau harus pegang urusan di kantor, apalagi urusan agama. Mental macam ini bakal bikin ruwet kalau sampai jadi pejabat, lalu menganggap dirinya superior hanya karena dialah yang memutuskan banyak hal.
Dalam sudut pandang senioritas, jelas rakyat yang lebih dulu ada ketimbang “majelis permusyawatan” atau “dewan perwakilan” seperti mereka.
Mari kita buktikan, negara mana saja yang paling banyak pejabat ngawurnya, koruptornya, dan perhatikan pula bagaimana perilaku mereka di jalan raya. Tak bakal jauh-jauh selisihnya.
Taat cuma karena petugas
Larangan didahulukan daripada perintah. Yang harus diurus pertama kali adalah tidak melanggar, setelah itu barulah anjuran. Misalnya, larangan parkir di tengah pasar, ya, jangan dilanggar. Setelah itu, baru pikir bagaimana baiknya parkir yang dianjurkan oleh rambu dan/atau jukirnya.
Tahu nggak, mengapa di persimpangan-persimpangan kota yang dulu dijaga oleh petugas, lalu digantikan oleh patung, kemudian sekarang (beberapa) digantikan oleh CCTV?
Sebab Kepolisian merasa kasihan sama para petugasnya. Mereka berjaga, tapi orang melanggar santai saja di depannya. Oleh karena itu CCTV digunakan sebab kamera hanya nyambung ke server, tidak dari mata turun ke hati.
Namun, meski CCTV tidak baperan, justru ia dapat melatih dan menguji keimanan manusia yang sedang berlalu dan melintas di area tangkapannya. Makna tersirat daripada pemasangan CCTV adalah; selalu ada Yang Memantau kamu, baik gerak-gerikan lahirmu, atau bahkan celetuk batinmu.
Apalagi CCTV bisa mengoptimalkan petugas untuk menindak pelanggaran. Sampai mendadak ada orang dari masa lalu yang koar-koar. Menuduh bahwa kondisi jalanan sekarang jauh lebih buruk.
Sebab pelanggaran lalu lintas di jalan raya sekarang jauh lebih banyak ketimbang masa lalu—yang tanpa CCTV—hanya dari parameter karena pada masa ini lebih banyak pengendara yang ketahuan melanggar.
Sambil kemudian tersenyum mengejek sinis, “Piye iseh penak jamanku to?”