Sekitar pukul sepuluh malam henpon saya berdering. Di layar sentuh tertera nama seorang kenalan, ia pegawai negeri sipil. Ndak kenal-kenal amat sih, yah, sekadar pernah ketemu beberapa kali di forum dan kemudian bertukar nomor sebagai formalitas perkenalan.
“Waalaikumsalaaam,” jawab saya spontan usai memencet tombol angkat. Mungkin karena tahu lawan bicara saya di seberang sana sudah bergelar haji.
Terdengar dengusan kaget dari si lawan bicara. “Eh, assalamualaikum. Nganu, itu si Budiman (Sudjatmiko) sekarang masih di PDIP? Dan apakah masih ada aktivis-aktivis PRD lain di partai politik kini?” tanya pak haji.
Tentu saya heran, sebab kantor dinas tempat dia menjabat tidak ada sangkut pautnya dengan politik, kok bisa-bisanya dia menanyakan hal yang sepolitis itu. Baru setelah beberapa saat, saya tersadar bahwa pak Haji yang lulusan IPB itu memang sedang serius mengupayakan salah satu calon bupati dari Partai Gerindra dan PKS agar menang Pilkada di kabupaten penghasil bawang merah ini. Bah, mungkin ini materi buat bahan kampanye mereka.
“Wah, pak haji, memangnya kenapa tanya-tanya tentang mereka? tumben lho…”
“Enggak, ya penasaran aja,” jawabnya defensif. “Eh, kalau mereka-mereka itu gabung di partai, trus ideologinya apa ya?”
“Yaelah, pak Haji, bukankah setiap orang yang sudah resmi gabung dengan partai politik otomatis sepakat dengan ideologi partai itu? Apa panjenengan mau sebar kabar kebangkitan PKI lagi untuk kampanye Pilkada?” tanya saya agak tegas. (Tentu sembari nggrundel atas kemalasannya baca tata tertib keanggotaan parpol)
Terdengar pak Haji atur nafas, “Ng… nggak, cuman tanya saja. Oh iya apa masih kontak sama Eko tunas?” dia coba alihkan tema obrolan telepon. Eko Tunas itu seniman asal Tegal yang bermukim di Semarang, dia memang beberapa kali menampilkan teater monolog di wilayah ndog asin ini, Yah, semacam monolog khas berbahasa Tegal yang sesekali ditonton para aparatur negara. Monolognya penuh kritik sosial, dan kadang diupdate dengan kabar-kabar kekinian.
“Masih sering kontak, bahkan kemarin mas Eko ngabari saya kalau dia baru saja kehilangan dompet di stasiun Tawang,” kata saya.
“Loh stasiun Tawang apa Tegal?” pak Haji timpal tanya
“Tawang pak, dia kan tinggal di Semarang,” balas saya.
“Loh nggak di Tegal toh?”
“Nggak pak,”
“Oh… eh… nganu, kalau Brebes bangun gedung kesenian bagaimana menurutmu?” lagi-lagi tema pertanyaan zig-zag, ini ciri seseorang yang tidak fokus padahal sedang jadi andalan tim pemenangan salah satu Cabup.
“Gini pak Haji, yang namanya gedung kesenian itu pasti akan terbangun bagus oleh pemerintah manakala tidak dikorupsi rekanan, Lha beberapa kabupaten yang bangun gedung kesenian hasilnya sering mengecewakan, tho?”
“Lha memangnya apa ada pembangunan tanpa korupsi?” tanya pak haji.
“Ng…”
Pet…! Belum sempat saya jawab itu pertanyaan, sambungan telepon sudah terputus.